Di luar halaman Brawijaya Coorporation, Arnold yang menyaksikan semuanya dengan mata kepalanya sendiri tersenyum lebar. Agaknya, aktingnya cukup begitu meyakinkan sang kakak. Buktinya, kakaknya lebih memilih mempercayai dirinya dibandingkan dengan Daniel yang sebenarnya memiliki hubungan yang cukup dengannya.Ia pun dengan begitu santai ke luar dari mobilnya dan berjalan mendeka ke atrah Daniel yang tengah berjalan menjauh dari sana. Keduanya menghentikan langkh mereka begitu berpapasan."Arnold!" ucap Daniel tidak suka.Arnold mengulas sebuah senyum senang, "Bagaimana rasanya?""Apa maksudmu?"Arnold menatap sinis ke arah Daniel lalu berujar dengan tatapan merendahkan, "Bagaimana rasanya dibatalkan kerja samanya dan juga diusir dari Brawijaya seperti seekor anjing yang tidak berguna?"Kemarahan Daniel semakin menggelegak. Wajahnya kini merah padam, tatapannya berubah penuh kebencian pada lelaki yang usianya beberapa tahun lebih muda darinya itu. Ia menggeram marah, "Jadi, ini ulahmu?
"Arnold, jangan macam-macam!" teriak Daniel yang tetap saja tidak diindahkan oleh Arnold yang kini memasang wajah iblisnya.Daniel menggelengkan kepalanya dan membatin, tidak mungkin. Bagaimana bisa Arnold berubah menjadi seperti itu? Bukankah di antara tiga bersaudara itu, Arnold adalah yang terlemah? Tapi rasanya kenapa sekarang dia sangat berbeda?"Aku tidak akan macam-macam kalau kau tidak ikut campur dengan urusanku bersama dengan kakakku."Usai mengatakan hal itu, Daniel tidak lagi bisa berbicara lantaran telah dibius oleh salah satu anakbuah Arnold.Ia memerintah, "Bereskan!""Baik, Bos."Arnold sudah bersusah payah mengambil hati kakaknya. Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun merusak usahanya. Oleh karena itu, siapapun yang berani mengganggu jalannya, ia tidak akan tinggal diam."Kau sendiri yang mengambil jalan ini, Bodoh!" ucapnya saat ia melihat Daniel dipaksa masuk ke dalam mobil.***"Bagaimana dengan kunjungan Anda di toko buku, Tuan Muda?" tanya Damar usai Alexander
"Bagaimana? Apa kau sudah mulai bergerak?" tanya Dewa yang baru saja tiba di kediaman Glenn beberapa menit yang lalu."Hm. Aku sudah mulai membeli beberapa perusahaan yang bernaung di bawah Brawijaya Corporation," jawab Glenn sambil membiarkan angin menerpa wajahnya.Saat ini mereka sedang berada di lantai tiga, tempat di mana Glenn menghabiskan waktu senggangnya sendirian. Sejauh ini hanya ada dua orang yang ia izinkan untuk berada di sana bersamanya, yakni Alexander dan juga Dewa. Dewa bertepuk tangan, "Dan apakah dia tidak curiga?""Mana mungkin dia curiga? Ia bahkan tidak tahu jika itu aku," ucap Glenn menatap heran pada Dewa.Dewa menggeleng, "Kalau dia pintar, seharusnya dia curiga. Bukankah yang kau beli itu berurutan? Dari perusahaan kecil hingga yang besar kan?""Ya, bagaimana kau bisa tahu?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya.Dewa mendengus jengkel, "Oh, ayolah. Kau kan tahu aku ini pintar. Aku tentu saja tahu apa yang mungkin akan kau lakukan."Glenn tertawa sin
"Arnold," panggil Narendra."Ya?" sahut Arnold santai."Aku tidak bisa menghubungi Daniel sejak beberapa hari yang lalu. Menurutmu, kenapa?" tanya Narendra.Arnold memutar badannya dan menyahut dengan tatapan yang terlihat bingung, "Kenapa Mas bertanya padaku? Mana aku tahu?"Narendra tertawa kecil, "Aku hanya tanya pendapatmu."Arnold memperbaiki ekspresinya dan berkata, "Mungkin dia memang tidak ingin berhubungan lagi dengan Mas."Narendra terlihat berpikir sebentar dan hal itu membuat Arnold sedikit was-was terhadapnya, "Ah, benar juga. Aku pikir dia akan sedikit memaksaku atau memohon tapi nyatanya tidak. Aneh."Arnold menghela napas lega begitu mendengarnya. Ia pikir kakaknya tidak menaruh rasa curiga sama sekali terhadap dirinya sehingga ia cukup tenang. "Mungkin dia menemukan partner bisnis yang lain. Dia kan memiliki relasi yang cukup luas, Mas.""Oh, iya. Kenapa aku bisa lupa akan fakta mengenai hal ini? Dia memiliki teman yang sangat banyak, kurasa mudah juga baginya menemuk
"Mudah. Aku sudah mencari beberapa hal yang mungkin bisa kita pakai untuk menekan Alexander," ujar Narendra.Jujur saja, Arnold tidak sekalipun akan menduga jika Narendra akan memiliki pikiran semacam itu. Ia berkata dengan berusaha untuk menahan dirinya agar tidak menggeram marah, "Apa itu, Mas?"Narendra tersenyum penuh misterius seolah ia memang tidak ingin mengatakan hal itu terhadap adik kandungnya."Apa kau tidak ingin mengatakannya kepadaku?" tanya Arnold yang berusaha memasang wajah kecewanya agar kakaknya itu iba kepada dirinya dan mengatakan hal yang ada di kepalanya.Biasanya trik yang dia lakukan itu selalu ampuh untuk menipu Narendra selama ini. Namun, rupanya hal itu kali ini tidak berefek sama sekali. Narendra malah memasang tampang sok misteriusnya lalu menjawab pertanyaan Arnold dengan begitu tenang, "Oh, tidak. Aku bukannya tidak ingin mengatakannya kepadamu tetapi untuk kali ini aku ingin menyimpannya sendiri dulu."Arnold seketika cemberut lalu berujar, "Mas mema
"Kau sungguh-sungguh tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu?" tanya Alexander.Akan tetapi, saat pengusaha muda itu melihat wajah Glenn Brawijaya yang terlihat begitu bingung itu, dia segera cepat-cepat berkata, "Oh, aku lupa. Kau memang tidak tahu apa-apa tentang aku."Glenn mendengus begitu keras lantaran bingung dengan perkataan Alexander yang tidak menentu itu."Lebih baik, katanya saja apa yang kau maksud!" desak Glenn yang sudah tidak sabar lagi menunggu cerita masa lalu yang katanya bisa menjadi sebuah ancaman untuk Alexander sendiri.Alexander tidak langsung menjawab dan malah berkata pada pelayan yang lain, "Ambilkan aku whisky!"Akan tetapi, sebelum pelayan itu mengambilkan pesanan yang diminta oleh Alexander, salah satu pengawal yang ia tebak menjadi anak buah Damar itu mendekat ke arahnya, "Tuan Muda, Anda tidak boleh mabuk."Merasa jengkel, Alexander langsung saja berkata dengan lantang, "Kau pikir kau ini siapa? Sampai berhak melarangku untuk melakukan kesenangan?"
"Ah, hampir mirip tapi lebih dari itu," ujar Alexander.Gusar dan semakin kesal lantaran tidak juga mendapat jawaban yang lebih jelas, Glenn akhirnya berkata dengan begitu tidak sabar, "Ada apa dengan hal itu?""Sangat buruk, Glenn."Alexander menggelengkan kepalanya dan kemudian kembali meminum whisky nya seolah hal itu benar-benar sangat membuatnya tertekan."Apanya yang sangat buruk?" tanya Glenn dengan nada yang terlihat begitu mendesak.Alexander menjawab dengan tatapan bersalahnya, "Saat itu aku masih bersekolah dan bisa dikatakan belum tahu mengenai hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan.""Apa ya memangnya kau lakukan? Mengganggu anak yang lebih lemah darimu? Seperti mengunci teman sekolahmu dalam toilet atau mungkin menjahili gurumu sampai gurumu memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya?" tanya Glenn yang mulai menebak-nebak tetapi semua itu tidak menemukan titik terang yang mungkin mendekati apa yang dilakukan oleh Alexander Barata.Mencoba berpikir lagi,
"Tenanglah, kita cari solusi untuk masalah ini," ujar Glenn yang sebenarnya cukuplah kesal lantaran kasus yang telah dibuat oleh Alexander.Alexander benar-benar merasa sangat buruk, "Jika aku tahu masalah itu bisa mengganggu langkahmu untuk maju, aku pasti tidak akan pernah melakukan hal itu di masa lalu."Glenn mendengus kala mendengar kata-kata yang jelas tidak masuk akal itu, "Ayolah, bukan seorang bayi yang masih juga berpikir tentang andai-andai. Kau jelas-jelas sudah tahu hal itu tidak mungkin terjadi jadi untuk apa kau berandai-andai seperti itu?"Alexander menundukkan kepalanya lantaran ia memang sangat merasa bersalah. Ia berkata pelan, "Iya, kau benar. Semuanya telah terjadi dan tidak mungkin bisa diubah."Glenn tidak menanggapinya dan kini mulai berpikir untuk mengatasi masalah itu.Narendra Brawijaya sudah tentu memiliki bukti mengenai kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh Alexander Barata sehingga yang dilakukan oleh Glenn Seharusnya juga menunjukkan bukti untuk