“Biar aku saja, Kak,” cegah Shanon. “Kau selalu memanjakanku.”Damian tersenyum tipis. Kalau bukan orang yang mengenalnya dekat, takkan bisa menangkap senyum langka itu. “Baiklah.”Detik berikutnya pria itu pun sudah beranjak dari sisi Manda dan pamit, “Aku harus pergi lagi. Jangan pulang terlalu malam, Manda.”“Kau masih ada kerjaan?” tanya Manda sambil mengerutkan dahinya. Namun, Damian menggeleng. “Aku ada janji dengan Avantie. Kau tahu dia bawel kalau aku terlambat.”Manda tersenyum pahit. Ia baru menyadari perasaannya pada Damian beberapa minggu lalu. Dan menyadari kalau pria itu sudah memiliki calon istri membuat hatinya hancur.Tentu saja, Damian tidak pernah tahu akan hal itu. Dia tidak pernah peka dalam area itu.“Yeah. Jangan membuatnya menunggu. Hati-hati di jalan.” Manda mengantar kepergian Damian sampai di depan pintu ruang kerjanya. Begitu punggung Damian tak lagi terlihat, wanita muda itu segera berbalik dan masuk kembali ke ruangan.Ia menggelengkan kepala, mencoba m
34“Waktu yang tepat, kalau begitu. Aku bisa menolongmu.” Jared memamerkan deretan gigi putihnya yang berjajar rapi di balik senyuman.Shanon menunggu penjelasan lebih rinci dari apa yang baru saja diutarakan Jared. Ia mengalihkan tatapannya beberapa kali dari Herv kepada Damian kemudian Jared.Herv kemudian memutuskan untuk menjelaskannya pada Shanon. “Kakek tak mau mendiktemu, Shan. Pilihan ada padamu. Apapun yang kau pilih, Jared akan menolongmu mengurus posisi yang kosong.”Gadis itu terdiam sesaat. Ia berpikir akan mendapat jawaban dari pembicaraan mereka, tapi ternyata keputusan tetap ada dalam tangannya. “Sepertinya aku masih butuh waktu untuk memutuskannya, Kakek.” “Well, itu bukan keputusan mudah. Pakai waktumu, Nak. Tidak ada yang memaksamu untuk buru-buru memutuskan. Yang pasti kau sudah tahu, apapun keputusanmu, kau sudah punya Jared.” Herv menepuk punggung tangan Shanon yang mengepal kuat, meyakinkan sang cucu kalau ia akan baik-baik saja, apapun pilihannya.Tepat deng
“Tidak usah menakut-nakuti adikku,Santino!” sentak Damian, membuyarkan lamunan Shanon yang memang sedikit merasa takut.Siapa juga orang normal yang akan tetap tenang kalau tahu perusahaannya akan kemasukan anggota mafia.“Aku tetap percaya pendapat Kakak … walau aku takut,” ujar Shanon jujur. “Shan, jangan terlalu jujur. Anak ini selalu suka menakut-nakuti orang. Tenang saja, dia orang baik.” Damian menghela napas panjang, lelah dengan kelakuan Santino yang masih kekanakan dan juga Shanon yang terlalu polos.Santino sendiri malah terbahak mendengar ucapan jujur Shanon. Tapi itu membuatnya memberi nilai positif pada Shanon. ‘Kupikir dia itu sama saja dengan perempuan-perempuan gila harta di luaran sana. Tapi sepertinya memang Herv menyayanginya dan perempuan ini juga sangat menghargai Herv dan Damian,’ batin Santino yang kemudian melemparkan senyum lebarnya. “Aku loyal padamu, Adik kecil. Tenang saja. Aku akan menyembunyikan keberadaanmu dari semua orang di Tinsel. Aku anak dari To
“Tenang saja. Aku ini teman Herv sejak kecil. Tidak akan kucelakai mereka yang dia anggap keluarga.”Pria yang dikenalkan Herv meyakinkan Shanon. Setelah menjemput Alden, mereka langsung menuju ke restoran di mana Herv membuat janji.Herv terlihat manggut-manggut, mengiyakan ucapan sahabatnya yang bernama Abraham itu. Melihat Herv dengan wajah yakinnya, Shanon pun berusaha percaya. Sulit baginya percaya pada orang luar, tapi karena Herv yang mengatakan, maka Shanon mencoba untuk percaya.Abraham kemudian bertanya, “Jadi, apa rencana selanjutnya?”“Aku masih mengumpulkan informasi mengenai kondisi Julian saat ini, Paman,” ujar Shanon menjelaskan. “I see,” angguk Abraham sambil mencubit-cubit dagunya sendiri. Ia sepertinya tengah berpikir. Kemudian pria yang usianya setara dengan Herv itu berkata, “Kalau kubilang, Adam akan memecat Julian dalam waktu dekat, bagaimana?”Rahang Shanon jatuh mendengar ucapan itu. “Hah?!”Adam adalah pemilik Regal Corp. Itu juga berarti dia adalah ayah
37“Apa kau tak percaya dengan atasanku, Shan?”Pertanyaan penuh rasa tersinggung itu dilontarkan seorang wanita matang yang adalah sekretaris Abraham, kepada Shanon.Shanon menelepon dan meminta Feline—sang sekretaris, untuk meletakkan alat sadap di ruangan Abraham. Alat itu sudah berada di tangan Lucas yang datang ke hadapan Feline. “Tidak begitu, Senior. Aku hanya berpikir dengan begitu Senior tidak perlu lagi menceritakan ulang. Aku tinggal mendengarkannya saja.” Shanon mencoba meluruskan maksud permintaannya. Ia juga menambahkan, “Maaf aku baru kepikiran cara ini, Senior. Menceritakan ulang membuat banyak sekali bagian percakapan hilang.” Feline terdiam sesaat dan mencoba menenangkan diri. Ia sudah terburu emosi dan harus meredakannya. “Aku mengerti. Akan kuletakkan saat aku mengantar minuman, Shan,” ujar Feline saat ia sudah merasa tenang. Feline adalah tipe sekretaris yang sangat loyal pada atasannya. Ia hanya 1 kali berganti atasan dan itupun masih di dalam keluarga yang
38“Sempurna.”Shanon tersenyum puas mendengar percakapan Abraham dengan Julian barusan. Ia pun melepas pengeras suara yang sejak tadi ada di telinganya. “Nona, Julian sudah terlihat keluar dari kediaman Abraham.” Lucas melaporkan dari tempatnya mengawasi. Shanon bergumam pelan menjawab laporan sekretarisnya itu. Ia pun bersiap untuk turun dan menemui Abraham. Setelah Julian meninggalkan area kediaman Abraham barulah Shanon keluar dari mobil. Dipandu oleh seorang asisten kepala, ia diantar ke ruangan Abraham. Lucas bergabung bersamanya ditengah perjalanan. “Apa Pamella setuju dengan rencana perceraian itu?” tanya Shanon pada Lucas sementara mereka semakin dekat dengan ruangan Abraham. Lucas menggeleng. “Wanita itu tidak mengiyakan tapi juga tidak membantah. Ada kemungkinan semua yang dilakukan adalah atas perintah sang ayah—Adam.”Shanon mengangguk paham. Mereka pun tiba di depan ruangan besar. Marc—sang asisten kepala, langsung membukakan pintu ruangan dan mempersilakan Shanon
“Aku tahu dia memang seperti itu, Shan. Orangnya mudah jatuh kasihan, tapi aku tahu dia tidak akan mengkhianati apa yang sudah disepakati bersama.”Herv mencoba menenangkan Shanon yang kini mendatangi kediamannya untuk mengadukan kecurigaan terhadap Abraham.“Aku tidak mau rencana ini berantakan, Kakek. Aku akan sangat malu padamu.” Shanon tertunduk lesu. Ia kini tengah tidak yakin dengan rekan sekerjanya—Abraham.‘Kondisi buta ini benar-benar tidak menyenangkan buatku. Apa ada yang bisa kulakukan? Sepertinya Kakek terlalu percaya pada Abraham.’ Shanon memutar otak, mencari cara bagaimana ia bisa memata-matai Abraham tanpa ketahuan oleh Herv. Bagaimanapun, Shanon tidak berniat melukai Herv.“Kakek akan bicara pada Abraham. Kau tenang saja dulu. Oke?”*** Setelah pembicaraan Shanon dengan Herv hari itu, belum ada tanda-tanda pengkhianatan dari Abraham. Namun hal itu malah semakin membuat Shanon panik setiap saat. “Kau terlihat lesu, Princess?” Santino menyeringai jahil di ambang pi
“Sepertinya Santino sudah selesai. Aku akan menemui Abraham, Shan. Dia sedang makan di restoran.” Herv pamit.Shanon sedikit menyesal karena tidak bisa menemani Herv menemui Abraham, karena sudah pasti Julian akan bergabung dengan ‘sang penolong’.Padahal ia ingin tahu bagaimana Herv akan ‘mengurus’ Abraham yang jelas-jelas punya rencana menolong Julian saat harinya tiba.“Salam untuk Paman Abraham, Kakek.”Herv mengangguk sementara pintu lift mulai tertutup.Bersamaan dengan itu, lift di sebelah kanan terbuka. Santino muncul dengan cengiran jahilnya. Jasnya sudah tak lagi terkancing dan dasinya sudah longgar.“Whew! Kau ada rencana makan siang di kantor, Princess?” tanya Santino berharap Shanon akan membeli beberapa loyang pizza untuknya. Shanon tersenyum santai sambil mengikuti Santino masuk ke ruang makan khusus direksi. “Tentu. Aku ingin tahu bagaimana pandanganmu mengenai rencana selanjutnya.”Belum juga pintu ruangan tertutup sempurna, seorang pria muda memanggil nama Shanon.W