Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Kerinduan Di Tengah Malam

Share

Kerinduan Di Tengah Malam

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-09-20 15:00:34

Junjie dan Song Mingyu menatap Ren Hui. Mereka tidak mengerti ucapannya barusan. Rasanya mustahil, Junjie mengalami masalah dengan indra pengecapnya. Meski kondisi tubuhnya memang belum membaik, tetapi rasanya tidak separah itu.

"Tidak apa, itu hanya sementara saja. Besok Yue Yingying akan mengobatimu lagi sekalian memeriksa dia." Ren Hui menenangkannya seraya melirik peti mati yang mereka simpan di sudut selasar dan ditutupi kain.

Junjie dan Song Mingyu serentak mengikuti tatapannya. Beberapa hari ini, mereka belum berani membuka peti mati yang mereka curi dari Biro Kupu-kupu Emas. Menurut Nyonya Gao, kondisi Ye Hun tidak seperti kondisi orang-orang sakit pada umumnya.

Dia telah berada di dalam peti mati itu kurang lebih selama dua tahun. Rasanya tidak mungkin tidak terjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Karena itu dia menyarankan mereka untuk menunggu Dewa Obat dan muridnya, Tabib Ilahi Yue Yingying. Mereka berdua pasti lebih paham bagaimana harus menang
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu Aneh Di Pagi Hari

    Junjie duduk di kursi di luar rumah beroda, berjemur di bawah sinar matahari. Meski di musim gugur, sinar matahari tak sehangat di musim panas, tetapi itu cukup menghangatkan tubuhnya yang semakin sering menggigil kedinginan."Minumlah tehmu!" Ren Hui menuangkan teh krisan yang direbusnya dengan jahe dan sedikit gula merah, agar terasa lebih nikmat. Meski indra pengecap Junjie belum membaik seperti semula."Apa kau baik-baik saja setelah semalam berlatih jurus Pedang Surgawi?" Junjie mengambil cangkir tehnya dan bertanya pada Ren Hui tanpa menatapnya. Dia justru berpura-pura meniup teh panasnya."Selama aku tidak menggunakan tenaga dalam, maka semuanya baik-baik saja," sahut Ren Hui pelan. Dia melirik Song Mingyu yang tengah mengajak Baihua bermain. Mereka berkejaran di sekitar hutan bambu yang sunyi."Apakah tidak ada cara untuk menetralisir racun dalam tubuhmu?" Junjie kembali bertanya. Pria itu menatapnya dengan kekhawatiran tergambar jelas di

    Last Updated : 2024-09-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apakah Kau Akan Mencariku?

    Ucapan pria tua itu membuat Ren Hui hampir tersedak tehnya. Begitu pula dengan Junjie yang ternganga dan tidak jadi menyesap tehnya. Dia menoleh dan menatap Song Mingyu lekat-lekat."Aku pernah bertemu dengan Zhu Zijing. Beberapa kali. Terakhir kali sesaat sebelum turnamen di ibukota. Dia sangat mirip denganmu, anak muda," pria itu melanjutkan ucapannya, tidak mempedulikan reaksi Ren Hui dan Junjie."Dia berasal dari Manor Song. Tidak ada hubungannya dengan mendiang ketua sekte Pedang Langit," Ren Hui menyahut setelah menguasai diri, kembali tenang seperti biasanya."Manor Song? Kau putra Song yang mana?" Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan Song Mingyu dan bertanya dengan serius."Dia putra Tuan Song Yanzhu," kali ini Junjie yang menyahut ucapannya. Setelah hilang keterkejutannya atas ucapan pria tua itu, dia kembali bersikap seperti biasanya. Duduk santai bak pemalas dengan bersedekap tangan."Song Yanzhu? Berarti ibumu adalah Su Ya

    Last Updated : 2024-09-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Membuka Peti Mati Giok Lavender

    Dewa Obat menatap benda yang masih tertutup kain lusuh itu. Sebuah desahan halus keluar dari bibirnya ketika ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan peti yang tampak misterius itu. Dengan perlahan, ia menarik dan membuka kain lusuh yang membungkusnya, memperlihatkan sebuah peti mati yang indah, berkilauan dalam nuansa ungu muda yang memancar lembut dari permukaannya.Ren Hui, yang baru saja selesai dengan pekerjaannya di dapur, ikut mendekat sekilas. Namun, hanya dengan lirikan tak peduli, ia kembali ke kesibukannya, membawa hidangan yang baru dimasaknya ke meja makan yang biasa mereka gunakan. "Guru!" Yue Yingying berseru saat ia memasuki ruangan, diikuti oleh Junjie dan Song Mingyu. Hanya Baihua yang kini berjaga di teras. Rubah putih itu berbaring di lantai teras dengan santai."Eh, Yingying, bantu aku menariknya," ujar Dewa Obat sambil menunjuk peti mati itu. Tanpa ragu, ia meminta bantuan muridnya untuk menggeser benda berat tersebut.Namun,

    Last Updated : 2024-09-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kamar Untuk Ye Hun

    Dewa Obat tertawa terkekeh, suaranya menggema di antara dinding-dinding kayu. Dia menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh arti, berkacak pinggang dengan santai. Pria tua aneh itu sama sekali tidak merasa khawatir dengan kondisi Ye Hun."Ren Hui!" Tiba-tiba dia berseru memanggil pedagang arak itu. Song Mingyu saling berpandangan dengan Junjie, kebingungan. Mereka tidak mengerti maksud Dewa Obat memanggilnya. Hanya Yue Yingying yang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sebagai muridnya, dia memahami karakter sang Guru yang terkadang di luar nalar.Ren Hui tidak menyahut, tetapi turun dari atap rumah beroda. Dia membawa sebuah guci arak berukuran sedang. Dengan langkah tenang tanpa terburu-buru, pria tampan rupawan itu menuruni anak tangga kayu. Setelah meletakkan guci arak yang dibawanya di atas meja, barulah dia mendekati mereka."Ada apa?" tanyanya dengan tenang dan santai, seolah tidak ada sesuatu yang mengusik ketenangannya."Bukankah aku

    Last Updated : 2024-09-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kenangan Dalam Cahaya Lentera

    Malam di kota Chunyu terbalut dalam cahaya lembut dari lentera-lentera yang bergantung sepanjang Jalan Kenangan. Setelah mengantarkan Dewa Obat kembali ke tokonya, Ren Hui dan Song Mingyu melangkah beriringan di jalanan batu yang dipenuhi toko-toko kecil. Jalan ini memang dijuluki Jalan Kenangan, karena setiap sudutnya menyimpan kisah masa lalu—baik yang terlupakan maupun yang abadi dalam ingatan.“Jalan ini selalu indah,” ujar Ren Hui perlahan, tatapannya menyapu deretan toko dan kedai kecil yang dipenuhi suara tawa dan obrolan. Lentera-lentera kecil berpendar di depan setiap toko, memancarkan cahaya hangat yang menghidupkan suasana nostalgia dan romantis.Song Mingyu, yang berjalan di sampingnya, menatap kagum. “Aku tidak pernah membayangkan tempat seindah ini ada di dunia,” katanya dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.Ren Hui tersenyum tipis. "Chunyu punya caranya sendiri untuk membuat orang lupa akan waktu," jawabnya sambil mengagumi keindahan

    Last Updated : 2024-09-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pangeran Terbuang

    Kepulan asap tipis dari cerobong asap rumah beroda milik Ren Hui menjadi pertanda adanya kehidupan di hutan bambu yang sunyi di pinggiran kota Chunyu. Di antara deretan bambu yang menjulang, rumah itu tampak seperti oasis kecil yang terlindungi, menyatu dengan harmoni alam. Di dalamnya, keheningan dipecahkan oleh aroma teh yang mengepul, menciptakan suasana damai yang menyelimuti ruang sempit tersebut.Junjie duduk bersandar dengan malas, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Matanya terpaku pada cangkir teh panas yang baru saja dituangkan oleh Yue Yingying untuknya. Teh angin malam, dikenal karena efek menenangkan yang dimilikinya, terdiri dari campuran daun teh dan bunga malam yang hanya mekar di bawah sinar bulan. Rasa pahitnya, yang samar-samar diselimuti manisnya herbal, seakan menjadi pengantar menuju lelap yang tenang. Namun, hari itu, kehangatan teh tak mampu menembus hampa yang dirasakan Junjie.Di samping teh, semangkuk Laba Congee—bubur beras dengan kaca

    Last Updated : 2024-09-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Surat Dari Wei Jin

    Keesokan paginya, Junjie terbangun dengan tubuh yang masih terasa lesu, seolah-olah seluruh tenaganya telah terhisap habis. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Cahaya matahari musim gugur yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, menghangatkan ruangan dengan sinar keemasan yang menenangkan. Matanya tertuju pada meja kecil di samping tempat tidurnya. Rasa terkejut menyelimuti dirinya saat mendapati berbagai kudapan khas musim gugur tertata rapi di atasnya. Kue bulan dengan isian kacang merah yang manis, buah kesemek segar, dan teh krisan yang wangi menggoda. Semua itu adalah kesukaannya sejak kecil, menghadirkan kembali kenangan yang terasa begitu jauh, namun hangat. Sejenak, hatinya dipenuhi rasa haru. Kenangan itu tidak hanya membawanya kembali ke masa-masa damai, tetapi juga menyentuh bagian terdalam dari hatinya, di mana cinta dan luka tak terpisahkan. Masa lalu yang telah berlalu, pikirnya, meski ji

    Last Updated : 2024-09-23
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rahasia Manor Song

    Junjie duduk di tepi tempat tidurnya, menatap hampa ke luar jendela yang terbuka lebar. Angin lembut meniup dedaunan bambu yang menghijau, sementara beberapa helai yang menguning jatuh perlahan ke tanah.Di tangannya ada sepotong kue bulan berisi kacang merah, dia mengunyahnya perlahan, menikmati kelembutannya yang manis. Sesekali menyesap teh krisannya dengan elegan. Teh itu hangat, dengan aroma bunga yang samar, menghangatkan tenggorokannya, memberikan rasa nyaman yang singkat. Suasana di rumah beroda pagi itu kembali tenang seperti biasanya. Song Mingyu sudah sejak pagi pergi ke kota untuk mengantarkan arak ke beberapa kedai yang telah ditunjukkan Ren Hui padanya semalam. Di lantai atas, Yue Yingying merawat Ye Hun dengan penuh kesabaran. Junjie meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati, suara cangkir yang bersentuhan dengan meja kayu nyaris tak terdengar. Dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, langkahnya terdengar pelan

    Last Updated : 2024-09-23

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Yang Membeku

    Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Menuju Kota Es

    Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tiba Di Kota Embun Beku

    Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status