Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Tamu Aneh Di Pagi Hari

Share

Tamu Aneh Di Pagi Hari

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-09-21 07:00:04

Junjie duduk di kursi di luar rumah beroda, berjemur di bawah sinar matahari. Meski di musim gugur, sinar matahari tak sehangat di musim panas, tetapi itu cukup menghangatkan tubuhnya yang semakin sering menggigil kedinginan.

"Minumlah tehmu!" Ren Hui menuangkan teh krisan yang direbusnya dengan jahe dan sedikit gula merah, agar terasa lebih nikmat. Meski indra pengecap Junjie belum membaik seperti semula.

"Apa kau baik-baik saja setelah semalam berlatih jurus Pedang Surgawi?" Junjie mengambil cangkir tehnya dan bertanya pada Ren Hui tanpa menatapnya. Dia justru berpura-pura meniup teh panasnya.

"Selama aku tidak menggunakan tenaga dalam, maka semuanya baik-baik saja," sahut Ren Hui pelan. Dia melirik Song Mingyu yang tengah mengajak Baihua bermain. Mereka berkejaran di sekitar hutan bambu yang sunyi.

"Apakah tidak ada cara untuk menetralisir racun dalam tubuhmu?" Junjie kembali bertanya. Pria itu menatapnya dengan kekhawatiran tergambar jelas di
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apakah Kau Akan Mencariku?

    Ucapan pria tua itu membuat Ren Hui hampir tersedak tehnya. Begitu pula dengan Junjie yang ternganga dan tidak jadi menyesap tehnya. Dia menoleh dan menatap Song Mingyu lekat-lekat."Aku pernah bertemu dengan Zhu Zijing. Beberapa kali. Terakhir kali sesaat sebelum turnamen di ibukota. Dia sangat mirip denganmu, anak muda," pria itu melanjutkan ucapannya, tidak mempedulikan reaksi Ren Hui dan Junjie."Dia berasal dari Manor Song. Tidak ada hubungannya dengan mendiang ketua sekte Pedang Langit," Ren Hui menyahut setelah menguasai diri, kembali tenang seperti biasanya."Manor Song? Kau putra Song yang mana?" Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan Song Mingyu dan bertanya dengan serius."Dia putra Tuan Song Yanzhu," kali ini Junjie yang menyahut ucapannya. Setelah hilang keterkejutannya atas ucapan pria tua itu, dia kembali bersikap seperti biasanya. Duduk santai bak pemalas dengan bersedekap tangan."Song Yanzhu? Berarti ibumu adalah Su Ya

    Last Updated : 2024-09-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Membuka Peti Mati Giok Lavender

    Dewa Obat menatap benda yang masih tertutup kain lusuh itu. Sebuah desahan halus keluar dari bibirnya ketika ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan peti yang tampak misterius itu. Dengan perlahan, ia menarik dan membuka kain lusuh yang membungkusnya, memperlihatkan sebuah peti mati yang indah, berkilauan dalam nuansa ungu muda yang memancar lembut dari permukaannya.Ren Hui, yang baru saja selesai dengan pekerjaannya di dapur, ikut mendekat sekilas. Namun, hanya dengan lirikan tak peduli, ia kembali ke kesibukannya, membawa hidangan yang baru dimasaknya ke meja makan yang biasa mereka gunakan. "Guru!" Yue Yingying berseru saat ia memasuki ruangan, diikuti oleh Junjie dan Song Mingyu. Hanya Baihua yang kini berjaga di teras. Rubah putih itu berbaring di lantai teras dengan santai."Eh, Yingying, bantu aku menariknya," ujar Dewa Obat sambil menunjuk peti mati itu. Tanpa ragu, ia meminta bantuan muridnya untuk menggeser benda berat tersebut.Namun,

    Last Updated : 2024-09-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kamar Untuk Ye Hun

    Dewa Obat tertawa terkekeh, suaranya menggema di antara dinding-dinding kayu. Dia menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh arti, berkacak pinggang dengan santai. Pria tua aneh itu sama sekali tidak merasa khawatir dengan kondisi Ye Hun."Ren Hui!" Tiba-tiba dia berseru memanggil pedagang arak itu. Song Mingyu saling berpandangan dengan Junjie, kebingungan. Mereka tidak mengerti maksud Dewa Obat memanggilnya. Hanya Yue Yingying yang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sebagai muridnya, dia memahami karakter sang Guru yang terkadang di luar nalar.Ren Hui tidak menyahut, tetapi turun dari atap rumah beroda. Dia membawa sebuah guci arak berukuran sedang. Dengan langkah tenang tanpa terburu-buru, pria tampan rupawan itu menuruni anak tangga kayu. Setelah meletakkan guci arak yang dibawanya di atas meja, barulah dia mendekati mereka."Ada apa?" tanyanya dengan tenang dan santai, seolah tidak ada sesuatu yang mengusik ketenangannya."Bukankah aku

    Last Updated : 2024-09-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kenangan Dalam Cahaya Lentera

    Malam di kota Chunyu terbalut dalam cahaya lembut dari lentera-lentera yang bergantung sepanjang Jalan Kenangan. Setelah mengantarkan Dewa Obat kembali ke tokonya, Ren Hui dan Song Mingyu melangkah beriringan di jalanan batu yang dipenuhi toko-toko kecil. Jalan ini memang dijuluki Jalan Kenangan, karena setiap sudutnya menyimpan kisah masa lalu—baik yang terlupakan maupun yang abadi dalam ingatan.“Jalan ini selalu indah,” ujar Ren Hui perlahan, tatapannya menyapu deretan toko dan kedai kecil yang dipenuhi suara tawa dan obrolan. Lentera-lentera kecil berpendar di depan setiap toko, memancarkan cahaya hangat yang menghidupkan suasana nostalgia dan romantis.Song Mingyu, yang berjalan di sampingnya, menatap kagum. “Aku tidak pernah membayangkan tempat seindah ini ada di dunia,” katanya dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.Ren Hui tersenyum tipis. "Chunyu punya caranya sendiri untuk membuat orang lupa akan waktu," jawabnya sambil mengagumi keindahan

    Last Updated : 2024-09-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pangeran Terbuang

    Kepulan asap tipis dari cerobong asap rumah beroda milik Ren Hui menjadi pertanda adanya kehidupan di hutan bambu yang sunyi di pinggiran kota Chunyu. Di antara deretan bambu yang menjulang, rumah itu tampak seperti oasis kecil yang terlindungi, menyatu dengan harmoni alam. Di dalamnya, keheningan dipecahkan oleh aroma teh yang mengepul, menciptakan suasana damai yang menyelimuti ruang sempit tersebut.Junjie duduk bersandar dengan malas, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Matanya terpaku pada cangkir teh panas yang baru saja dituangkan oleh Yue Yingying untuknya. Teh angin malam, dikenal karena efek menenangkan yang dimilikinya, terdiri dari campuran daun teh dan bunga malam yang hanya mekar di bawah sinar bulan. Rasa pahitnya, yang samar-samar diselimuti manisnya herbal, seakan menjadi pengantar menuju lelap yang tenang. Namun, hari itu, kehangatan teh tak mampu menembus hampa yang dirasakan Junjie.Di samping teh, semangkuk Laba Congee—bubur beras dengan kaca

    Last Updated : 2024-09-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Surat Dari Wei Jin

    Keesokan paginya, Junjie terbangun dengan tubuh yang masih terasa lesu, seolah-olah seluruh tenaganya telah terhisap habis. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Cahaya matahari musim gugur yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, menghangatkan ruangan dengan sinar keemasan yang menenangkan. Matanya tertuju pada meja kecil di samping tempat tidurnya. Rasa terkejut menyelimuti dirinya saat mendapati berbagai kudapan khas musim gugur tertata rapi di atasnya. Kue bulan dengan isian kacang merah yang manis, buah kesemek segar, dan teh krisan yang wangi menggoda. Semua itu adalah kesukaannya sejak kecil, menghadirkan kembali kenangan yang terasa begitu jauh, namun hangat. Sejenak, hatinya dipenuhi rasa haru. Kenangan itu tidak hanya membawanya kembali ke masa-masa damai, tetapi juga menyentuh bagian terdalam dari hatinya, di mana cinta dan luka tak terpisahkan. Masa lalu yang telah berlalu, pikirnya, meski ji

    Last Updated : 2024-09-23
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rahasia Manor Song

    Junjie duduk di tepi tempat tidurnya, menatap hampa ke luar jendela yang terbuka lebar. Angin lembut meniup dedaunan bambu yang menghijau, sementara beberapa helai yang menguning jatuh perlahan ke tanah.Di tangannya ada sepotong kue bulan berisi kacang merah, dia mengunyahnya perlahan, menikmati kelembutannya yang manis. Sesekali menyesap teh krisannya dengan elegan. Teh itu hangat, dengan aroma bunga yang samar, menghangatkan tenggorokannya, memberikan rasa nyaman yang singkat. Suasana di rumah beroda pagi itu kembali tenang seperti biasanya. Song Mingyu sudah sejak pagi pergi ke kota untuk mengantarkan arak ke beberapa kedai yang telah ditunjukkan Ren Hui padanya semalam. Di lantai atas, Yue Yingying merawat Ye Hun dengan penuh kesabaran. Junjie meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati, suara cangkir yang bersentuhan dengan meja kayu nyaris tak terdengar. Dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, langkahnya terdengar pelan

    Last Updated : 2024-09-23
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengumuman Turnamen Musim Gugur

    Langit mulai merona jingga ketika Song Mingyu selesai mengantarkan arak ke beberapa toko di pusat kota. Ia melangkah perlahan di atas jalanan berbatu yang padat, ditemani aroma manis arak yang masih menempel di pakaiannya, menyatu dengan udara sore yang sejuk. Di Jalan Kenangan, pemilik toko-toko menyapanya dengan ramah. Beberapa di antara mereka bahkan menepuk punggungnya dengan akrab, seolah ia bagian dari keseharian mereka."Bagaimana kabar Ren Hui? Apakah dia akan datang ke Festival Musim Gugur tahun ini?" tanya seorang pemilik toko kain dengan senyum lebar. Pria tua itu memandangnya dengan penasaran, tampak heran melihat seorang pelayan di samping pedagang arak yang terkenal pelit.Song Mingyu membalas dengan senyum kecil, merasa hangat oleh perhatian yang diberikan padanya. "Aku tidak tahu, Paman. Dia belum mengatakannya padaku."Pemilik toko kain menghela napas panjang, ekspresinya berubah sedikit sendu. "Dia selalu seperti itu, ya. Datang dan pergi

    Last Updated : 2024-09-23

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status