Cara pulang lebih lambat pun, Ethan masih belum sampai di apartemen. Ia berusaha tak peduli dengan pengabaian Ethan. Walaupun ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya. Kedua kakinya langsung melangkah menuju kamar utama. Merasa begitu penat dan lelah hingga sangat malas hanya untuk sekedar ke kamar mandi. Ia pun hanya berbaring di sofa. Menunggu rasa lelahnya mereda sebelum membersihkan diri. Toh Ethan juga tak akan segera kembali.Kehamilannya kali ini tidak seberat yang pertama. Mungkin karena kali ini bukan anak kembar? Atau …mungkin memang anak kembar. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya atas ketidak tahuannya. Seharusnya ia segera pergi ke dokter kandungan untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun bagaimana jika Ethan tahu? Apa yang harus dikatakannya? Apakah pria itu akan terkejut?Cara menggelengkan kepala. Kenapa sekarang ia harus peduli pada reaksi Ethan? Ia tak pernah mengharapkan kehamilan ini. Tak pernah membayangkan dirinya akan kembali dihamili oleh Ethan
“Ini akan menjadi terakhir kalinya aku membantumu, Bianca.” Ethan menurunkan gulungan bajunya. Melirik tajam pada sang mama yang berada di ujung ranjang. “Apa pun itu trik yang sedang kalian mainkan, tak akan bekerja padaku. Jadi hentikan rencana yang coba kalian susun. Aku sudah muak dengan permainan keluarga ini.” “Apa maksudmu permainan, Ethan?” Senyum kepuasan yang tersemat di bibir Irina seketika membeku. Menatap Bianca dan Ethan dengan kebengongan. Ethan mendengus tipis. Menatap mamanya yang terlihat konyol dengan kebengongan tersebut. “Tidak bisakah kalian menyembunyikan perasaan kalian dengan lebih baik?” “Kami benar-benar tak mengerti apa yang kau maksud, Ethan. Permainan? Apakah semua ini terlihat seperti permainan di matamu? Aku baru saja mengalami kecelakaan dan membutuhkanmu?” Bianca menunjukkan perban yang membebat tangan kiri dan keningnya. “Kau pikir aku bercanda?” Ethan sama sekali tak tertarik mengamati semua perban dan plester yang terpasang tersebut. Saat mene
‘Cara, bisakah kau membantuku? Aku membutuhkanmu. Sekarang.’ ‘Nighty Club.’ Cara menunjukkan pesan singkat yang dikirim oleh Zevan. Yang langsung mengambil ponsel miliknya. Tetapi tak ada pesan tersebut di ponselnya. “Aku memang ada urusan di sini, tapi aku tak mengirim pesan tersebut padamu.” “Apa?” “Seseorang pasti mengirimnya untuk menjebakmu.” Keduanya saling pandang. Tak lain dan tak bukan pasti. “Emma,” gumam keduanya bersamaan. “Sebelum berangkat ke sini, dia mengunjungi apartemenku. Aku tak tahu dia akan melakukan trik semacam ini dan entah apa tujuannya.” Cara menghela napas rendah. “Setidaknya sekarang kau baik-baik saja.” Zevan mengangguk. “Apakah itu artinya kau memang akan datang jika terjadi sesuatu padaku?” “Tentu saja aku akan membantumu.” Keduanya tertawa bersama. “Bukankah kau harus pergi?” “Aku akan membatalkannya. Aku tak mungkin meninggalkanmu di tempat ini sendirian. Tunggu sebentar.” Zevan mengangkat panggilan yang tiba-tiba masuk. Sedikit menjauh
Ethan melompat ke arah Cara dan berhasil menangkap kepala wanita itu sebelum membentur lantai. Kemudian menggendong sang istri keluar dan membawanya ke ruang IGD. Betapa terkejutnya Ethan saat mendengar penuturan sang dokter yang mengatakan tentang kehamilan Cara. Stres dan tubuh yang lemah membuatnya mengalami pendarahan. Pun begitu Ethan merasa lega karena setidaknya janin itu cukup kuat untuk bertahan. “Lalu bagaimana kontrasepsi itu tidak berjalan dengan baik?” “Ada beberapa hal seperti yang pernah saya jelaskan.” Ethan jelas tak butuh mendengar hal itu lagi. Sekarang Cara hamil. Dan itu lebih mengejutkannya. Saat Cara meminta untuk melakukan kontrasepsi di tengah kebutuhan biologisnya yang tak pernah tak tertahankan jika di hadapkan pada wanita itu, kehamilan adalah hal yang sejujurnya ingin ia hindari. Pengalamannya tentang menghadapi kehamilan Cara bukanlah hal yang ingin diulang. Dan luka itu masih menganga lebar setiap kali menatap si kembar. Ethan mengangguk setelah san
“Di mana Ethan?” Pagi itu, Zaheer muncul di ruang perawatan Cheryl dan tak menemukan Ethan. Hanya Cara dan si kembar yang masih terlelap. Cara menggeleng tak tahu. Saat keluar dari kamar mandi, Ethan sudah tidak ada. Zaheer menatap Cara dan si kembar bergantian. “Bisakah kita bicara?” “Katakan.” Cara menatap dua berkas di tangan Zaheer. “Di luar.” Cara pun ikut keluar. Langkah keduanya berhenti tak jauh dari pintu dan Zaheer memberikan salah satu berkas di tangannya pada Cara. “Apa ini?” “Hasil tes darahmu.” Zaheer membuka satu persatu lembaran yang ada di dalamnya dan berhenti di lembaran terakhir. “Kau tahu apa ini?” Cara mengernyit tak mengerti. “Aku bukan dokter, Zaheer. Kenapa kau malah bertanya padaku?” Zaheer mendengus tipis. “Kau yakin tak tahu?” Cara menutup berkas tersebut. Kesal oleh tatapan penuh curiga Zaheer. “Aku hamil, kan? Ethan sudah tahu. Kau puas?” Zaheer menahan lengan Cara yang hendak melewatinya. “Kau yakin hanya kami yang tahu tentang kehamilanmu?
Braakkk ….Suara punggung Zevan yang menghantam lantai begitu keras. Beberapa perawat yang berjaga di balik meja resepsionis terperangah kaget. Beranjak dari duduk mereka dan saling mendekat.Menyaksikan baku hantam yang semakin sengit. Zaheer kembali mendekati Zevan yang belum bangkit, mencengkeram kerah baju pria itu dan kembali menyarangkan tinju di hidung Zevan. Darah muncrat dari hidung Zevan, yang tak mau kalah dan mendorong tubuh Zaheer dari atas tubuhnya. Menggunakan kedua tangan untuk membalik tubuh Zaheer ke samping dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membalik keadaan. Pundak Zaheer membentur kursi yang ada di samping mereka, mendorong pot bunga hingga jatuh ke samping dan pecah. Suara pecahan tersebut bergema di seluruh lorong.Langkah Cara yang baru saja menutup pintu di belakangnya pun terhenti mendengar suara keributan tersebut. Saking kerasnya dan bukan hanya dirinya yang mendengar. Ethan, Irina, Roy, dan Arman juga menoleh ke arah pintu. Ethan bangkit lebih dulu.
Cara memucat dengan ancaman tersebut. Tatapan Bianca lebih dingin dari cara Irina menatapnya. Juga lebih membuat bulu di tengkuknya berdiri.Dan ketika Bianca menarik kepalanya ke belakang, wajah wanita itu kembali menampilkan senyum palsu. Secepat kilat. Tampak begitu lihai mengganti topeng di wajahnya. Hingga membuat Cara terkejut dan kesulitan menyembunyikan ketakutannya.“Kuharap kau siap mendapatkan perhatianku juga,” lanjut Bianca. Berjalan ke samping dan sengaja menabrak pundak Cara hingga wanita itu berputar ke samping. “Pergilah ke mana pun, jangan mengganggu kami,” tambahnya sebelum memutar gagang pimtu. Wajahnya kembali berputar, dengan kilat jahat yang melintas di kedua manik hitamnya. “Alasan sakit perut atau apa pun, meski terdengar begitu tak masuk akal.”Cara benar-benar dibuat kehilangan kata-kata saking terkejutnya dengan keterus terangan Bianca untuk merebut Ethan darinya. Merebut? Cara bahkan tak benar-benar memiliki Ethan. Yang seketika membuat perasaan Cara disel
Ketika hanya ada keheningan di antara mereka, Cara bangkit berdiri dengan kedua mata yang mulai digenangi air mata. Pria itu masih berengsek, apa yang diharapkannya. Kenapa ia harus merasa kecewa? Ethan menangkap pergelangan tangan Cara sebelum wanita itu melangkah untuk kedua kalinya. Membanting tubuh sang istri di atas sofa yang empuk. Sentakannya cukup kuat meski tak cukup menyakiti wanita itu. Kemudian menindihnya dan menangkap lumatan yang panjang di bibir Cara. Yang tak mampu menolak meski mengerahkan seluruh tenaga untuk memberontak. Membiarkan Ethan menahan kedua tangannya di atas kepala. Begitu pun dengan ciuman pria itu yang semakin menggebu. Sampai kemudian Ethan berhenti, napas panas pria itu berhembus di atas wajah Cara, yang terengah, berusaha menormalkan degup jantungnya. “Aku ingin membicarakan tentang kehamilanmu.” “Kau ingin melenyapkannya lagi, kan?” Suara Cara bergetar hebat. Air matanya mengalir tanpa suara, jatuh ke bantalan sofa. “Kenapa kau mengharapkan si
‘Kau membunuhnya. Dia melakukan apa pun untuk mempertahankanmu.’ Jeda yang cukup lama, menciptakan keheningan di antara keduanya. ‘Hingga detik ini, kakek masih merasa apa yang dikatakannnya memang benar.’Mata Zevan terpejam mengingat kalimat terakhir Arman sebelum ia keluar dari ruangan tersebut. ‘Seharusnya dia tak melakukan itu. Itu adalah kesalahan terbesar di hidupnya yang menyedihkan. Kalian yang terlalu lemah.’Tak ada penyesalan apa pun telah mengucapkan kata yang berasal dari hatinya yang terdalam. Ia adalah kesalahan. Wanita itu melakukan kesalahan. Semua hidupnya yang menyedihkan menurun dari wanita itu. Ia hanya sedikit berbaik hati untuk mengakhiri nasib menyedihkan itu. Sebagai anak yang berbakti. Ujung bibirnya tertarik ke atas. Membentuk seringai tipis.*** “Apa maksudmu kakek tak sadarkan diri?” Kepala Ethan terangkat dari ponsel di tangannya pada Zaheer yang duduk di ujung sofa. Kecemasan menyelimuti wajah sang sepupu. “Hasil
“Sepertinya ada banyak hal yang mengganggumu?” gumam Ethan saat keduanya berbaring dan sudah mendapatkan posisi nyaman di atas tempat tidur. Akan tetapi wanita itu tak juga tertidur setelah setengaha jam lebih.Cara menoleh ke belakang. “Kau belum tidur?”Ethan memutar tubuh Cara menghadapnya. “Apa yang sedang kau pikirkan?”“Hmm, bukan hal yang penting,” senyum Cara.“Tetapi mengganggumu.”Cara menghela napas rendah. Masih dengan senyum yang tersungging lebar, telapak tangannya menyentuh wajah Ethan. Mengusapkan jemarinya di rahang Ethan dengan lembut. “Seberapa pun kerasnya aku berusaha tak memikirkan semuanya, semua itu hanya semakin menggangguku, Ethan. Apa yang sebenarnya terjadi?”“Aku tak mungkin di sini jika rencana Zevan memang berhasil, Cara.”“Kenapa dia melakukan semua ini padamu? Pada Cheryl? Juga padaku dan anak …” Kalimat Cara seketika terhenti.Mata Ethan memicing tajam. Ekspresi wajah pria itu seketika berubah tegang. “Apa yang dilakukannya padamu?”Cara mengerjap. C
Arman Anthony menunggu di balik pintu kaca gelap yang ada di sampingnya, ketika pintu itu bergeser membuka, sang cucu melangkah keluar dari ruang interogasi bersama seorang pria berjaket hitam dengan tubuh besar yang menampilkan sikap dan ekspresi datar sebelum berjalan meninggalkan cucu dan kakek tersebut.“Kenapa aku tak terkejut?” Ethan bergumam rendah. Kedua pengacaranya memberikan satu anggukan hormat pada Arman Anthony, kemudian berpamit pergi bersama dua pengacara kiriman sang kakek yang berhasil membawanya keluar dari ruangan tersebut. “Aku bisa melakukannya sendiri. Apakah Mano yang membuat masalah? Atau Zaheer? Ck, mereka begitu tak sabaran.”“Kenapa kakek pun tak terkejut kau tak mengucapkan terima kasih, Ethan.”Ethan mendesah pelan. Ada kejengahan yang tersirat di kedua mata abu gelapnya. “Karena aku tahu bukan itu yang kakek inginkan dariku.”Arman tersenyum tipis. “Sepertinya mereka tidak memberimu makanan yang layak. Kakek akan mak
Buugghhh …Tubuh Zevan melayang ke arah Mano. Dan pergulatan kedua pria itu tak terelakkan. Mano tentu saja sudah bisa memperkirakan reaksi Zevan yang minim kesabaran. Menyambut tinju sang sepupu dengan suka cita.“Berapa Ethan membayarmu hingga kau membuat omong kosong setolol ini, hah?”Mano terbahak. Membalas tinju Zevan di rahang, sekuatnya hingga pria itu tersungkur ke samping dan menabrak guci besar hingga pecah.“Hentikan kalian berdua!” Suara menggelegar Arman Anthony memenuhi seluruh ruangan. Tetapi kemarahan masih menguasai kedua pria itu, menulikan telinga mereka dan kembali saling melemparkan balasan.Baku hantam itu akhirnya berhasil dipisahkan oleh anak buah Arman Anthony. Yang masing-masing menahan lengan Zevan dan Mano.Mano tentu saja satu-satunya orang yang merasa puas dengan akhir dari perkelahian tersebut. Hidung Zevan patah dan ia yakin sang sepupu tak terima dengan kekalahan tersebut. “Seperti yang kau bilan
Mano melepaskan pegangan Cara. Kedua pria itu berlari keluar, meninggalkan Cara yang membeku di ambang pintu.Mano sudah berlari mendekati ujung tangga, tetapi kemudian pria itu teringat sesuatu dan kembali mendekati Cara. “Kemarikan ponselmu?”Cara menatap tangan Mano yang terulur.“Apa pun yang terjadi, kau tak boleh meninggalkan tempat ini, Cara. Jadi kemarikan ponselmu. Cepat.”“Lalu bagaimana aku tahu kalau Ethan baik-baik saja?” Suara Cara bergetar hebat. Bisa membayangkan betapa tersiksanya dia menunggu dengan penuh kegelisahan dan tak bisa ke mana-mana.“Yang terpenting, kau, Darrel, dan Cheryl baik-baik saja. Kami bisa mengurus Ethan.” “T-tapi …”“Cepat, Cara. Kami tak punya banyak waktu.”Cara menggeleng, wajahnya benar-benar pucat. “A-aku ingin ikut.”“Dan membiarkan Darrel dan Cheryl sendirian? Jangan egois, Cara. Cepat! Di mana ponselmu.”Cara mengerjap. Mano benar. Dirinya dan si
“Cindy Anthony?” Cara mengulang nama itu dalam gumaman. Mama Zevan? Pembunuhan? Kepala Cara menggeleng. Menolak tuduhan tersebut. “Tidak mungkin. Kenapa dia membunuh …”“Ck,” decak Ethan. “Sungguh? Kalian melakukannya sekarang? Aku baru saja berpikir untuk berendam.”Kedua pria itu mengeluarkan borgol dari dalam saku. Zaheer langsung berdiri. “Dia akan ikut kalian. Jadi singkirkan benda itu dan tunggu di depan.”Tubuh Cara berputar panik. Melotot pada Zaheer. “Apa yang kau katakan. Zaheer?”Ethan mengedikkan kepala ke arah pintu pada kedua pria berjaket hitam tersebut. “Beri aku waktu lima menit untuk bicara dengan istriku?”Kedua pria itu bergeming. Tampak mempertimbangkan peringatan tajam dalam tatapan Ethan. “Privasi untuk … tersangka? Setidaknya kalian terlambat setengah jam dari seharusnya. Aku tak suka jika anak-anakku melihat kejadian memalukan ini.”“E-ethan?” Suara Cara bergetar hebat. Di tengah kegentingan sep
“Lenganmu sakit?” Cara merasa tak enak hati melihat Ethan yang meregangkan otot lengan untuk ketiga kalinya sejak mereka terbangun oleh panggilan Cheryl.“Hanya …”“Pegal.”Ethan terkekeh. Menarik pinggang Cara dan mendudukkan tubuh mungil di meja wastafel hanya dalam satu sentakan ringan. Menempatkan tubuhnya di antara kedua kaki wanita itu dan merapatkan tubuh mereka. “Kenapa? Apa kau ingin bertanggung jawab?” bisiknya tepat di depan wajah Cara. Sengaja menyisakan jarak yang tipis, membiarkan napas keduanya bertukar. Cara tersenyum dengan wajahnya yang mulai tersipu. Jarak di antara wajah mereka begitu dekat. Tetapi ia menyukai hal itu. Kedua lengannya melingkari leher Ethan, wajahnya sedikit terdongak dengan tubuh Ethan yang tinggi. Dan ia butuh lebih sedikit mengangkat tubuhnya untuk menyentuhkan bibir mereka. “Apakah ini cukup?”Ethan menggeleng, dengan senyum yang masih melengkung, bibirnya bergerak menyapu bibir Cara yang lembut.
Mano memberikan satu anggukan. “Aku tahu apa yang harus kulakukan,” ucapnya kemudian berbalik dan berbelok di ujung lorong pendek tersebut.“Pergilah,” pintah Ethan dengan suara datar. Perlahan, ia mulai bisa mengendalikan emosi yang memenuhi dadanya. Ia harus tenang dan pikirannya harus jernih. Tak boleh megalihkan perhatian.Zaheer pun ikut berbalik, menyusul Mano tetapi menuju arah yang lain.“Ke mana mereka?” Isakan Cara terhenti ketika menyadari Mano dan Zaheer yang sudah pergi. Sementara tampaknya kedua pria itu masih belum selesai berbincang.“Ada yang harus mereka lakukan.” Ethan melonggarkan pelukan Cara, menatap wajah wanita itu yang masih dibasahi oleh air mata. Mengulurkan sapu tangan. “Tenangkan dirimu. Kau tak mungkin terlihat seperti ini di hadapan Cheryl.”Cara mengusap kedua matanya dengan kain lembut tersebut. “Ethan?” panggilnya lirih setelah perasaan mulai sedikit tenang. “Mungkin aku …”“Tidak.” Ethan tentu t
Suara alarm yang berdengung di telinga menyentakkan Cara yang tengah menyisir rambut. Cara gegas beranjak dari duduknya menuju pintu, hampir menabrak anak buah Ethan yang hendak mengetuk pintu. “Nyonya, kami akan membawa nyonya …”“Ada apa? Alarm apa itu?”“Teman saya masih memeriksanya di lantai atas.”“Di mana Darrel dan Cheryl?” Cara melewati pengawal tersebut. Berlari ke arah tangga dengan panik begitu mendengar lantai atas.Cara tak benar-benar mendengarkan jawaban di pengawal yang menyusul langkahnya. Memanggilnya kalau yang lain sedang juga sedang mengamankan si kembar. Tapi Cara tak akan merasa tenang jika belum melihat Darrel dan Cheryl dengan kedua mata kepalanya sendiri. Firasat buruk mulai merambati dadanya.“Mama?” Suara Darrel menyambut langkah Cara yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dua. Kedua lengan bocah itu langsung melingkar di perutnya. “Sayang, kau baik-baik saja?”“Cheryl?” Darrel mendongakkan kepala