Cara memucat dengan ancaman tersebut. Tatapan Bianca lebih dingin dari cara Irina menatapnya. Juga lebih membuat bulu di tengkuknya berdiri.Dan ketika Bianca menarik kepalanya ke belakang, wajah wanita itu kembali menampilkan senyum palsu. Secepat kilat. Tampak begitu lihai mengganti topeng di wajahnya. Hingga membuat Cara terkejut dan kesulitan menyembunyikan ketakutannya.“Kuharap kau siap mendapatkan perhatianku juga,” lanjut Bianca. Berjalan ke samping dan sengaja menabrak pundak Cara hingga wanita itu berputar ke samping. “Pergilah ke mana pun, jangan mengganggu kami,” tambahnya sebelum memutar gagang pimtu. Wajahnya kembali berputar, dengan kilat jahat yang melintas di kedua manik hitamnya. “Alasan sakit perut atau apa pun, meski terdengar begitu tak masuk akal.”Cara benar-benar dibuat kehilangan kata-kata saking terkejutnya dengan keterus terangan Bianca untuk merebut Ethan darinya. Merebut? Cara bahkan tak benar-benar memiliki Ethan. Yang seketika membuat perasaan Cara disel
Ketika hanya ada keheningan di antara mereka, Cara bangkit berdiri dengan kedua mata yang mulai digenangi air mata. Pria itu masih berengsek, apa yang diharapkannya. Kenapa ia harus merasa kecewa? Ethan menangkap pergelangan tangan Cara sebelum wanita itu melangkah untuk kedua kalinya. Membanting tubuh sang istri di atas sofa yang empuk. Sentakannya cukup kuat meski tak cukup menyakiti wanita itu. Kemudian menindihnya dan menangkap lumatan yang panjang di bibir Cara. Yang tak mampu menolak meski mengerahkan seluruh tenaga untuk memberontak. Membiarkan Ethan menahan kedua tangannya di atas kepala. Begitu pun dengan ciuman pria itu yang semakin menggebu. Sampai kemudian Ethan berhenti, napas panas pria itu berhembus di atas wajah Cara, yang terengah, berusaha menormalkan degup jantungnya. “Aku ingin membicarakan tentang kehamilanmu.” “Kau ingin melenyapkannya lagi, kan?” Suara Cara bergetar hebat. Air matanya mengalir tanpa suara, jatuh ke bantalan sofa. “Kenapa kau mengharapkan si
“Aku tahu kau juga ingin membunuhnya.” Mano menghela napas beratnya sembari bersandar pada punggung kursi. “Kau melihat semuanya?” Pertanyaan Ethan berhasil membuat seluruh tubuh Mano menegang. Ia bahkan tak berani melihat lebih jauh, terutama hasil yang didapat dari kamera di toilet. “Di toilet?” tanyanya. Meneguk ludahnya yang terasa lebih pekat. Ethan tak butuh mengangguk ataupun memberikan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Keduanya tahu pertanyaan yang ia maksud. “A-aku harus melihat beberapa untuk mendapatkan sudut pandang kameranya, Ethan.” Mano kembali menegakkan punggungnya. Berusaha membela diri karena memang kecemburuan Ethanlah yang berlebihan. Bukankah Zevan yang lebih berdosa? Ethan berusaha meredam kecemburuannya untuk alasan yang masuk akal tersebut. Bibirnya menipis keras, kedua matanya menggelap. Toilet? Bukankah itu benar-benar tak masuk akal! “Aku tahu kau akan seperti ini, Ethan. Jadi aku tidak melihat sepenuhnya. Lagipula istrimu tidak telanjang bulat.
“Kau menjauh dariku, Cara. Kau pikir aku tak tahu? Dan itu bukan karena Ethan, karena dirimu sendiri!”Cara membekap mulutnya, saking terkejutnya dengan kata-kata yang dikeluarkan Zevan dengan kemarahan tersebut. Tak ada kelembutan di mata pria itu. Hanya ada luapan emosi yang seolah telah terpendam begitu lama.“Apakah aku salah?!”Butuh beberapa saat bagi Cara untuk mencerna keterkejutannya. “Apakah dokter itu hanya alasanmu saja?”Zevan tak menjawab, menggusur rambutnya dengan gusar.Cara berbalik, pengkhianatan itu terasa nyata. Langkahnya baru sampai menuruni anak tangga ketika Zevan menyambar pergelangan tangannya dan menyentakkan tubuhnya dengan kasar.“Kau sudah tak berminat meniggalkan Ethan?”“Kau tahu aku tak bisa, Zevan.”“Karena Darrel dan Cheryl?” Mereka berdua tahu itu, kan?“Atau karena kehamilanmu?”Seolah belum cukup keterkejutannya akan Zevan, pria itu menambah kecurigaannya.“Atau kau mulai merasa nyaman dengan berengsek itu?”“Kau tahu?”Zevan tak langsung membal
Setelah Cara menidurkan si kembar, Ethan masih belum juga pulang. Wanita itu menunggu di sofa ruang tamu sejak dua jam yang lalu. Tak berhenti menatap ke arah lift yang masih tertutup rapat, dan tak ada tanda-tanda akan kedatangan pria itu.Cara menatap jam besar di dinding, yang nyaris menunjukkan waktu tengah malam hanya dalam beberapa menit saja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Tak ada panggilan tak terjawab ataupun pesan singkat yang mungkin dikirim pria itu. Meski hanya sekedar bertanya apakah dia sudah makan dan minum susu ibu hamil serta vitamin. Biasanya pria itu tak pernah terlambat memastikan hal itu.Satu helaan panjang lolos di antara celah bibirnya. Berbaring miring di sofa. Memeluk bantal yang empuk tersebut dan pandangan mengarah pada pintu lift.Sebenarnya ada pekerjaan macam apa yang membuat Ethan harus kembali selarut ini?Atau … mungkin saja pria itu sedang singgah di suatu tempat? Mungkin juga bertemu dengan Zaheer dan Mano. Dan … tak menutup kemungki
“Berapa lama kau akan pergi?”“Paling lama dua hari.”“Lusa kau akan pulang?”“Biasanya. Jika urusannya lancar.” Sekali lagi Ethan menatap simpul dasinya yang sudah rapi lalu menoleh pada Cara yang berdiri di sampingnya dengan memegang jasnya. “Kenapa? Kau tak mungkin tak bisa tidur tanpaku, kan? Atau … merindukanku?”Mata Cara mengerjap gugup. “Apa maksudmu, Ethan? Aku hanya bertanya. Terserah kalau kau tak mau jawab,” jawabnya kemudian melempar jas di tangannya dan membalikkan tubuh sembari menenangkan degupan jantungnya yang lagi-lagi menjadi tak karuan. Ck, kenapa hormon kehamilan ternyata berdampak sebesar ini pada dirinya. Seharusnya ia menahan diri untuk tidak bertanya kapan pria itu pulang saat melihat pelayan yang mengemas pakaian. Toh apa pedulinya jika Ethan pulang tiga hari atau bahkan satu minggu.Ethan menangkap pinggan Cara, membawa tubuh wanita itu menempel di dadanya dalam satu gerakan yang ringan. Kemudian menenggelamkan
“Bukankah kau sudah tahu semua keberengsekannya? Memangnya keburukan apalagi yang perlu kau cari tahu tentang Ethan?” Mano bertanya balik ketika siang itu menjemput si kembar di sekolah karena Cara yang mendadak pusing. Setelah sekalian mengambil sesuatu di ruang kerja Ethan, pria itu duduk-duduk di balkon sambil menunggu sekretaris Ethan yang akan mengantar berkas. Tiba-tiba Cara menghampirinya dan mengajukan pertanyaan yang tak masuk akal. ‘Orang seperti apa sebenarnya Ethan?’Mano hampir terpingkal dengan pertanyaan konyol yang dilontarkan oleh seorang Cara. Tentang Ethan.“Kenapa kau selalu berpikir buruk tentangku?” kesal Cara.“Bertanya tentang keburukan Ethan, kan? Yang ingin kau ketahui?”Mulut Cara membuka dan menutup, kehilangan kata-kata. Seketika menyesali pertanyaannya. Dan kenapa pula ia harus bertanya tentang Ethan? Pada Mano lagi!“Tidak?”“Terserah kau, Mano.” Cara mengibaskan tangannya dengan kesal. Be
Perasaan Cara benar-benar campur aduk. Ia butuh mendengar lebih banyak kejelasan, tetapi ketakutan dan rasa bersalah yang mulai menggerogoti dadanya terasa lebih buruk. Sebanyak apa sebenarnya Ethan mencampuri urusannya? Menyelamatkannya dari Zevan? Bukankah seharusnya Zevanlah yang menyelamatkannya dari kearogansian Ethan? Bukankah seharusnya Ethanlah yang berengsek? Bukankah seharusnya Ethanlah yang menghancurkan hidupnya? Alih-alih pria pemaksa itu yang menjadi pahlawan di hidupnya.Mata Cara terpejam, kembali memutar rentetan kata-kata Mano dan Zaheer yang pernah dilontarkan padanya untuk membela Ethan. Mencoba membuka matanya. Semua kalimat itu berputar di kepalanya seperti kaset yang rusak. Membuat perasaannya semakin tak karuan.Kesalah pahaman macam apa ini? Semua berubah 180 derajat hanya dalam waktu yang singkat. Setelah selama ini? Setelah sejauh ini? Kenapa Ethan menyimpannya? Kenapa Ethan membiarkan kesalah pahaman ini tetap berlanjut? Kenapa
My Lovely Wife“Jadi apa yang kau katakan?”Ethan menggeleng. “Ponselku berdering. Theo sudah di bawah.”Zaheer hanya manggut-manggut. “Tapi menurutmu sampai kapan dia akan berpikir dirinya masih hamil?”“Kapan pun itu, tak akan lama. Ck, aku tak tahu kehamilan. Menurutmu berapa minggu perut harus terlihat besar?”“3-4 bulan biasanya sudah mulai terlihat perkembangannya. Seperti Yang dikatakan Cara. Apalagi ini kehamilan keduanya.”Napas Ethan tertahan sejenak. “Aku tak tahu bagaimana cara memberitahunya.”“Kau akan menemukannya.” Zaheer mengedikkan bahu. “Seperti biasanya.”Ethan tak membalas.“Setelah keguguran itu, rahimnya juga sudah kembali normal.”Tambahan penjelasan Zaheer yang sudah diketahuinya itu membuat Ethan semakin dilanda dilema. Tak ada cara selain menghadapinya. Cara memang perlu tahu.Pada akhirnya, setelah empat hari masih dalam pengawasan intens dokter Faryal
Jangan Meninggalkan Kami“E-ethan?” lirihnya dengan suara yang lemah. Tenggelam di antara isakan Ethan yang mulai membasahi punggung tangannya, yang menempel di wajah pria itu. Cara mulai menepikan rasa pusing yang menggelitik kepalanya. Entah bagaimana ia berada di tempat ini, terbangun dan menemukan Ethan yang terisak di sampingnya.‘Kami benar-benar membutuhkanmu, sayang.’ Bisikan yang diucapkan dengan penuh permohonan tersebut adalah kalimat pertama yang menyambutnya begitu kesadaran perlahan mulai muncul dan menguasainya. Istriku. Itu adalah panggilan terindah yang pernah diucapkan oleh Ethan. Dengan penuh ketulusan yang menghangatkan dadanya. Akan tetapi, kenapa suara Ethan terdengar begitu sedih? Kenapa pria itu bahkan … menangis? Tangannya mulai bergerak pelan. Menatap kepala Ethan yang masih tertunduk dengan menggenggam tangannya. Genggamannya semakin kuat, tetapi setidaknya tangannya masih bisa digerakkan, untuk mendapatkan perhatian Ethan
Kembalilah, Kami Membutuhkanmu“Mama masih tidur?” gumam Cheryl, menjatuhkan kepalanya di pundak sang papa. Sementara Darrel yang berdiri di samping Ethan hanya menatap lurus pada ranjang pasien. Tempat sang mama berbaring dengan mata terpejam. Dengan dua mesin di samping kanan dan kiri ranjang yang mengeluarkan bunyi konstan, terhubung dengan tubuh rapuh Cara sebagai penunjang hidup. Sementara ketiganya berdiri di balik dinding kaca. Sejak tiga puluh menit yang lalu. Ethan merasakan genggaman tangan Darrel yang menguat. Pertanyaan Cheryl juga pertanyaan yang tak diucapkan sang putra. Sekaligus pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Mereka masih menunggu. Berharap di tengah keputus asaan yang seolah tak ada ujungnya.“Sudah lima menit.” Ethan lebih memilih mengalihkan pembicaraan. Ini sudah kedua kali Cheryl meminta tambahan lima menit setelah tiga puluh menit rutinitas yang wajib mereka lakukan setiap hari ini.Cheryl tak menjawab, t
“Tuan?” Suara benda jatuh dari seberang mengaktifkan sikap siaga Theo. Tubuh pria itu menegang. Menyusul erangan sang tuan yang seolah mengumpat dan suara lain yang terdengar.‘Kau bersama Cara?’Ujung mata Theo melirik ke samping. Menyadari sang nyonya yang tiba-tiba peka dengan keterkejutannya. Tatapan keras wanita itu melirik ponsel yang masih menempel di telinga.“Aku ingin bicara dengan Ethan. Berikan padaku.” Tangan Cara terulur, tetapi reaksi Theo tentu saja bergerak menjauh. Untuk selanjutnya ia membeku dengan suara Zevan dari seberang.‘Well, turuti kemauannya atau kepala bosmulah yang kulubangi selanjutnya.’‘Sialan kau, Zevan!’ umpat sang tuan yang tertahan.‘Kenapa kau begitu percaya diri kalau dia akan menyelamatkanmu, Ethan? Meski Cara bisa, dia tak akan melakukannya.’Mata Theo terpejam dengan percakapan yang terdengar. Sembari kepalanya berpikir keras mencari cara menyelamatkan sang tuan. Kepala pengawal
Suara dering ponsel yang terdengar dari balik pintu mengalihkan perhatian Ethan dan Mano. Ethan beranjak dan gegas mendekati pintu ruangannya yang didorong terbuka oleh Cara sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu.“Ponselmu sejak tadi berbunyi. Sepertinya ada urusan yang penting.” Cara mengulurkan benda pipih tersebut. Memuji dirinya sendiri akan suaranya yang keluar setenang air danau meski hatinya terasa remuk redam.Ethan menunduk, menatap nama Bianca. Tak biasanya wanita itu menghubunginya malam-malam begini. Dan melihat riwayat panggilan yang menunjukkan belasan panggilan tak terjawab, sepertinya ada sesuatu yang serius. Tanpa berpikir dua kali, ia menjawab panggilan tersebut.“Ada apa?”Ethan mengerjap terkejut, kepalanya berputar dan langsung bertatapan dengan Mano. Keseriusan merebak di seluruh permukaan wajahnya, mengirim pesan pada Mano yang langsung menangkap sinyal tersebut dan menghampirinya.“Kita harus ke rumah sakit,” uc
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Suara Zevan memecah ketegangan yang membentuk di sekitar keempat orang tersebut.Cara mundur satu langkah. Zevan yang berdiri di hadapannya bukan lagi Zevan yang ia kenal. Ah, ia tak pernah benar-benar tahu siapa Zevan yang berdiri di depannya saat ini juga sebelum-sebelumnya.Pandangan Zevan melirik kedua anak buah Ethan yang ada di samping kanan dan kiri Cara. Tak perlu bertanya apa yang ada di balik jas kedua pria besar dan tinggi tersebut. Akan tetapi … pandangannya beralih pada Cara. Satu-satunya yang paling lemah dan kesempatan yang dimilikinya untuk menghancurkan Ethan.Ia menekuk lututnya, memastikan raut penyesalan dan menyedihkan yang sempurna sebelum berbicara dengan penuh permohonan. Zevan melepaskan jaket hitamnya dan mengangkat kedua tangan pada dua pria tersebut, menunjukkan tak ada ancaman apa pun yang akan dilakukannya pada Cara.“Hanya lima menit,” ucapnya menatap lurus kedua mata Cara. “Mer
‘Kau membunuhnya. Dia melakukan apa pun untuk mempertahankanmu.’ Jeda yang cukup lama, menciptakan keheningan di antara keduanya. ‘Hingga detik ini, kakek masih merasa apa yang dikatakannnya memang benar.’Mata Zevan terpejam mengingat kalimat terakhir Arman sebelum ia keluar dari ruangan tersebut. ‘Seharusnya dia tak melakukan itu. Itu adalah kesalahan terbesar di hidupnya yang menyedihkan. Kalian yang terlalu lemah.’Tak ada penyesalan apa pun telah mengucapkan kata yang berasal dari hatinya yang terdalam. Ia adalah kesalahan. Wanita itu melakukan kesalahan. Semua hidupnya yang menyedihkan menurun dari wanita itu. Ia hanya sedikit berbaik hati untuk mengakhiri nasib menyedihkan itu. Sebagai anak yang berbakti. Ujung bibirnya tertarik ke atas. Membentuk seringai tipis.*** “Apa maksudmu kakek tak sadarkan diri?” Kepala Ethan terangkat dari ponsel di tangannya pada Zaheer yang duduk di ujung sofa. Kecemasan menyelimuti wajah sang sepupu. “Hasil
“Sepertinya ada banyak hal yang mengganggumu?” gumam Ethan saat keduanya berbaring dan sudah mendapatkan posisi nyaman di atas tempat tidur. Akan tetapi wanita itu tak juga tertidur setelah setengaha jam lebih.Cara menoleh ke belakang. “Kau belum tidur?”Ethan memutar tubuh Cara menghadapnya. “Apa yang sedang kau pikirkan?”“Hmm, bukan hal yang penting,” senyum Cara.“Tetapi mengganggumu.”Cara menghela napas rendah. Masih dengan senyum yang tersungging lebar, telapak tangannya menyentuh wajah Ethan. Mengusapkan jemarinya di rahang Ethan dengan lembut. “Seberapa pun kerasnya aku berusaha tak memikirkan semuanya, semua itu hanya semakin menggangguku, Ethan. Apa yang sebenarnya terjadi?”“Aku tak mungkin di sini jika rencana Zevan memang berhasil, Cara.”“Kenapa dia melakukan semua ini padamu? Pada Cheryl? Juga padaku dan anak …” Kalimat Cara seketika terhenti.Mata Ethan memicing tajam. Ekspresi wajah pria itu seketika berubah tegang. “Apa yang dilakukannya padamu?”Cara mengerjap. C
Arman Anthony menunggu di balik pintu kaca gelap yang ada di sampingnya, ketika pintu itu bergeser membuka, sang cucu melangkah keluar dari ruang interogasi bersama seorang pria berjaket hitam dengan tubuh besar yang menampilkan sikap dan ekspresi datar sebelum berjalan meninggalkan cucu dan kakek tersebut.“Kenapa aku tak terkejut?” Ethan bergumam rendah. Kedua pengacaranya memberikan satu anggukan hormat pada Arman Anthony, kemudian berpamit pergi bersama dua pengacara kiriman sang kakek yang berhasil membawanya keluar dari ruangan tersebut. “Aku bisa melakukannya sendiri. Apakah Mano yang membuat masalah? Atau Zaheer? Ck, mereka begitu tak sabaran.”“Kenapa kakek pun tak terkejut kau tak mengucapkan terima kasih, Ethan.”Ethan mendesah pelan. Ada kejengahan yang tersirat di kedua mata abu gelapnya. “Karena aku tahu bukan itu yang kakek inginkan dariku.”Arman tersenyum tipis. “Sepertinya mereka tidak memberimu makanan yang layak. Kakek akan mak