Hutan bambu emas berbisik, merupakan sebuah wilayah di pinggiran kota Chunyu. Disebut demikian, karena wilayah ini didominasi pepohonan bambu. Hutan ini terkenal dengan batang-batang bambu keemasan saat tertimpa sinar matahari sore. Dan gemerisik dedaunan bambu yang tertiup angin bak bisikan-bisikan lembut para peri.
Ren Hui meminta Song Mingyu untuk berhenti di dekat sungai seperti biasanya. Setelah menambatkan para kuda di batang pohon persik yang tumbuh di tepi sungai, Song Mingyu mengambil air untuk persediaan. Sedangkan Ren Hui seperti biasa, sibuk di dapur, memasak sesuatu untuk makan malam mereka.Junjie ditemani Baihua, merapikan barang-barang yang dibawa Ren Hui dari toko obat. Dia melipat selimut-selimut tebal, mantel, beberapa helai pakaian dan juga sepatu. Semua itu merupakan persiapan untuk musim dingin nanti."Kau simpan saja di lemari sebelah sana!" Ren Hui menunjuk pada lemari obat di ujung selasar. Junjie tidak menjawab dan hanya bekerjaJunjie dan Song Mingyu menatap Ren Hui. Mereka tidak mengerti ucapannya barusan. Rasanya mustahil, Junjie mengalami masalah dengan indra pengecapnya. Meski kondisi tubuhnya memang belum membaik, tetapi rasanya tidak separah itu."Tidak apa, itu hanya sementara saja. Besok Yue Yingying akan mengobatimu lagi sekalian memeriksa dia." Ren Hui menenangkannya seraya melirik peti mati yang mereka simpan di sudut selasar dan ditutupi kain.Junjie dan Song Mingyu serentak mengikuti tatapannya. Beberapa hari ini, mereka belum berani membuka peti mati yang mereka curi dari Biro Kupu-kupu Emas. Menurut Nyonya Gao, kondisi Ye Hun tidak seperti kondisi orang-orang sakit pada umumnya.Dia telah berada di dalam peti mati itu kurang lebih selama dua tahun. Rasanya tidak mungkin tidak terjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Karena itu dia menyarankan mereka untuk menunggu Dewa Obat dan muridnya, Tabib Ilahi Yue Yingying. Mereka berdua pasti lebih paham bagaimana harus menang
Junjie duduk di kursi di luar rumah beroda, berjemur di bawah sinar matahari. Meski di musim gugur, sinar matahari tak sehangat di musim panas, tetapi itu cukup menghangatkan tubuhnya yang semakin sering menggigil kedinginan."Minumlah tehmu!" Ren Hui menuangkan teh krisan yang direbusnya dengan jahe dan sedikit gula merah, agar terasa lebih nikmat. Meski indra pengecap Junjie belum membaik seperti semula."Apa kau baik-baik saja setelah semalam berlatih jurus Pedang Surgawi?" Junjie mengambil cangkir tehnya dan bertanya pada Ren Hui tanpa menatapnya. Dia justru berpura-pura meniup teh panasnya."Selama aku tidak menggunakan tenaga dalam, maka semuanya baik-baik saja," sahut Ren Hui pelan. Dia melirik Song Mingyu yang tengah mengajak Baihua bermain. Mereka berkejaran di sekitar hutan bambu yang sunyi."Apakah tidak ada cara untuk menetralisir racun dalam tubuhmu?" Junjie kembali bertanya. Pria itu menatapnya dengan kekhawatiran tergambar jelas di
Ucapan pria tua itu membuat Ren Hui hampir tersedak tehnya. Begitu pula dengan Junjie yang ternganga dan tidak jadi menyesap tehnya. Dia menoleh dan menatap Song Mingyu lekat-lekat."Aku pernah bertemu dengan Zhu Zijing. Beberapa kali. Terakhir kali sesaat sebelum turnamen di ibukota. Dia sangat mirip denganmu, anak muda," pria itu melanjutkan ucapannya, tidak mempedulikan reaksi Ren Hui dan Junjie."Dia berasal dari Manor Song. Tidak ada hubungannya dengan mendiang ketua sekte Pedang Langit," Ren Hui menyahut setelah menguasai diri, kembali tenang seperti biasanya."Manor Song? Kau putra Song yang mana?" Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan Song Mingyu dan bertanya dengan serius."Dia putra Tuan Song Yanzhu," kali ini Junjie yang menyahut ucapannya. Setelah hilang keterkejutannya atas ucapan pria tua itu, dia kembali bersikap seperti biasanya. Duduk santai bak pemalas dengan bersedekap tangan."Song Yanzhu? Berarti ibumu adalah Su Ya
Dewa Obat menatap benda yang masih tertutup kain lusuh itu. Sebuah desahan halus keluar dari bibirnya ketika ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan peti yang tampak misterius itu. Dengan perlahan, ia menarik dan membuka kain lusuh yang membungkusnya, memperlihatkan sebuah peti mati yang indah, berkilauan dalam nuansa ungu muda yang memancar lembut dari permukaannya.Ren Hui, yang baru saja selesai dengan pekerjaannya di dapur, ikut mendekat sekilas. Namun, hanya dengan lirikan tak peduli, ia kembali ke kesibukannya, membawa hidangan yang baru dimasaknya ke meja makan yang biasa mereka gunakan. "Guru!" Yue Yingying berseru saat ia memasuki ruangan, diikuti oleh Junjie dan Song Mingyu. Hanya Baihua yang kini berjaga di teras. Rubah putih itu berbaring di lantai teras dengan santai."Eh, Yingying, bantu aku menariknya," ujar Dewa Obat sambil menunjuk peti mati itu. Tanpa ragu, ia meminta bantuan muridnya untuk menggeser benda berat tersebut.Namun,
Dewa Obat tertawa terkekeh, suaranya menggema di antara dinding-dinding kayu. Dia menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh arti, berkacak pinggang dengan santai. Pria tua aneh itu sama sekali tidak merasa khawatir dengan kondisi Ye Hun."Ren Hui!" Tiba-tiba dia berseru memanggil pedagang arak itu. Song Mingyu saling berpandangan dengan Junjie, kebingungan. Mereka tidak mengerti maksud Dewa Obat memanggilnya. Hanya Yue Yingying yang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sebagai muridnya, dia memahami karakter sang Guru yang terkadang di luar nalar.Ren Hui tidak menyahut, tetapi turun dari atap rumah beroda. Dia membawa sebuah guci arak berukuran sedang. Dengan langkah tenang tanpa terburu-buru, pria tampan rupawan itu menuruni anak tangga kayu. Setelah meletakkan guci arak yang dibawanya di atas meja, barulah dia mendekati mereka."Ada apa?" tanyanya dengan tenang dan santai, seolah tidak ada sesuatu yang mengusik ketenangannya."Bukankah aku
Malam di kota Chunyu terbalut dalam cahaya lembut dari lentera-lentera yang bergantung sepanjang Jalan Kenangan. Setelah mengantarkan Dewa Obat kembali ke tokonya, Ren Hui dan Song Mingyu melangkah beriringan di jalanan batu yang dipenuhi toko-toko kecil. Jalan ini memang dijuluki Jalan Kenangan, karena setiap sudutnya menyimpan kisah masa lalu—baik yang terlupakan maupun yang abadi dalam ingatan.“Jalan ini selalu indah,” ujar Ren Hui perlahan, tatapannya menyapu deretan toko dan kedai kecil yang dipenuhi suara tawa dan obrolan. Lentera-lentera kecil berpendar di depan setiap toko, memancarkan cahaya hangat yang menghidupkan suasana nostalgia dan romantis.Song Mingyu, yang berjalan di sampingnya, menatap kagum. “Aku tidak pernah membayangkan tempat seindah ini ada di dunia,” katanya dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.Ren Hui tersenyum tipis. "Chunyu punya caranya sendiri untuk membuat orang lupa akan waktu," jawabnya sambil mengagumi keindahan
Kepulan asap tipis dari cerobong asap rumah beroda milik Ren Hui menjadi pertanda adanya kehidupan di hutan bambu yang sunyi di pinggiran kota Chunyu. Di antara deretan bambu yang menjulang, rumah itu tampak seperti oasis kecil yang terlindungi, menyatu dengan harmoni alam. Di dalamnya, keheningan dipecahkan oleh aroma teh yang mengepul, menciptakan suasana damai yang menyelimuti ruang sempit tersebut.Junjie duduk bersandar dengan malas, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Matanya terpaku pada cangkir teh panas yang baru saja dituangkan oleh Yue Yingying untuknya. Teh angin malam, dikenal karena efek menenangkan yang dimilikinya, terdiri dari campuran daun teh dan bunga malam yang hanya mekar di bawah sinar bulan. Rasa pahitnya, yang samar-samar diselimuti manisnya herbal, seakan menjadi pengantar menuju lelap yang tenang. Namun, hari itu, kehangatan teh tak mampu menembus hampa yang dirasakan Junjie.Di samping teh, semangkuk Laba Congee—bubur beras dengan kaca
Keesokan paginya, Junjie terbangun dengan tubuh yang masih terasa lesu, seolah-olah seluruh tenaganya telah terhisap habis. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Cahaya matahari musim gugur yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, menghangatkan ruangan dengan sinar keemasan yang menenangkan. Matanya tertuju pada meja kecil di samping tempat tidurnya. Rasa terkejut menyelimuti dirinya saat mendapati berbagai kudapan khas musim gugur tertata rapi di atasnya. Kue bulan dengan isian kacang merah yang manis, buah kesemek segar, dan teh krisan yang wangi menggoda. Semua itu adalah kesukaannya sejak kecil, menghadirkan kembali kenangan yang terasa begitu jauh, namun hangat. Sejenak, hatinya dipenuhi rasa haru. Kenangan itu tidak hanya membawanya kembali ke masa-masa damai, tetapi juga menyentuh bagian terdalam dari hatinya, di mana cinta dan luka tak terpisahkan. Masa lalu yang telah berlalu, pikirnya, meski ji