"Tenanglah, Barata! Tidak sekarang. Kau bisa bersantai dulu untuk sementara waktu!" ujar Glenn.Akexander menghela napas panjang, tidak lagi memaksa Glenn untuk mengatakan hal apapun."Setidaknya kau masih hidup, itu sudah cukup!" ujar Alexander.Glenn menoleh, "Oh, tolong. Apa kau menangisi kematianku, Barata? Tidak aku percaya jika ternyata kau secengeng itu."Alexander melempar tatapan tajam pada putra dari orang yang ia kagumi itu. Ia menyahut dengan menampilan ekspresi jengkel yang begitu kentara, "Untuk menangisi kematianmu? Kau pikir aku mau membuang-buang waktuku yang berharga unuk menangisi kematianmu itu? Menyebalkan!"Glenn tertawa senang mendengar omelan Alexander yang memang cukup membuatnya terhibur itu. Entah kenapa, meskipun ia sendiri tahu jika Alexander bukanlah sekutu yang cukup kuat untuknya, ia tetap berusaha membuat Alexander berada di pihaknya. Alexander tetaplah menjadi orang pertama yang mau mengulurkan bantuan kepadanya.Ia tidak mungkin akan pernah melupakan
"Tuan Alex," panggil Damar saat ia melihat Alexander memasuki ruang tamu.Beberapa pengawal tengah berkumpul dan membahas sesuatu. Alexander mengerurkan kening heran saat melihatny."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Alexander.Damar berkata, "Tidak ada, Tuan Muda."Damar memerintahkan para pengawal untuk menyingkir dari ruangan itu. Alexander melihat cara Damar memerintah dan cukup terkejut saat ia tahu mereka mematuhi perintah Damar.Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka itu anak buahnya. Dia yang menggaji mereka tapi anehnya para anak buah itu malah patuh pada Damar. Ia benar-benar sulit menerimanya."Tidak ada? Kau yakin? Lalu kenapa mereka berkumpul di sini?" tanya Alexander menatap curiga pada Damar.Damar tersenyum samar dan menjawab, "Begini, Tuan Muda. Saya tadi cemas karena Anda tidak pulang-pulang, Saya meminta mereka bersiap-siap untuk melakukan pencarian jika Anda tidak kunjung pulang."Alexander merengut. Jujur saja ia tidak menyukai hal itu, "Tunggu dulu, Damar. Buk
Usai membuat rencana dengan pria yang ia sebut sebagai Jack itu, sang eksekutor yang telah ia perintahkan untuk membunuh Glenn Brawijaya di pelabuhan tiga tahun lalu, Damar segera ke luar dari sana.Namun, tanpa ia sadari, Alexander Barata yang menjadi targetnya itu ternyata mengikuti dirinya. Ia bergumam, "Ah, aku mengerti sekarang. Mungkin kau yang dicurigai Glenn."Saat ia melihat Damar semakin menjauh, Alexander memilih segera kembali ke apartemennya."Tuan Alex, Anda dari mana?" tanya seorang pengawal yang ia ingat baru bekerja kepadanya selama beberapa bulan."Jalan-jalan," sahut Alexander cepat, tak ingin menimbulkan kecurigaan.Sang pengawal mengerutkan dahi, "Kenapa Anda tidak meminta salah satu dari kami untuk menemani Anda?"Alexander hampir saja membentak pengawal yang menurutnya sangat kurang ajar itu. Memangnya siapa pengawal itu sampai berani menanyai dirinya?Akan tetapi, Alexander menahan diri dan berkata, "Aku tidak sempat, sedang terburu-buru.""Baiklah, Tuan. Tapi
"Tentu saja aku tahu," ujar Glenn dengan begitu santainya.Alexander melotot jengkel tapi ia tetap masih tidak berbalik. Namun, sungguh ia mulai kehilangan kesabaran karena harus berpura-pura seperti itu."Kenapa kau tidak langsung mengatakannya saat kita ketemu kemarin," ucap Alexander kesal.Glenn berujar, "Karena kau tidak mungkin percaya kepadaku secara langsung. Bagaimana pun juga, kau sangat mempercayainya. Tidak mungkin kau menaruh curiga kepadanya."Alexander menggelengkan kepala, "Kau harusnya mengatakan itu.""Tidak bisa. Kau harus merasakan dan mengetahuinya sendiri. Bukankah kau juga memang sempat berpikir jika aku mengada-ada kan?' cecar Glenn.Alexander menelan ludah dengan susah payah. Ia memang harus mengakui Glenn benar. Sebelumnya ia memang tidak menaruh curiga pada Damar karena merasa pria itu telah mengabdi kepadanya selama bertahun-tahun dan bisa dipercaya.Ia bahkan sedikit meragukan Glenn lantaran terlalu banyak rahasia yang dimiliki oleh pria itu. Tapi, bukan b
Tiba-tiba saja Glenn menutup buku yang sedang ia baca dengan begitu keras hingga menimbulkan sedikit kekagetan dari pengunjung toko buku itu. Alexander berkata, "Hm. Kenapa reaksimu begitu?""Apa yang kau harapkan memangnya? Kau berharap aku senang-senang saja, Barata?"Alexander mengerang kesal, "Padahal kau sendiri yang menemukan motif Damar tapi kau sendiri yang kesal?"Glenn Brawijaya mendengus, "Orang-orang seperti Damar itu tidak pantas diberi kesempatan hidup. Dia bisa lebih menjadi rakus jika tidak segera kau bereskan."Alexander ingin tertawa keras untuk menanggapi ucapan Glenn yang menurutnya menyebalkan itu. Bukankah Glenn juga tahu saat ini Damar sepertinya berhasil mengendalikan beberapa sektor usahanya. Dan ini bukan kesalahan Damar tapi memang kesalahannya sendiri.Dia hanya cukup bodoh saja hingga mempercayai Damar untuk mengelola seluruh aset miliknya. Kini hanya rasa sesal dan pahit saja yang bisa ia terima."Apa kau mau aku saja melakukannya?" tawar Glenn.Alexander
"Tidak, Arnold. Aku sama sekali tidak mencurigaimu. Justru saat ini hanya kau satu-satunya orang yang aku percaya."Arnold mengalihkan pandangannya, "Sebetulnya jika kau masih meragukan aku pun tidak masalah. Kau berhak melakukannya. Bagaimanapun juga, aku memang pernah berselisih denganmu."Narendra berkata, "Kau-""Tidak masalah. Jika kau masih berpikir begitu, aku tak apa," sahut Arnold yang kemudian meninggalkan sang kakak sendirian.Narendra mengumpat keras setelah tak melihat Arnold, "Ini gara-gara Daniel. Kenapa juga aku bisa terhasut olehnya?"Kesal lantaran hubungannya dengan Arnold sedikit memburuk, Narendra memerintahkan untuk tidak mengizinkan Daniel masuk kembali ke perusahaannya. Meskipun dia merupakan kawan baiknya saat ini, dia pikir dia memang harus lebih menjaga diri untuk melindungi dirinya dan juga kepercayaannya pada adiknya. Dia tidak akan pernah lagi meragukan Arnold. Rasanya sudah cukup 3 tahun ini Arnold membuktikan diri jika dia telah berpihak kepadanya."Ki
Di luar halaman Brawijaya Coorporation, Arnold yang menyaksikan semuanya dengan mata kepalanya sendiri tersenyum lebar. Agaknya, aktingnya cukup begitu meyakinkan sang kakak. Buktinya, kakaknya lebih memilih mempercayai dirinya dibandingkan dengan Daniel yang sebenarnya memiliki hubungan yang cukup dengannya.Ia pun dengan begitu santai ke luar dari mobilnya dan berjalan mendeka ke atrah Daniel yang tengah berjalan menjauh dari sana. Keduanya menghentikan langkh mereka begitu berpapasan."Arnold!" ucap Daniel tidak suka.Arnold mengulas sebuah senyum senang, "Bagaimana rasanya?""Apa maksudmu?"Arnold menatap sinis ke arah Daniel lalu berujar dengan tatapan merendahkan, "Bagaimana rasanya dibatalkan kerja samanya dan juga diusir dari Brawijaya seperti seekor anjing yang tidak berguna?"Kemarahan Daniel semakin menggelegak. Wajahnya kini merah padam, tatapannya berubah penuh kebencian pada lelaki yang usianya beberapa tahun lebih muda darinya itu. Ia menggeram marah, "Jadi, ini ulahmu?
"Arnold, jangan macam-macam!" teriak Daniel yang tetap saja tidak diindahkan oleh Arnold yang kini memasang wajah iblisnya.Daniel menggelengkan kepalanya dan membatin, tidak mungkin. Bagaimana bisa Arnold berubah menjadi seperti itu? Bukankah di antara tiga bersaudara itu, Arnold adalah yang terlemah? Tapi rasanya kenapa sekarang dia sangat berbeda?"Aku tidak akan macam-macam kalau kau tidak ikut campur dengan urusanku bersama dengan kakakku."Usai mengatakan hal itu, Daniel tidak lagi bisa berbicara lantaran telah dibius oleh salah satu anakbuah Arnold.Ia memerintah, "Bereskan!""Baik, Bos."Arnold sudah bersusah payah mengambil hati kakaknya. Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun merusak usahanya. Oleh karena itu, siapapun yang berani mengganggu jalannya, ia tidak akan tinggal diam."Kau sendiri yang mengambil jalan ini, Bodoh!" ucapnya saat ia melihat Daniel dipaksa masuk ke dalam mobil.***"Bagaimana dengan kunjungan Anda di toko buku, Tuan Muda?" tanya Damar usai Alexander