Wajah Lisa memucat. Kaki dan tangannya terasa sangat dingin. Wanita itu menyuruhnya mengajak Jessie bertemu. Namun, apa dia sanggup mengkhianati Jessie? Jessie itu temannya!Melihat kebimbangan di wajah Lisa, Sylvie pun melepaskannya. Kemudian, dia menegakkan tubuh dan berujar dingin, "Kalau kamu menolak, apa kamu mau mati menggantikannya?"Lisa yang ketakutan berkata dengan terisak-isak, "Ta ... tapi aku ....""Tapi apa? Pertemanan itu sesuatu yang sangat rapuh. Dia putri Keluarga Fernando, nyawanya lebih berharga darimu. Apa kamu pikir mati demi dia itu sepadan?" sela Sylvie.Sylvie berlutut, lalu membelai rambut Lisa dan melanjutkan, "Demi bertahan hidup, ada kalanya kita harus rela mengorbankan semuanya, termasuk teman.""Kalau kamu nggak tega mengorbankan temanmu, kamulah yang harus mati. Kamu mau hidup atau mati? Katakan!" bentak Sylvie sambil tiba-tiba menjambak rambut Lisa.Lisa kesakitan karena dijambak, tetapi dia tidak berani menangis dengan keras. Dia berkata, "Aku ... aku
Mendengar ucapan Jessie, air mata Lisa akhirnya mengalir. Namun, sebelum dia bisa berkata lebih banyak, Sylvie langsung memutuskan panggilan.Sylvie menyerahkan ponsel Lisa pada pria yang duduk di kursi penumpang. Kemudian, dia menatap Lisa yang menangis sedih dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia mengulum senyum dan berkata, "Nggak usah takut. Kalian teman, bukan? Biarpun kamu mengkhianatinya, dia pasti memaafkanmu."Tak lama kemudian, Jessie menerima telepon dari Lisa. Katanya, temannya itu sudah berada di area parkir luar sekolah.Ketika Jessie berlari menuju gerbang sekolah, dia tiba-tiba dihentikan oleh pengawalnya dan ditanya, "Nona mau ke mana?""Aku mau jemput temanku," ujar Jessie sambil mendorong pengawal itu.Namun, pengawal itu bersikeras menghalangi jalannya dan berkata, "Nona tidak boleh keluar. Tuan Javier bilang, Nona dan Tuan Muda tidak boleh keluar tanpa izin sebelum jam pulang sekolah.""Apa maksudnya? Aku cuma mau keluar sebentar buat jemput temanku. Dia terlambat dan ta
Claire berdiri dan berujar pada polisi itu, "Terima kasih atas kerja keras kalian.""Sama-sama. Justru Bu Claire yang berjasa dalam membujuk pelaku untuk menyerahkan diri," sahut si polisi.Claire tersenyum. Daripada disebut membujuk pria itu menyerahkan diri, sebenarnya lebih tepat jika disebut mengancam. Pria ini sangat setia pada Sylvie. Dia bahkan memilih untuk menanggung semua tuduhan daripada harus melibatkan Sylvie.Setelah meninggalkan kantor polisi, Claire mengirim pesan pada Riandy. Bagaimanapun, dia sudah berjanji pada pamannya untuk menyampaikan hasilnya padanya. Di dalam mobil, ponsel Claire berdering. Sorot matanya berubah kelam saat melihat identitas penelepon. Dia menekan tombol jawab, tetapi tidak mengatakan apa-apa.Sylvie berkata sambil mengulum senyum, "Claire, kamu pasti senang karena anak-anakmu baik-baik saja.""Sebenarnya apa yang kamu inginkan?" tanya Claire dengan tenang."Jangan kira karena aku nggak bisa minggat, kalian bisa memaksaku untuk menyerah. Claire,
Begitu melihat kondisi mengenaskan Lisa, Claire langsung berseru dengan ekspresi muram, "Apa yang sudah kamu lakukan pada anak ini!"Pakaian Lisa dipenuhi noda darah. Wajahnya penuh bekas pukulan yang membengkak parah dan ada bekas darah di sudut mulutnya. Lisa yang tampak disiksa habis-habisan telah kehilangan sinar di matanya. Saat salah satu anak buah Sylvie mendorongnya, dia bahkan langsung terhuyung jatuh.Melihat ini, Claire sontak menggertakkan gigi dan melempar tatapan tajam pada Sylvie. Anak adalah permata di hati orang tua. Melihat Lisa disiksa sedemikian kejam, ibu mana pun akan meledak marah. Meskipun gadis itu bukan putrinya, Claire juga adalah seorang ibu. Dia tidak mungkin bisa bersikap tenang-tenang saja.Tatapan tajam Claire yang seperti ingin sekali mencabik-cabiknya malah membuat Sylvie tersenyum senang. Katanya, "Kamu kasihan pada anak ini? Kamu memang harus berterima kasih padanya. Dia sudah menggantikan putrimu disiksa olehku."Kedua tangan Claire yang diikat terk
Ketika Claire menghampirinya, Sylvie tertawa dan melambaikan remot kontrol di tangannya dengan liar. Dia berkata, "Datanglah kalau berani. Kamu akan hancur berkeping-keping."Langkah Claire terhenti. Dia memandang remot kontrol itu dengan raut yang sangat muram."Kamu nggak mengira aku nggak buat persiapan, bukan? Inilah alasannya aku berani membiarkanmu datang. Sebenarnya aku nggak takut apa kamu datang sendiri atau membawa pasukan. Kalaupun kamu memanggil Javier dan polisi, aku tetap nggak akan membiarkan kalian pergi hidup-hidup," ujar Sylvie sambil tertawa puas.Claire menarik napas dalam-dalam. Setelah sedikit tenang, dia berujar, "Kamu mau membunuh kita semua?" Claire menunjuk dua anak buah Sylvie yang terluka dan melanjutkan, "Mereka mempertaruhkan nyawa untukmu, bahkan ada seorang lagi yang menggantikanmu masuk penjara. Apa nyawa orang-orang ini sama sekali nggak penting buatmu?"Sylvie menjawab dengan dingin, "Hidup dan mati mereka nggak ada hubungannya denganku. Mereka bekerj
Setelah berbicara dengan polisi, Javier pun berjalan mendekati Claire dan memeluknya erat-erat. Dia terus mengencangkan pelukannya. Begitu mencium aroma harum di tubuh Javier, Claire berkata sambil tersenyum pelan, "Sudah kuduga, kamu pasti bakal datang tepat waktu."Sementara itu, Javier mencium kepala istrinya dengan sekuat tenaga. Dia tertawa mendengarnya, tetapi tidak lupa menegur, "Kamu selalu saja bertindak sembrono seperti ini. Kalau aku tidak datang tepat waktu, sekarang kamu mungkin sudah kehilangan nyawa."Claire mendongak untuk menatapnya, lalu berkata, "Soalnya aku percaya padamu dan Jerry."Dalam perjalanan untuk mencari Sylvie, Claire menerima telepon dari Javier. Kala itu, Jerry juga berada di samping ayahnya. Mereka berhasil menemukan lokasi terakhir Sylvie dan mengunci wilayah tempat wanita itu berada. Selama ada jangkauan jaringan, posisi dan jalur pelarian mereka bisa dilacak.Berhubung tempat yang dipilih Sylvie tidak memiliki jalur pelarian yang sesuai, itu menunju
Begitu kata-kata ini dipikirkan lagi sekarang, itu sungguh membuat orang merinding.Keesokan harinya, Roger datang ke vila Javier untuk melaporkan sesuatu. Dia mengatakan bahwa Sylvie telah didiagnosis mengalami masalah gangguan mental di Pusat Laboratorium Forensik. Saat ini, wanita itu sedang ditahan untuk sementara.Claire yang mendengar kabar itu pun terdiam. Tak lama kemudian, dia bertanya, "Gangguan mental?"Roger mengangguk sambil menjelaskan, "Mereka bilang itu adalah gangguan eksplosif intermiten, yang juga merupakan gejala skizofrenia."Mendengar ini, Claire mengerucutkan bibirnya tanpa berkata-kata. Javier memegang punggung tangannya, lalu menatap Roger sembari berkata, "Dalam keadaan normal, ketika orang dengan gangguan eksplosif intermiten melakukan kejahatan, mereka tetap harus bertanggung jawab secara pidana seperti orang normal."Javier menambahkan, "Kalau Sylvie berusaha menggunakan gangguan mental sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab pidana, aku bakal menye
Pengacara penggugat berkata sambil tersenyum, "Tersangka kecelakaan tabrak lari mengaku bersalah karena ingin menggantikan terdakwa untuk diadili. Karena dia bisa mengganti laporan, itu artinya pengakuan lisannya juga bisa dipalsukan."Pengacara penggugat pun bangkit perlahan dan menyerahkan dokumennya. Setelah dokumen diserahkan, hakim mulai membaca dokumen tersebut sambil mengernyit.Pengacara Javier berkata, "Ini adalah semua bukti kejahatan terdakwa. Mana mungkin seorang penderita gangguan mental bisa merencanakan kasus demi kasus dengan begitu jelas dalam keadaan tidak sadar atau tidak mampu mengendalikan perilakunya?"Kemudian, pengacara itu melanjutkan, "Saat penderita gangguan mental melakukan kejahatan tanpa bisa mengendalikan perilaku mereka, tidak peduli siapa pun korbannya, dia tetap tidak bisa menghindari tanggung jawab hukum. Perilaku yang direncanakan dengan sengaja bahkan lebih tidak bisa dianggap sebagai tindakan yang kehilangan kendali."Hakim melihat ke arah pihak te