Samy pulang, pelayan menyambutnya di depan pintu."Dimana Moza?" tanyanya tak melihat wanita itu yang biasanya senang menyambutnya."Nona menunggu di kamarnya, Tuan," jawab sang pelayan.Samy segera beranjak menuju kamar Moza dengan menggunakan lift, Samy mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban dan Samy mencoba memutar handlenya ternyata tidak dikunci.Samy sedikit terkejut saat pintu kamar terbuka dan Moza langsung berhambur memeluknya dengan erat. "Surprise!" serunya penuh kegembiraan. Samy, yang awalnya bingung, mulai melepaskan pelukan Moza dengan perlahan."Moza? Apa yang terjadi?" tanyanya, matanya menatap Moza dengan sedikit kecurigaan. Dia tidak menyangka akan disambut dengan seperti ini.Moza tersenyum lebar, penuh semangat. "Aku ingin memberimu kejutan, Samy. Lihat!" Ia mengambil beberapa langkah ke belakang dan menunjukkan bahwa kakinya kini bisa bergerak bebas. "Aku sudah sembuh! Aku bisa berjalan lagi!"Samy tertegun melihat Moza yang berdiri tegak di depannya, berjalan deng
Diandra mengambil langkah cepat, mengabaikan tatapan was-was pelayan yang terus berusaha menghalanginya. "Aku hanya ingin mengambil dompetku yang ketinggalan waktu itu," ucapnya, mencoba memberi alasan. Namun, sang pelayan tetap berdiri kokoh di pintu, tidak memberikan celah sedikit pun."Aku mohon, aku benar-benar butuh itu," desak Diandra, tetapi ketika sang pelayan tetap tidak bergeming, Diandra kehilangan kesabarannya. Tanpa berpikir panjang, dia mendorong tubuh pelayan tersebut dan berlari ke dalam rumah.Tiba-tiba Samy muncul dari arah dapur, wajahnya tampak bingung melihat Diandra yang terlihat tergesa-gesa. "Diandra, apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, tetapi juga sedikit waspada mengingat Moza masih ada di rumah.Diandra tidak menjawab dengan kata-kata. Tanpa peringatan, ia langsung memeluk Samy erat-erat, seolah mencari perlindungan dan rasa aman. Samy terkejut, tetapi merasakan kegelisahan dari tubuh Diandra. "Samy, aku sedih memikirkan Nick, dan ak
Diandra terbangun dari tidurnya dengan rasa kantuk yang masih menggelayut. Matanya perlahan terbuka, dan ia merasa tubuhnya meregang secara refleks. Namun, saat tangannya menyentuh sesuatu ia tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat menoleh ke samping dan melihat Samy tertidur di sebelahnya, tanpa mengenakan baju. Seketika ingatan tentang apa yang terjadi malam tadi mengalir deras di benaknya momen saat ia datang ingin mengacaukan Moza dan berakhir meminum anggur di meja. Pikiran Diandra kacau. Tubuhnya terasa berat dengan perasaan bersalah dan kebingungan. Ia menatap Samy yang masih terlelap, tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Hati kecilnya berteriak, namun ia tak bisa menyembunyikan perasaan yang begitu campur aduk. Apa yang telah dia lakukan? Dan lebih penting lagi, apa yang akan terjadi selanjutnya antara dia dan Samy?Diandra tidak membangunkan Samy, dengan gerakan pelan ia melangkah turun dari atas ranjang, Diandra mengenakan seluruh pakaiannya, tanpa merapik
Diandra duduk di dalam mobil, memandangi jalanan yang berlalu-lalang. Pikirannya melayang kembali pada kejadian malam tadi. Ia tidak menyangka bahwa rencananya untuk memprovokasi Moza akan berakhir begitu kacau. Niatnya hanya untuk membuat Moza marah, namun justru ia yang terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan. Minuman yang ia pikir hanyalah anggur biasa ternyata membawanya pada kejadian yang sulit dijelaskan.Malam itu, ia berakhir di tempat tidur bersama Samy. Diandra menghela napas dalam-dalam, merasa bingung dengan perasaannya. Ia tahu itu semua bukan bagian dari rencana, namun tetap saja, ia merasa bersalah dan sedikit tercengang dengan apa yang telah terjadi."Semuanya hanya kecelakaan," bisiknya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan hati. "Tidak disengaja."Dengan satu gerakan, Diandra merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia mencoba menenangkan pikirannya dan meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang perlu dipikirkan lebih jauh. Namun, rasa tidak nyaman masih teru
Bel apartemen Diandra berbunyi, Tania yang sendirian di rumah segera membukanya, ia tak mengenal siapa yang datang."Halo, perkenalkan aku Moza," ucap Moza seraya tersenyum.Tania menatap Moza dengan curiga, tangan dilipat di dada. "Mau apa Anda datang ke sini?" tanyanya dengan nada tegas.Moza tersenyum, berpura-pura bingung. "Aku? Tentu saja untuk bertemu Dokter Diandra. Apakah dia di rumah?"Tania mengerutkan alis, masih berdiri di ambang pintu. "Dokter Diandra sedang tidak ada di rumah, dan Anda siapa?""Oh, maafkan aku," jawab Moza dengan senyum yang tidak hilang dari wajahnya. "Kami punya urusan yang harus diselesaikan."Tania mempersempit matanya. "Aku tidak tahu urusan apa yang kau maksud, tapi lebih baik kau pergi sekarang. Kalau ada yang penting, kau bisa menyampaikan pesan."Moza tersenyum tipis, seolah menilai Tania. "Tak perlu, aku bisa menunggu. Urusanku dengan Diandra cukup mendesak."Tania tidak bergeming, sikapnya semakin waspada. "Tidak ada yang mendesak di sini, sel
Dua hari berlalu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir bagi Diandra. Pencarian yang dilakukan oleh tim Felix dan orang-orang suruhan Samy terus berjalan tanpa henti, namun hasilnya masih nihil. Setiap jam yang berlalu membuat kecemasan Diandra semakin bertambah, bayangan Nick yang hilang tanpa jejak menghantui pikirannya siang dan malam.Diandra duduk di tepi jendela apartemennya, menatap kosong ke luar, berharap ada kabar baik yang akan datang. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, di mana putranya berada dan bagaimana keadaannya. Yang ia inginkan hanyalah memastikan bahwa Nick baik-baik saja, di mana pun anak itu sekarang."Dia pasti dalam keadaan sehat," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang gundah. "Dia pasti kuat, seperti aku."Moza bertemu Daston disebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk, lelaki itu mengabarinya bahwa ada informasi penting dan ini lebih dari sekedar yang di inginkan oleh Moza."Kau harus membayar ku lebih," kata Daston m
"Daston!" Pria bernama Daston itu terkejut saat seseorang duduk di hadapannya. Dialah Felix yang mendapat laporan jika Moza menemui Daston, namun ia tidak bisa menguping pembicaraan mereka, dengan cepat Felix mencari pria itu."Maaf! Apa kita saling kenal sebelumnya?"tanya Daston seolah tak mengetahui siapa Felix."Sepertinya tidak, baiklah bagaimana jika kita berkenalan?" ajak Felix."Daston!""Felix!""Aku dengar kau seorang ahli it dan hacker handal di kota ini." Felix langsung ke intinya."Aku tidak menyangkalnya," kata Daston."Aku butuh informasi tentang seseorang, mungkin kau bisa membantuku.""Tentu, itu adalah pekerjaanku dan bayaranku sangat tinggi." Daston terlalu terbuka.Felix menatap Daston dengan tajam, memperhitungkan setiap kata yang akan dia ucapkan. Di balik sikap santai Daston, Felix tahu pria ini adalah orang yang berbahaya dan licik, tapi dia juga tahu bahwa informasi yang Daston miliki bisa sangat penting.“Aku tidak masalah dengan harga, asal informasi yang kau
"Tuan Samy, ada informasi penting terkait pengiriman barang ke Jepang," lapor Brett dengan nada serius, saat ia tiba di kantor perusahaan Brown. "Namun, ada yang janggal. Sepertinya isi peti itu bukan barang biasa... tapi manusia yang sengaja dibius."Samy menghentikan aktivitasnya, matanya menatap tajam ke arah Brett. "Sindikat perdagangan manusia?" tanyanya dengan nada dingin, rahangnya mengatup.Brett mengangguk pelan, wajahnya tegang. "Kemungkinan besar. Ini bukan pengiriman pertama, tapi kali ini lebih jelas dan terorganisir."Samy terdiam sejenak, pikirannya berputar cepat. "Siapa yang mengurus ini?" tanyanya akhirnya, suaranya penuh perhitungan."Mafia dari Honduras," kata Brett sambil menatap Samy dengan serius. "Aku sarankan kita memeriksanya."Samy mengangguk pelan, tetapi matanya masih penuh dengan keraguan. "Resikonya pasti besar. Mereka bukan kelompok kecil, ini Mafia besar. Mungkin sulit bagi kita untuk masuk tanpa ketahuan," katanya, suaranya penuh kehati-hatian.Brett