Ucapan pria tua itu membuat Ren Hui hampir tersedak tehnya. Begitu pula dengan Junjie yang ternganga dan tidak jadi menyesap tehnya. Dia menoleh dan menatap Song Mingyu lekat-lekat.
"Aku pernah bertemu dengan Zhu Zijing. Beberapa kali. Terakhir kali sesaat sebelum turnamen di ibukota. Dia sangat mirip denganmu, anak muda," pria itu melanjutkan ucapannya, tidak mempedulikan reaksi Ren Hui dan Junjie."Dia berasal dari Manor Song. Tidak ada hubungannya dengan mendiang ketua sekte Pedang Langit," Ren Hui menyahut setelah menguasai diri, kembali tenang seperti biasanya."Manor Song? Kau putra Song yang mana?" Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan Song Mingyu dan bertanya dengan serius."Dia putra Tuan Song Yanzhu," kali ini Junjie yang menyahut ucapannya. Setelah hilang keterkejutannya atas ucapan pria tua itu, dia kembali bersikap seperti biasanya. Duduk santai bak pemalas dengan bersedekap tangan."Song Yanzhu? Berarti ibumu adalah Su YaDewa Obat menatap benda yang masih tertutup kain lusuh itu. Sebuah desahan halus keluar dari bibirnya ketika ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan peti yang tampak misterius itu. Dengan perlahan, ia menarik dan membuka kain lusuh yang membungkusnya, memperlihatkan sebuah peti mati yang indah, berkilauan dalam nuansa ungu muda yang memancar lembut dari permukaannya.Ren Hui, yang baru saja selesai dengan pekerjaannya di dapur, ikut mendekat sekilas. Namun, hanya dengan lirikan tak peduli, ia kembali ke kesibukannya, membawa hidangan yang baru dimasaknya ke meja makan yang biasa mereka gunakan. "Guru!" Yue Yingying berseru saat ia memasuki ruangan, diikuti oleh Junjie dan Song Mingyu. Hanya Baihua yang kini berjaga di teras. Rubah putih itu berbaring di lantai teras dengan santai."Eh, Yingying, bantu aku menariknya," ujar Dewa Obat sambil menunjuk peti mati itu. Tanpa ragu, ia meminta bantuan muridnya untuk menggeser benda berat tersebut.Namun,
Dewa Obat tertawa terkekeh, suaranya menggema di antara dinding-dinding kayu. Dia menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh arti, berkacak pinggang dengan santai. Pria tua aneh itu sama sekali tidak merasa khawatir dengan kondisi Ye Hun."Ren Hui!" Tiba-tiba dia berseru memanggil pedagang arak itu. Song Mingyu saling berpandangan dengan Junjie, kebingungan. Mereka tidak mengerti maksud Dewa Obat memanggilnya. Hanya Yue Yingying yang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sebagai muridnya, dia memahami karakter sang Guru yang terkadang di luar nalar.Ren Hui tidak menyahut, tetapi turun dari atap rumah beroda. Dia membawa sebuah guci arak berukuran sedang. Dengan langkah tenang tanpa terburu-buru, pria tampan rupawan itu menuruni anak tangga kayu. Setelah meletakkan guci arak yang dibawanya di atas meja, barulah dia mendekati mereka."Ada apa?" tanyanya dengan tenang dan santai, seolah tidak ada sesuatu yang mengusik ketenangannya."Bukankah aku
Malam di kota Chunyu terbalut dalam cahaya lembut dari lentera-lentera yang bergantung sepanjang Jalan Kenangan. Setelah mengantarkan Dewa Obat kembali ke tokonya, Ren Hui dan Song Mingyu melangkah beriringan di jalanan batu yang dipenuhi toko-toko kecil. Jalan ini memang dijuluki Jalan Kenangan, karena setiap sudutnya menyimpan kisah masa lalu—baik yang terlupakan maupun yang abadi dalam ingatan.“Jalan ini selalu indah,” ujar Ren Hui perlahan, tatapannya menyapu deretan toko dan kedai kecil yang dipenuhi suara tawa dan obrolan. Lentera-lentera kecil berpendar di depan setiap toko, memancarkan cahaya hangat yang menghidupkan suasana nostalgia dan romantis.Song Mingyu, yang berjalan di sampingnya, menatap kagum. “Aku tidak pernah membayangkan tempat seindah ini ada di dunia,” katanya dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.Ren Hui tersenyum tipis. "Chunyu punya caranya sendiri untuk membuat orang lupa akan waktu," jawabnya sambil mengagumi keindahan
Kepulan asap tipis dari cerobong asap rumah beroda milik Ren Hui menjadi pertanda adanya kehidupan di hutan bambu yang sunyi di pinggiran kota Chunyu. Di antara deretan bambu yang menjulang, rumah itu tampak seperti oasis kecil yang terlindungi, menyatu dengan harmoni alam. Di dalamnya, keheningan dipecahkan oleh aroma teh yang mengepul, menciptakan suasana damai yang menyelimuti ruang sempit tersebut.Junjie duduk bersandar dengan malas, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Matanya terpaku pada cangkir teh panas yang baru saja dituangkan oleh Yue Yingying untuknya. Teh angin malam, dikenal karena efek menenangkan yang dimilikinya, terdiri dari campuran daun teh dan bunga malam yang hanya mekar di bawah sinar bulan. Rasa pahitnya, yang samar-samar diselimuti manisnya herbal, seakan menjadi pengantar menuju lelap yang tenang. Namun, hari itu, kehangatan teh tak mampu menembus hampa yang dirasakan Junjie.Di samping teh, semangkuk Laba Congee—bubur beras dengan kaca
Keesokan paginya, Junjie terbangun dengan tubuh yang masih terasa lesu, seolah-olah seluruh tenaganya telah terhisap habis. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Cahaya matahari musim gugur yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, menghangatkan ruangan dengan sinar keemasan yang menenangkan. Matanya tertuju pada meja kecil di samping tempat tidurnya. Rasa terkejut menyelimuti dirinya saat mendapati berbagai kudapan khas musim gugur tertata rapi di atasnya. Kue bulan dengan isian kacang merah yang manis, buah kesemek segar, dan teh krisan yang wangi menggoda. Semua itu adalah kesukaannya sejak kecil, menghadirkan kembali kenangan yang terasa begitu jauh, namun hangat. Sejenak, hatinya dipenuhi rasa haru. Kenangan itu tidak hanya membawanya kembali ke masa-masa damai, tetapi juga menyentuh bagian terdalam dari hatinya, di mana cinta dan luka tak terpisahkan. Masa lalu yang telah berlalu, pikirnya, meski ji
Junjie duduk di tepi tempat tidurnya, menatap hampa ke luar jendela yang terbuka lebar. Angin lembut meniup dedaunan bambu yang menghijau, sementara beberapa helai yang menguning jatuh perlahan ke tanah.Di tangannya ada sepotong kue bulan berisi kacang merah, dia mengunyahnya perlahan, menikmati kelembutannya yang manis. Sesekali menyesap teh krisannya dengan elegan. Teh itu hangat, dengan aroma bunga yang samar, menghangatkan tenggorokannya, memberikan rasa nyaman yang singkat. Suasana di rumah beroda pagi itu kembali tenang seperti biasanya. Song Mingyu sudah sejak pagi pergi ke kota untuk mengantarkan arak ke beberapa kedai yang telah ditunjukkan Ren Hui padanya semalam. Di lantai atas, Yue Yingying merawat Ye Hun dengan penuh kesabaran. Junjie meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati, suara cangkir yang bersentuhan dengan meja kayu nyaris tak terdengar. Dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, langkahnya terdengar pelan
Langit mulai merona jingga ketika Song Mingyu selesai mengantarkan arak ke beberapa toko di pusat kota. Ia melangkah perlahan di atas jalanan berbatu yang padat, ditemani aroma manis arak yang masih menempel di pakaiannya, menyatu dengan udara sore yang sejuk. Di Jalan Kenangan, pemilik toko-toko menyapanya dengan ramah. Beberapa di antara mereka bahkan menepuk punggungnya dengan akrab, seolah ia bagian dari keseharian mereka."Bagaimana kabar Ren Hui? Apakah dia akan datang ke Festival Musim Gugur tahun ini?" tanya seorang pemilik toko kain dengan senyum lebar. Pria tua itu memandangnya dengan penasaran, tampak heran melihat seorang pelayan di samping pedagang arak yang terkenal pelit.Song Mingyu membalas dengan senyum kecil, merasa hangat oleh perhatian yang diberikan padanya. "Aku tidak tahu, Paman. Dia belum mengatakannya padaku."Pemilik toko kain menghela napas panjang, ekspresinya berubah sedikit sendu. "Dia selalu seperti itu, ya. Datang dan pergi
Saat Song Mingyu hendak keluar dari kerumunan yang padat, sebuah sentuhan ringan terasa di bahunya. Dengan cepat ia menoleh, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Ren Hui dan Junjie berdiri tidak jauh darinya.Ren Hui, seperti biasanya, tampil santai, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sedangkan Junjie, dengan doupeng yang menutupi wajahnya, berdiri dengan tenang, seolah tak ingin menarik perhatian. Pria itu selalu mengatakan tidak ingin wajah tampannya menjadi pusat perhatian, sebuah alasan yang dianggap konyol oleh Song Mingyu.Ren Hui menatap Song Mingyu dengan tatapan serius, sesuatu yang jarang terlihat darinya. “Mingyu, kau mendaftar untuk ikut turnamen?” tanyanya sambil melirik kerumunan di depan mereka.Song Mingyu menggaruk kepalanya, mengangguk pelan, lalu mendekati kedua pria itu. Dengan suara pelan, ia berbisik, “Hadiahnya selain uang adalah Pedang Surgawi dan Peti Mati Giok Lavender.”Mata Ren Hui membelalak sesaat
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"