Diandra duduk di dalam mobil, memandangi jalanan yang berlalu-lalang. Pikirannya melayang kembali pada kejadian malam tadi. Ia tidak menyangka bahwa rencananya untuk memprovokasi Moza akan berakhir begitu kacau. Niatnya hanya untuk membuat Moza marah, namun justru ia yang terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan. Minuman yang ia pikir hanyalah anggur biasa ternyata membawanya pada kejadian yang sulit dijelaskan.Malam itu, ia berakhir di tempat tidur bersama Samy. Diandra menghela napas dalam-dalam, merasa bingung dengan perasaannya. Ia tahu itu semua bukan bagian dari rencana, namun tetap saja, ia merasa bersalah dan sedikit tercengang dengan apa yang telah terjadi."Semuanya hanya kecelakaan," bisiknya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan hati. "Tidak disengaja."Dengan satu gerakan, Diandra merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia mencoba menenangkan pikirannya dan meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang perlu dipikirkan lebih jauh. Namun, rasa tidak nyaman masih teru
Bel apartemen Diandra berbunyi, Tania yang sendirian di rumah segera membukanya, ia tak mengenal siapa yang datang."Halo, perkenalkan aku Moza," ucap Moza seraya tersenyum.Tania menatap Moza dengan curiga, tangan dilipat di dada. "Mau apa Anda datang ke sini?" tanyanya dengan nada tegas.Moza tersenyum, berpura-pura bingung. "Aku? Tentu saja untuk bertemu Dokter Diandra. Apakah dia di rumah?"Tania mengerutkan alis, masih berdiri di ambang pintu. "Dokter Diandra sedang tidak ada di rumah, dan Anda siapa?""Oh, maafkan aku," jawab Moza dengan senyum yang tidak hilang dari wajahnya. "Kami punya urusan yang harus diselesaikan."Tania mempersempit matanya. "Aku tidak tahu urusan apa yang kau maksud, tapi lebih baik kau pergi sekarang. Kalau ada yang penting, kau bisa menyampaikan pesan."Moza tersenyum tipis, seolah menilai Tania. "Tak perlu, aku bisa menunggu. Urusanku dengan Diandra cukup mendesak."Tania tidak bergeming, sikapnya semakin waspada. "Tidak ada yang mendesak di sini, sel
Dua hari berlalu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir bagi Diandra. Pencarian yang dilakukan oleh tim Felix dan orang-orang suruhan Samy terus berjalan tanpa henti, namun hasilnya masih nihil. Setiap jam yang berlalu membuat kecemasan Diandra semakin bertambah, bayangan Nick yang hilang tanpa jejak menghantui pikirannya siang dan malam.Diandra duduk di tepi jendela apartemennya, menatap kosong ke luar, berharap ada kabar baik yang akan datang. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, di mana putranya berada dan bagaimana keadaannya. Yang ia inginkan hanyalah memastikan bahwa Nick baik-baik saja, di mana pun anak itu sekarang."Dia pasti dalam keadaan sehat," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang gundah. "Dia pasti kuat, seperti aku."Moza bertemu Daston disebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk, lelaki itu mengabarinya bahwa ada informasi penting dan ini lebih dari sekedar yang di inginkan oleh Moza."Kau harus membayar ku lebih," kata Daston m
"Daston!" Pria bernama Daston itu terkejut saat seseorang duduk di hadapannya. Dialah Felix yang mendapat laporan jika Moza menemui Daston, namun ia tidak bisa menguping pembicaraan mereka, dengan cepat Felix mencari pria itu."Maaf! Apa kita saling kenal sebelumnya?"tanya Daston seolah tak mengetahui siapa Felix."Sepertinya tidak, baiklah bagaimana jika kita berkenalan?" ajak Felix."Daston!""Felix!""Aku dengar kau seorang ahli it dan hacker handal di kota ini." Felix langsung ke intinya."Aku tidak menyangkalnya," kata Daston."Aku butuh informasi tentang seseorang, mungkin kau bisa membantuku.""Tentu, itu adalah pekerjaanku dan bayaranku sangat tinggi." Daston terlalu terbuka.Felix menatap Daston dengan tajam, memperhitungkan setiap kata yang akan dia ucapkan. Di balik sikap santai Daston, Felix tahu pria ini adalah orang yang berbahaya dan licik, tapi dia juga tahu bahwa informasi yang Daston miliki bisa sangat penting.“Aku tidak masalah dengan harga, asal informasi yang kau
"Tuan Samy, ada informasi penting terkait pengiriman barang ke Jepang," lapor Brett dengan nada serius, saat ia tiba di kantor perusahaan Brown. "Namun, ada yang janggal. Sepertinya isi peti itu bukan barang biasa... tapi manusia yang sengaja dibius."Samy menghentikan aktivitasnya, matanya menatap tajam ke arah Brett. "Sindikat perdagangan manusia?" tanyanya dengan nada dingin, rahangnya mengatup.Brett mengangguk pelan, wajahnya tegang. "Kemungkinan besar. Ini bukan pengiriman pertama, tapi kali ini lebih jelas dan terorganisir."Samy terdiam sejenak, pikirannya berputar cepat. "Siapa yang mengurus ini?" tanyanya akhirnya, suaranya penuh perhitungan."Mafia dari Honduras," kata Brett sambil menatap Samy dengan serius. "Aku sarankan kita memeriksanya."Samy mengangguk pelan, tetapi matanya masih penuh dengan keraguan. "Resikonya pasti besar. Mereka bukan kelompok kecil, ini Mafia besar. Mungkin sulit bagi kita untuk masuk tanpa ketahuan," katanya, suaranya penuh kehati-hatian.Brett
Tentu! Anda bisa menyalin dan menempel adegan yang saya buat tadi sesuai dengan kebutuhan Anda. Berikut adalah teks adegan yang sudah saya buat sebelumnya:---Begitu Samy dan Brett melangkah masuk ke dalam bangunan, suasana hening yang mencekam menyelimuti mereka. Anak buah Brett berjaga di luar, memastikan keamanan di sekitar, sementara salah satu pria Brett memimpin jalan di depan, bergerak hati-hati di antara deretan peti yang terkunci. Samy mendekati salah satu peti besar, mengamati kunci besi yang kokoh."Semua terkunci," katanya pelan kepada Brett, sambil matanya menyisir sekeliling ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantu mereka membuka peti-peti itu.Namun, tak butuh waktu lama sebelum keheningan itu terpecah. Tiba-tiba, suara langkah kaki cepat mendekat dari arah samping. Sebelum Samy atau Brett sempat bereaksi, dua pria bersenjata muncul dari balik tumpukan peti dan menyerang dengan kecepatan luar biasa. Salah satu pria melompat, mengayunkan tongkat besi langs
Diandra menelusuri wajah anak-anak yang terbaring tak berdaya satu per satu. Rasa takut dan harapannya beradu setiap kali ia memeriksa, namun wajah yang ia cari Nick, putranya tak kunjung terlihat. Ketegangan menggantung di udara, begitu berat hingga napasnya terasa sesak. Pikirannya mulai membayangkan kemungkinan terburuk, membuat langkahnya semakin goyah.Ashley yang memantau dari dekat akhirnya bertanya, "Bagaimana?" Suaranya lirih, seolah sudah tahu jawabannya, namun tetap mengharapkan keajaiban.Semua mata tertuju pada Diandra. Wajah-wajah penuh simpati dan kecemasan menanti jawabannya. Diandra menggeleng pelan, wajahnya pucat. "Aku tidak menemukannya..." katanya terputus-putus. "Tapi jika Nick diperlakukan seperti ini... kalau itu terjadi, rasanya lebih baik aku mati." Suaranya pecah saat mengucapkan kalimat itu, dadanya bergemuruh oleh kepedihan yang tak tertahankan.Pikirannya yang penuh kecemasan membuat tubuhnya limbung. Pandangannya kabur dan lemasnya semakin terasa hingga
Anak buah Moza terlihat kesal karena kehilangan Nick dan Isla. Salah satu dari mereka segera menghubungi Moza. Di tempat persembunyiannya Isla keluar mengendap-endap agar bisa jauh dari mereka. Sesekali ia menatap ke belakang hingga menabrak seseorang."Apa kau tidak punya mata?" kata lelaki yang ia tabrak.Isla menatapnya sambil mengatupkan tangan, "maaf-maaf, aku tidak sengaja."Isla berlalu meninggalkan pria itu sampai ia jauh dari dermaga, Isla berhenti karena perutnya terasa melilit. Dia lapar, namun tidak punya uang untuk membeli makanan. Isla berjalan di antara keramaian tempat orang menjual makanan. Sesekali ia menelan ludahnya kala mencium aroma masakan dari kedai yang ia lewati. Lelah, takut dan lapar bercampur jadi satu membuat wanita itu mencoba bertahan sekuat mungkin, namun yang namanya nasib siapa yang tau. Isla merasa pusing dan pingsan di depan kedai.Isla tergeletak di tanah, napasnya tersengal, dan dunia di sekitarnya terasa semakin jauh. Orang-orang yang lewat mula