Tania refleks menutup mulutnya kala menyadari sesuatu hal. Apa yang tadi dikatakannya? Papa? Kenapa ia ikut-ikutan memanggil Papa saat berbicara dengan Gatra? Dan sejak kapan Tania memanggil Dypta dengan sebutan Papa?“Ta, aku balik sekarang aja ya?” pamit Gatra kemudian.“Ya ... jangan dong. Ntar aja, tunggu Papa datang dulu.”“Nggak enak ah. Masa udah malam masih di sini. Jaga image dikit nggak ada salahnya kan?” Gatra tertawa.“Ya udah, hati-hati ya, Gat.” Tania terpaksa mengizinkan Gatra pergi.“Kamu juga hati-hati. Jaga kesehatan, tidur yang cukup dan kurangi pikiran negatif. Jangan lupa obatnya juga diminum.”Tania mengangguk patuh. Sebelum pergi dari apartemen Tania Gatra meninggalkan kecupan lembut di dahi perempuan itu.Tania langsung bersiap-siap mengemasi beberapa helai pakaian yang akan dibawa. Seharusnya tadi ia minta diantar Gatra saja. Tapi nggak enak juga sama Dypta yang sudah terlanjur menuju apartemennya. Saat Tania sedang berkemas-kemas, ponselnya kembali berbunyi.
Tidak ada yang tahu bahwa setelah dari apartemen Tania tadi Gatra tidak langsung pulang ke rumah. Saat ini Gatra mengawal dari belakang sebuah SUV hitam yang berada bermeter-meter di depannya. Gatra sengaja menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengannya. SUV itu melaju tidak konsisten. Kadang pelan kadang mengencang. Membuat Gatra juga harus menyelaraskan jaraknya.Dypta dan Tania berada di dalam SUV tersebut. Gatra selalu merasa waswas setiap kali ada momen Tania hanya berdua dengan Dypta di mobil. Pengakuan jujur Tania tentang kejadian malam itu seakan membawa Gatra kembali pada masa lalu. Apalagi momennya nyaris serupa. Terjadi persis sebelum mereka menikah.Ketika mobil Dypta melambat, detak jantung Gatra mengencang. Ia merasa kesulitan mengendalikan pikirannya. Jangan-jangan Dypta memelan lantaran sedang berciuman dengan Tania. Jangan-jangan Tania juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya pada Gatra saat itu. Di saat Dypta menyetir Tania beraksi
“Mbak, kayaknya rambutnya belum deh, masih agak kusut di belakang.” Audry memanggil penata rias agar mendekat padanya. Lalu kemudian seorang perempuan berusia tiga puluhan datang menghampiri. Perempuan itu merapikan rambut Tania yang disanggul modern.“Blush on-nya juga, Mbak, kayaknya harus dipoles satu pulasan lagi.” Itu suara Lena.Tania hanya bisa menahan senyum menyaksikan betapa antusiasnya Audry dan Lena. Dari tadi keduanya yang paling excited memerhatikan penampilannya.Hari ini adalah hari yang begitu penuh kesan. Tania dan Gatra akan mengukir sejarah baru dalam hidup mereka.Iya, hari ini merupakan hari pernikahan keduanya. Momen sakral tersebut mengusung konsep garden party dan diadakan di sebuah venue yang sering digunakan oleh para public figure. Hanya saja acara tersebut dihelat secara privat. Gatra dan Tania hanya mengundang beberapa orang yang benar-benar mengenal mereka.Setelah Tania selesai dirias ia digiring
Taman tempat pernikahan Tania dan Gatra berlangsung tadi sore sudah sepi. Keseluruhan rangkaian acara sudah berakhir sejak pukul setengah sebelas malam atau sekitar setengah jam yang lalu. Yang tersisa saat ini hanyalah wadah-wadah makanan kotor serta gelas-gelas kosong.Tania dan Gatra tidak menginap di hotel melainkan di apartemen mereka dulu."Now I’m in a house, but can’t find where my home is."Itu adalah kata batin Gatra dulu setiap kali datang ke apartemennya. Namun saat ini ada Tania yang sudah kembali bersamanya. Tania adalah rumahnya.Saat ini sedang Tania duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponsel. Sedangkan Gatra berada di kamar mandi.Mereka sudah berada di sana sejak tadi. Setelah mengganti pakaian, Tania membersihkan wajahnya dari topeng kosmetik, beristirahat sebentar lalu duduk seperti yang dilakukannya sekarang.Tania tersentak ketika pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka bersamaan dengan Gatra yang muncul dari sana. Lelaki yang kembali resmi berstatus sebagai suami
Tania berjalan pelan duluan di depan Gatra, sedangkan Gatra mengekor di belakangnya. Tania sedikit gugup saat Gatra terus mengawasi gerak-geriknya seakan khawatir Tania akan lepas darinya.Tania membuka tas pakaian. Tangannya mencari-cari lingerie yang diinginkan Gatra. Matanya lantas beradu dengan sebuah kain tipis yang lembut di tangannya. Ini dia. Tania menarik lingerie berwarna nude/ senada kulit itu ke luar dari lipatan pakaian lainnya. Hangtag I.D Sarrieri masih tertera di sana. Pertanda lingerie itu belum pernah dipakai atau masih baru.Tania memandang lingerie yang kini berada dalam genggamannya. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan membayangkan akan memakai pakaian seminim itu dan tampil di hadapan Gatra. Belakangan interaksi fisiknya semakin intens dengan Gatra, tapi Tania belum pernah menunjukkan tubuhnya secara utuh.Lingerie seksi itu lengkap dengan G-string yang juga menggoda. Seumur-umur Tania belum pernah memakai lingerie dan G-string. Tania tersenyum geli kala ingat
Gatra menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba kuat menahan hasrat yang semakin mencuat. Kepalanya semakin berat. Sementara di sebelahnya Tania hampir saja ketiduran.“Ta, jangan tidur dulu.” Gatra mengusap pipi Tania sebelum istrinya itu benar-benar memejamkan mata. Bukannya Gatra ingin memaksa dan tidak pengertian, tapi badannya sudah setengah meriang. Gatra yakin ia tidak akan bisa tidur sampai pagi jika begini caranya.“Kenapa, Gat?” tanya Tania lirih.“Masih sakit? Kalo udah enggak kita coba lagi yuk.”“Sekarang?”“Iya, sekarang.”“Tapi bakalan sakit lagi ya, Gat?” tanya Tania ragu. Tania bukannya ingin menolak dan membuat Gatra kecewa. Hanya saja hingga detik ini Tania masih merasakan perihnya sensasi saat tadi Gatra mencoba memasukinya.Gatra menerbitkan senyum tipis di bibirnya menyaksikan ekspresi tegang Tania. Ia mengerti sebesar apa ketakutan istrinya itu.“Sedikit sih, namanya juga pertama. Tapi lama-lama bakalan enak asal kamunya rileks, jangan dibawa tegang, nggak usah dipi
Sinar matahari pagi menerobos masuk dari balik gorden dan menerpa tepat di wajah Tania. Membuatnya mengerjapkan mata berkali-kali lantaran merasa tidak nyaman.Tania hendak membalikkan badannya ketika terasa ada yang menghalanginya. Namun rasa remuk di sekujur tubuhnya membuatnya jadi susah bergerak. Semua diperparah oleh perih yang menusuk di bagian bawahnya.Sementara itu di sebelah Tania Gatra masih pulas dalam lelap. Tangan kirinya semalam Tania jadikan bantal, sedangkan sebelah yang lain melingkari tubuh Tania dengan erat. Pelan-pelan Tania menepis tangan Gatra darinya. Tania menjaga gerakannya seperlahan mungkin agar tidak membuat Gatra terbangun. Wajah lelah Gatra membuat Tania jadi tidak tega.Tania meringis ketika bergerak dan mencoba untuk turun dari ranjang. Saat menurunkan pandangan dan memindai tubuhnya sendiri, Tania menemukan jejak Gatra di mana-mana. Gatra meninggalkan bukti kepemilikan nyaris di sekujur tubuh Tania. Bekas-bekas kemerahan itu sekarang menjadi kebiruan.
Selagi Tania beristirahat Gatra mandi dan membersihkan diri. Setelah rutinitas bersih-bersih itu selesai, Gatra menyiapkan sarapan untuk Tania. Dalam beberapa menit dua cangkir teh manis hangat serta dua tangkup roti tawar dengan selai coklat hazelnut siap untuk disantap.Gatra kemudian ke kamar membawa nampan berisi roti dan cangkir teh serta sebutir pil penurun panas.Tania masih berbaring lemah di ranjang. Sepasang matanya tertutup rapat. Duduk di pinggir ranjang, Gatra menyentuh dahi Tania. Ternyata masih hangat seperti tadi.“Ta, duduk dulu yuk, sarapan terus minum obat.”Perlahan Tania membuka matanya dan melihat Gatra sudah rapi dan segar. Rambut hitam lurusnya tampak setengah basah.“Masih pusing, Ta?”“Sedikit,” jawab Tania parau. Rasa berat di kepalanya seakan menjalar ke seluruh tubuh dan membuat bagian yang lain ikutan sakit.“Sarapan dulu ya, nanti baru minum obat biar agak mendingan.”Tania menurut. Ia tidak menolak ketika Gatra membantunya duduk lalu menyuapinya roti.
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama