“Tingkat kewaspadaan sangatlah tinggi. Hanya saja, waktu itu kondisi sangat kacau, tentu saja kamu tidak akan menyadari ada pergantian orang. Apa mungkin kamu akan menyadari pistolmu sudah tertukar?”Kedatangan pihak kepolisian sudah membuat Tom panik. Apalagi Ericko menukar pistol di saat Tom sedang lengah, tentu Tom tidak menyadarinya.Kali ini, Tom tertawa. “Jules, kamu memang sadis. Jelas-jelas kamu tahu ada anggotamu di dalam mobilku, tapi kamu malah sengaja menabrak mobil kami. Apa kamu tidak takut anggotamu akan mati?”Raut wajah Jules menjadi datar. “Aku tidak berencana untuk membunuhmu. Kalau aku tidak menggunakan cara itu untuk menghentikan kalian, bisa jadi kalian akan menyadari identitasnya. Dia juga tidak bisa hidup lagi.”Jadi, situasi bahaya malah akan melindungi keselamatan Ericko.Seandainya Ericko tidak segera merespons, malah langsung mengendarai mobil ke kantor polisi. Sepertinya si Gendut yang duduk di sampingnya akan langsung menembaknya. Tidak ada kemungkinan mob
Sementara, Ericko menyusup ke sisi Tom. Meski Tom berhasil diantar ke dermaga, apa mungkin Tom yang memiliki tingkat kewaspadaan tinggi akan membiarkan mereka hidup?Jadi, hanya dengan menyebabkan “kecelakaan”, mereka baru bisa mengalihkan perhatian Tom. Tom sangat membenci Jules. Apa mungkin Tom tidak ingin membunuh Jules?Selesai mandi air hangat, Jules mengenakan pakaian bersih berjalan keluar kamar mandi. Ketika dia mengeringkan rambut dengan handuk, dia menyadari Jessie sedang meletakkan semangkuk sup jahe ke atas meja.Jules meletakkan handuk di atas meja, lalu berjalan ke sisi Jessie, memeluknya dari belakang.Jessie memiringkan kepala untuk menatapnya. “Ada apa?”Jules membenamkan kepala ke sisi leher Jessie. Dia mengendus aroma wangi rambutnya sembari tersenyum. “Aku hanya merasa gembira.”Jessie melepaskan tangan Jules, lalu mengangkat mangkuk sup jahe. “Kamu jangan omong kosong dulu. Ayo, cepat diminum. Sup ini dimasak langsung sama aku.”Jules mengambil mangkuk dari tangan
Ariel duduk di bangku samping pengemudi. Sepanjang perjalanan, Ariel menopang dagu sembari bersandar di sisi jendela. “Kamu masih belum jawab pertanyaanku.”Jodhiva memegang setir mobil, lalu memutarnya. “Sudah berakhir.”Ariel tertegun sejenak, lalu memalingkan kepala untuk menatapnya. “Jadi, Tom sudah ditangkap?”Jodhiva mengiakan sembari memarkirkan mobil.Ariel menurunkan kelopak matanya. Tom sudah ditangkap. Itu berarti semuanya sudah berakhir. Sudah saatnya mereka untuk pulang.Entah sejak kapan pintu samping pengemudi dibuka. Jodhiva berdiri di depan pintu. “Turun.”Ariel membuka sabuk pengaman, lalu menuruni mobil dengan memegang kaleng Coca Cola. Belum sempat Ariel meminumnya, kaleng minuman pun disita Jodhiva. “Makan dulu.”“Kenapa kamu malah atur-atur!” Ariel mengulurkan tangan hendak mengambilnya. Namun, kaleng minuman malah sudah dibuang ke tong sampah.Saat Ariel hendak marah, Jodhiva malah mengusap kepalanya. “Aku akan belikan lagi setelah selesai makan.”Ariel terbengon
Ariel tidak berbicara.Jodhiva memainkan ujung rambut Ariel, lalu berkata dengan acuh tak acuh, “Bisa jadi kelak kita tidak bertemu lagi.”“Selalu ada perpisahan di setiap kali pertemuan.” Ariel memalingkan kepala untuk melihatnya. “Apa boleh buat?”Jodhiva mengangkat kelopak matanya menatap Ariel. Tatapannya ketika melirik Ariel mengandung kesan agresif. Wajah Ariel seketika terasa panas lantaran ditatap terus. Dia mengalihkan pandangannya. “Tidak ada gunanya kamu melihatku seperti ini.” Kemudian, Ariel segera menambahkan, “Aku juga tidak akan mengembalikan uangmu.”Terlintas senyuman di wajah Jodhiva. “Kamu tidak usah mengembalikannya.”Ariel mengangkat gelas di atas meja. “Aku juga tidak berencana untuk mengembalikannya.”Jodhiva tidak berbicara, melainkan hanya tersenyum saja.Selesai makan, Jodhiva mengantar Ariel kembali ke rumah sakit. Saat di perjalanan, dia singgah ke minimarket sekitar. Beberapa menit kemudian, Jodhiva kembali ke mobil dengan menyerahkan sekaleng Coca Cola ke
Ekspresi Ariel menjadi kaku. Tatapannya tertuju pada gelas di tangannya. Jadi, Ariel minum gelas bekas diminum Jodhiva?Untung saja tidak ada yang menyadarinya. Ariel menyembunyikan ekspresinya, lalu meletakkan gelas kembali ke atas meja. Dia menggesernya ke sisi tangan kanan Jodhiva, kemudian berbisik, “Lagi pula yang rugi bukan aku.”Jodhiva meraba gelas itu dengan tersenyum. “Biasanya orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan suka berbicara seperti itu.”Ariel membalas dengan acuh tak acuh, “Iya, benar apa katamu.”Jodhiva mengisi teh ke dalam gelasnya, lalu meletakkannya di depan bibir. Ariel tertegun sejenak. Kali ini, dia tidak bisa bersikap tenang lagi.Jodhiva menyesap teh dengan perlahan, sengaja meminum bagian bekas diminum Ariel tadi. Gerakan Jodhiva yang sedang minum teh itu kelihatan sangat menggoda. Gerakan seperti disengajai, tetapi kelihatan cukup serius juga.Tatapan Ariel spontan tertuju pada bibir Jodhiva. Dia segera mengalihkan pandangannya. Wajahnya terasa m
Claire menyuguhkan sepiring buah-buahan ke dalam ruangan. “Lagi lihat apa?”Javier mengangkat kelopak matanya, lalu meletakkan ponselnya. “Masalah di Pulau Persia sudah selesai dengan lancar.”Claire meletakkan piring buah-buahan di atas meja, lalu berkata dengan tersenyum, “Sepertinya anak-anak dalam keadaan selamat.” Dia menusuk sepotong jeruk dengan tusuk gigi, lalu menyuapi Javier. Javier menutup majalah, kemudian memakan jeruk suapan Claire. Setelah itu, Javier menarik Claire, lalu memangkunya. “Jeruk hasil suapan istriku enak sekali.”Claire mengambil buah ceri. “Kalau anakmu bisa meniru gombalanmu, sepertinya aku akan merasa sangat tenang.”Javier pun tersenyum. “Namanya juga anak muda, bukannya wajar? Sejak kecil, Jerry tinggal bersama Jessie dan kita. Dia tidak sama seperti Jody yang tinggal di luar, yang sikapnya sudah diasah oleh Kakek Buyut. Jerry anaknya tidak pintar dalam mengekspresikan diri. Omongannya juga ceplas-ceplos.”Claire menekan-nekan keningnya. “Makanya aku s
Namun, Ariel malah tidak kesakitan. Dia membuka matanya, kemudian menyadari bahwa dia sedang berbaring di atas tubuh Jodhiva. Di bawah tubuh mereka berdua adalah sebuah bantalan yang sudah disediakan sejak awal.Ariel tersadar dari bengongnya. “Kamu ….”Tiba-tiba Jodhiva membalikkan tubuhnya untuk menindih tubuh Ariel, lalu menatapnya. “Kamu jatuh dari atas pentas. Kamu kalah.”Ariel tertegun sejenak. “Kamu sengaja?”Jodhiva pun tersenyum dan tidak menjawab.Ariel mendorong Jodhiva, lalu duduk di tempat. “Sejak kapan aku kalah? Kamu juga tidak menang.”Jodhiva tersenyum tipis. “Aku juga tidak bilang aku sudah menang. Aku hanya berharap kamu kalah saja.”Ariel terdiam membisu. Dia merasa dirinya bagai telah masuk ke jebakan Jodhiva saja. Ariel merasa kesal memukul pundak Jodhiva. Jodhiva mengerang kesakitan, lalu jatuh ke atas bantalan, seolah-olah telah terluka saja.Ariel menyadari pukulannya terlalu kuat. Dia pun segera melihat ke depan. “Hei, Jody, apa kamu baik-baik saja?”Jodhiva
Nada bicara Tobias melembut. “Semuanya sudah berakhir. Aku juga sudah aman. Kamu tidak usah mencemaskanku. Lagi pula, ada Dessy, pengurus rumah, dan Firman yang menemaniku. Aku juga akan hidup gembira meski kamu tidak di sisiku.”Jessie meletakkan peralatan makannya, lalu berdiri. “Tuan Tobias, Ariel, aku sudah kenyang. Aku pergi lihat mereka dulu.”Jessie sengaja memberi ruang untuk mereka berdua.Setelah Jessie meninggalkan tempat, Tobias baru bertanya kepada Ariel, “Ariel, menurutmu, bagaimana si Jody?”Ariel memutar bola matanya. “Bagaimana apanya?”Tobias berkata dengan serius, “Kamu kira aku sudah tua, tidak menyadarinya. Ada hubungan tidak jelas di antara kamu dengan Jody. Dia punya perasaan terhadapmu.”Kali ini, Ariel sungguh syok. “Jangan sembarangan bicara.”Jodhiva punya perasaan terhadapnya?“Coba kamu tanya diri kamu sendiri, apa aku sedang omong kosong?” Tobias mengambil saputangan menyeka ujung mulutnya. “Coba kamu pikir perasaan ketika kamu bersama dengan Jody. Kemudia