“Aku tahu dia memang seperti itu, Shan. Orangnya mudah jatuh kasihan, tapi aku tahu dia tidak akan mengkhianati apa yang sudah disepakati bersama.”Herv mencoba menenangkan Shanon yang kini mendatangi kediamannya untuk mengadukan kecurigaan terhadap Abraham.“Aku tidak mau rencana ini berantakan, Kakek. Aku akan sangat malu padamu.” Shanon tertunduk lesu. Ia kini tengah tidak yakin dengan rekan sekerjanya—Abraham.‘Kondisi buta ini benar-benar tidak menyenangkan buatku. Apa ada yang bisa kulakukan? Sepertinya Kakek terlalu percaya pada Abraham.’ Shanon memutar otak, mencari cara bagaimana ia bisa memata-matai Abraham tanpa ketahuan oleh Herv. Bagaimanapun, Shanon tidak berniat melukai Herv.“Kakek akan bicara pada Abraham. Kau tenang saja dulu. Oke?”*** Setelah pembicaraan Shanon dengan Herv hari itu, belum ada tanda-tanda pengkhianatan dari Abraham. Namun hal itu malah semakin membuat Shanon panik setiap saat. “Kau terlihat lesu, Princess?” Santino menyeringai jahil di ambang pi
“Sepertinya Santino sudah selesai. Aku akan menemui Abraham, Shan. Dia sedang makan di restoran.” Herv pamit.Shanon sedikit menyesal karena tidak bisa menemani Herv menemui Abraham, karena sudah pasti Julian akan bergabung dengan ‘sang penolong’.Padahal ia ingin tahu bagaimana Herv akan ‘mengurus’ Abraham yang jelas-jelas punya rencana menolong Julian saat harinya tiba.“Salam untuk Paman Abraham, Kakek.”Herv mengangguk sementara pintu lift mulai tertutup.Bersamaan dengan itu, lift di sebelah kanan terbuka. Santino muncul dengan cengiran jahilnya. Jasnya sudah tak lagi terkancing dan dasinya sudah longgar.“Whew! Kau ada rencana makan siang di kantor, Princess?” tanya Santino berharap Shanon akan membeli beberapa loyang pizza untuknya. Shanon tersenyum santai sambil mengikuti Santino masuk ke ruang makan khusus direksi. “Tentu. Aku ingin tahu bagaimana pandanganmu mengenai rencana selanjutnya.”Belum juga pintu ruangan tertutup sempurna, seorang pria muda memanggil nama Shanon.W
“Edric?! Siapa itu?” sentak Damian yang sudah berdiri tak nyaman di ruang kerjanya. Ia sedang berada cukup jauh dari Tinseltown dan sekarang hatinya tidak rela mendengar sang adik memiliki seseorang di sana yang jatuh cinta padanya. Santino mendengus kesal. “Ah! Tidak seru! Kupikir kau tahu. Romantis sekali. Pria ini ternyata juniornya Shanon yang sudah lama mencari Shanon. Mereka bertemu dan—”“Apa pria itu orang baik?” potong Damian yang malas mendengar cerita dari Santino.“Yes. Orang yang lurus dan polos.” Santino mencoba melebih-lebihkan.“Kalau dia orang baik, kurasa tidak akan ada masalah, Santino. Aku hanya tidak mau adikku bertemu dengan laki-laki tidak benar,” ujar Damian menjelaskan. CEO Herv Co. itu juga menambahkan, “Kau di sana harus bisa jadi penyeleksi mengenai siapa yang bisa mendekati Shanon, Santino.”“Ya, ya, ya. Tambahan tugas, tambah gaji,” kekeh Santino bergurau. Dia tidak butuh uang. Uangnya sudah tak terhitung jumlahnya. Namun, ia bicara dengan orang yang
Aku bahkan tidak tahu kenapa aku penasaran dengan bualan Santino. Abaikan saja ucapanku, Shan." Damian menutup sendiri topik yang diangkatnya. Dan karena Shanon juga tidak punya hubungan apa-apa dengan Edric, ia pun setuju dalam hatinya untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu. Alih-alih menutup sambungan telepon, Damian malah bertanya, "Kau baik-baik saja di sana? Ada yang kau butuhkan tidak?""Aku baik-baik saja, Kak. Semua berjalan baik di sini." Hati Shanon tiba-tiba tersentil ingin bertanya mengenai hubungan Damian dengan sang tunangan. "Apa kau berencana menikah dalam waktu dekat, Kak?"Tanpa ragu Damian menjawab, "Tidak. Sampai kau selesai dengan urusanmu dan bisa fokus membuka lembaran baru untuk hidupmu."Shanon tertegun. Entah kenapa hatinya berkata kalau saat ini ia sangat ingin salah paham dengan semua yang dilakukan Damian. Baginya, Damian seperti memusatkan hidupnya pada Shanon. Sayang, pikirannya lebih rasional ketimbang perasaannya. Dengan cepat Shanon mengusir peras
"Apa kepalamu habis terbentur sesuatu?" tanya Shanon yang merasa sedang dipermainkan Santino. Ia jelas tidak akan percaya begitu saja, kalau pria sehebat Santino menginginkan dirinya yang bukan siapa-siapa itu."Hey! Apa setidak-mungkin itu buat kau jadi istriku, hm?" keluh Santino sambil menghela napas panjang. Shanon pun ikut menghembuskan udara pelan dan lama. Ia kemudian balik bertanya, "Memangnya apa yang kau inginkan dariku? Aku sudah punya anak dan aku tidak secantik wanita-wanita yang kau temui selama ini, Santino."Santino terdiam sesaat, kaget karena Shanon mengetahui kegiatan malamnya itu. "Kau menguntitku!" serunya dengan nada riang."Kau penasaran dengan hidupku?" tanya Santino yang semakin jauh dari niat menjawab pertanyaan Shanon barusan.Namun dengan tenang Shanon tersenyum dan berkata, "Aku selalu mengecek kapan kau akan berkhianat, tapi sepertinya pandangan kakakku tentangmu tepat. Kau orang yang loyal.""Damn! Kau membuat hatiku sakit, Princess. Sudahlah, menikah
44 “Kalian sudah siap dengan acara perayaan CEO baru?” tanya Shanon saat melewati meja sekretarisnya. Keempat staf di bagian kesekretariatan itu mengangguk serempak. Wajahnya terlihat bangga, karena mereka tahu kalau acara yang sudah selesai mereka siapkan tergolong mewah. “Saya sudah memberitahu Pak Julian mengenai acara hari ini,” tambah salah satu sekretarisnya. Shanon mengangguk seraya memamerkan senyum tipisnya. “Nice. Thank you kalian semua.” Wanita itu segera berbalik dan masuk ke dalam lift untuk turun menuju lobi. Ia bermaksud lebih dulu pergi ke hotel di mana acara tersebut diadakan. Netra Shanon langsung mencari mobilnya di teras lobi, begitu ia keluar dari lift. Mempercepat langkahnya, ia pun melewati pintu lobi dalam hitungan detik. ‘Istirahat sebentar saja. Sekalian ngecek tugas Caleb,’ batin Shanon sambil melangkahkan kakinya ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka lebar. “Caleb di mana, Nan?” tanya Shanon pada Keenan, yang selalu setia menyupirinya. Sementa
“Tidak usah dikejar, Cal. Aku yakin dia bukan mata-mata.”Santino menghela nafas panjang, lelah dengan kebutaan anak buahnya soal cinta. Walau dia sendiri adalah seorang keluarga mafia yang dibesarkan jelas lebih banyak dengan kekerasan, setidaknya ia tahu rasa cinta.Gadis tadi sudah berhasil menyelinap dari sisi kanan Caleb dan berlari menuju tangga darurat. Caleb bisa saja mengejar, tapi sang atasan sudah menahan langkahnya, “Lanjutkan saja tugasmu!”Tanpa ragu Caleb pun mengangguk menerima perintah Santino dan mengekor atasannya itu menuju kamar Shanon untuk menjaganya.“Setelah acara hari ini, jangan lupa pekerjaan barumu sudah menunggu.” Santino menambahkan perintah-perintah baru pada salah satu anak buahnya yang sangat populer dibayar sebagai bodyguard.Dan Caleb hanya bisa mengangguk. Walau seolah pekerjaan tak pernah berhenti, tapi uang yang ia hasilkan tidak sedikit. Lagi, sebelum mereka masuk ke kamar hotel, Santino menambahkan, “Selesai atau tidak, urusan Shanon ini, kau
“Apa istri Anda tak masalah, Anda malah bekerja di perusahaan lain?” Shanon mencoba mengorek kondisi rumah tangga Julian yang sebenarnya.Dan benar saja, begitu ia membicarakan sang istri, Julian terlihat murung. Mungkin juga karena mabuk, akal sehatnya mulai tak bisa membaca situasi.Wajah sedihnya mulai diikuti dengan mulut yang terpisah, menyuarakan isi hati. “Mereka melimpahkan semua kesalahan pada saya. Ada atau tidak ada saya di keluarga itu, sudah tidak jadi soal, Nona Steenkool,” kata Julian penuh kegetiran.Shanon yang memang sengaja menggunakan nama yang sama dengan perusahaannya itu tersenyum tipis mendengarkan Julian yang terus mengoceh soal istri dan mertuanya.Sedikit banyak ia bisa mengkonfirmasi kebenaran dari semua data yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Lagi, Julian berkata, “Soal tidak punya anak, saya juga yang dilabeli dengan kata ‘mandul’, tapi mereka tidak mau melakukan tes.”Netra Shanon membulat kaget sepersekian detik sebelum menampilkan senyumannya lagi.