Diandra menelusuri wajah anak-anak yang terbaring tak berdaya satu per satu. Rasa takut dan harapannya beradu setiap kali ia memeriksa, namun wajah yang ia cari Nick, putranya tak kunjung terlihat. Ketegangan menggantung di udara, begitu berat hingga napasnya terasa sesak. Pikirannya mulai membayangkan kemungkinan terburuk, membuat langkahnya semakin goyah.Ashley yang memantau dari dekat akhirnya bertanya, "Bagaimana?" Suaranya lirih, seolah sudah tahu jawabannya, namun tetap mengharapkan keajaiban.Semua mata tertuju pada Diandra. Wajah-wajah penuh simpati dan kecemasan menanti jawabannya. Diandra menggeleng pelan, wajahnya pucat. "Aku tidak menemukannya..." katanya terputus-putus. "Tapi jika Nick diperlakukan seperti ini... kalau itu terjadi, rasanya lebih baik aku mati." Suaranya pecah saat mengucapkan kalimat itu, dadanya bergemuruh oleh kepedihan yang tak tertahankan.Pikirannya yang penuh kecemasan membuat tubuhnya limbung. Pandangannya kabur dan lemasnya semakin terasa hingga
Anak buah Moza terlihat kesal karena kehilangan Nick dan Isla. Salah satu dari mereka segera menghubungi Moza. Di tempat persembunyiannya Isla keluar mengendap-endap agar bisa jauh dari mereka. Sesekali ia menatap ke belakang hingga menabrak seseorang."Apa kau tidak punya mata?" kata lelaki yang ia tabrak.Isla menatapnya sambil mengatupkan tangan, "maaf-maaf, aku tidak sengaja."Isla berlalu meninggalkan pria itu sampai ia jauh dari dermaga, Isla berhenti karena perutnya terasa melilit. Dia lapar, namun tidak punya uang untuk membeli makanan. Isla berjalan di antara keramaian tempat orang menjual makanan. Sesekali ia menelan ludahnya kala mencium aroma masakan dari kedai yang ia lewati. Lelah, takut dan lapar bercampur jadi satu membuat wanita itu mencoba bertahan sekuat mungkin, namun yang namanya nasib siapa yang tau. Isla merasa pusing dan pingsan di depan kedai.Isla tergeletak di tanah, napasnya tersengal, dan dunia di sekitarnya terasa semakin jauh. Orang-orang yang lewat mula
Diandra menyusul dengan mobilnya menuju dermaga yang dikatakan oleh Samy. Mereka bertemu di sana."Samy, apa sudah ditemukan?" Diandra terdengar tidak sabaran. Saat itulah mobil yang membawa Isla lewat, ia melihat Diandra di sana."Hentikan mobilnya!" Pintanya pada lelaki yang mengantarnya."Kau mau turun disini?""Ya, aku menemukan orang yang kucari," kata Isla.Lelaki itu segera membuka kunci dan Isla segera turun dan berlari ke arah Diandra."Dokter."Diandra berlari menghampiri Isla dengan wajah penuh harap dan cemas. "Isla, dimana Nick?" tanyanya dengan suara yang bergetar.Isla yang terlihat lelah dan ketakutan, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Nick... dia berhasil melarikan diri dari mereka, tapi kami terpisah di dermaga. Dia lari ke arah kapal besar, mungkin sebuah yacht."Diandra merasa jantungnya berdegup kencang. "Kau yakin dia sempat masuk ke dalam yacht?"Isla mengangguk. "Ya, aku melihatnya berlari ke sana sebelum aku tertangkap. Mereka masih mencarinya."Sam
Cuaca semakin memburuk, angin laut bertiup kencang, dan hujan mulai turun perlahan, membuat suhu udara semakin dingin. Diandra menggigil, merapatkan jaket tipis yang dikenakannya, namun tetap tak mampu mengusir dingin yang menusuk."Kenapa Brett belum juga tiba?" gumam Isla dengan cemas, sambil mengusap lengannya yang kaku kedinginan.Samy berdiri tak jauh dari mereka, matanya terus memandang lautan yang semakin gelap dan bergelombang. Wajahnya tegang, jelas bahwa situasi ini semakin membuatnya gelisah. "Cuaca ini bisa memperlambat mereka," katanya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.Leonard, yang sejak tadi duduk diam, ikut merasa tak nyaman. "Perahu kecil seperti ini tidak akan mampu bertahan di tengah badai," katanya, memandang ke arah perahu yang masih terombang-ambing di dermaga.Diandra menatap Samy, rasa putus asa mulai merayap di hatinya. "Samy, apa yang harus kita lakukan kalau Brett tidak datang?" tanyanya lirih.Samy menatapnya sejenak
"Boleh aku tau nama belakangmu?" tanya Tuan Timothy. Mereka sudah turun dari yacht dan kini sedang berjalan menuju rumah kecil miliknya. Lelaki tua itu memang senang mengembara di tempat yang sunyi. "Namaku Nick Evans," jawab Nick sesuai marga ibunya Diandra Evans. "Ayahmu berasal dari Inggris?" Evans salah satu marga dari negara kincir angin. "Nick tidak punya ayah." Nick menunduk saat mengatakannya. Tuan Timothy tersentuh, ia mengusap rambut anak berusia enam tahun itu dengan lembut. "Kalau saja Nick punya ayah, mungkin saja Nick tidak akan diculik. Mom bekerja dan tidak bisa menjaga Nick dengan baik." Nick seperti curhat pada Tuan Timothy. "Memangnya kemana ayahmu, Nick?" Nick menatap wajah Tuan Timothy, "Nick tidak pernah bertemu ayah." Malam sudah terlalu larut, Tuan Timothy memutuskan untuk tidur, ia mengajak Nick berbaring. Saat hampir dini hari yacht yang dinaiki oleh Samy sudah mendekat di pulau tempat Tuan Timothy. "Itu yacht Tuan Timothy, kita ke sana," ucap Leon
Nyatanya pagi tak mampu membangunkan setiap manusia yang ada di pulau kecuali mata kecil Nick yang berwarna hitam itu mulai mengerjap.Ia merasa jika tubuhnya tertindih sesuatu yang sedikit berat namun hangat. Nick mencoba memiringkan wajahnya untuk melihat siapa di sampingnya, seketika ia terkejut, namun tak bersuara. Sebaliknya Nick menggeser tangan mommynya, ia lalu memandangi wajah itu dengan lelehan air mata.Rupanya isakannya terdengar oleh di empunya tubuh. Diandra mengerjap perlahan lalu manik ambernya bertemu dengan manik Nick. Ia tersenyum penuh kehangatan."Mom, apa ini mimpi?" Nick bertanya seolah tak percaya.Diandra memindahkan tangannya ke atas tepat di pipi Nick yang tampak tirus. Tubuhnya kurus dan Diandra sempat khawatir.Air mata Diandra menetes seiring dengan jawaban yang mengatakan bahwa ini nyata.Diandra menatap Nick dalam-dalam, merasakan kehangatan dan cinta yang begitu mendalam. Ia mengusap pipi Nick lembut, berusaha meyakinkan anaknya. "Ini bukan mimpi, saya
"Samy, ibu tidak peduli dari mana dia tau, yang harus kau lakukan adalah meluangkan waktu untuk Moza dan mengurus pernikahan kalian. Moza bilang kau tidak pernah punya waktu untuk membahasnya."Samy terdiam sesaat mendengar perkataan ibunya."Moza sudah sembuh jadi sebaiknya kalian segeralah menikah," tambah Molly.Samy terdiam, tatapan matanya tampak kosong sejenak. Pernikahan dengan Moza seharusnya sudah menjadi keputusan yang final, namun, entah kenapa hatinya terasa ragu. Bayangan Diandra dan Nick masih terngiang-ngiang di pikirannya, terutama saat melihat Nick yang begitu mirip dengannya.“Ibu,” ucap Samy pelan, mencoba memilih kata-kata. “Aku hanya butuh waktu untuk memastikan ini memang yang terbaik.”Molly menatapnya dengan tegas. "Samy, Moza sudah menunggumu bertahun-tahun. Dia sudah melalui banyak hal. Ibu ingin kau melakukan ini untuk keluarga, demi Moza."Samy menghela napas, tersenyum tipis untuk menenangkan hati ibunya. "Baiklah, Bu. Aku akan membicarakannya dengan Moza
"Belum aku izinkan kau pergi," ucap Molly seraya berdiri dengan suara tegas.Diandra berbalik menatap wanita yang dulu pernah menjadi mertuanya. Dulu mereka jarang bertemu karena Molly tinggal di kota berbeda dengan Samy."Maaf, Bi, aku tidak punya urusan dengan Anda," jawab Diandra, tak ingin berlama-lama di sana."Kalau menyangkut anakku, itu urusanku juga," balas Molly dengan nada meninggi. "Samy punya tunangan. Kau seorang ibu dan dokter, seharusnya tahu diri. Jauhi anakku mulai sekarang!""Anda salah paham, tidak ada hubungan spesial antara aku dan Samy. Kami hanya kenal, dan dia baik padaku," jawab Diandra dengan tenang meskipun tak sepenuhnya benar.Molly mendengus, sinis. "Kau kira aku tak tahu kau pernah masuk ke kamar anakku?"Diandra melirik Moza yang tersenyum penuh kemenangan."Soal itu, kenapa tidak tanyakan saja pada calon menantu Anda?"Molly mengalihkan pandangannya pada Moza yang langsung mendekat. "Ibu, dia pasti hanya ingin memfitnahku," ucap Moza sambil memasang w
Nick dan Diandra memutuskan untuk mengundang Alex makan malam di rumah mereka di San Diego. Awalnya, Diandra sempat ragu, merasa undangan itu terlalu mendadak. Namun, Nick meyakinkannya.“Kak, aku tahu ini jauh, tapi aku merasa ada banyak hal yang harus kita bicarakan langsung dengan Alex. Ini penting,” ujar Nick.“Memangnya, apa yang mau dibahas?” tanya Diandra.Nick tersenyum samar. “Tentang masa depan. Aku yakin Alex akan menghargai undangan ini.”Di sisi lain, Alex menerima pesan Nick saat sedang rapat di New York. Membaca undangan itu, Alex terdiam sesaat, memikirkan jarak dan waktu yang dibutuhkan. Namun, rasa penasaran dan keinginan bertemu Diandra membuatnya segera membalas pesan tersebut.“Aku akan datang. Kirimkan alamatnya.”Alex langsung mengatur penerbangan menggunakan jet pribadinya. Dengan bantuan asistennya, perjalanan ke San Diego pun terencana dengan rapi.Selama di dalam pesawat, Alex memikirkan ulang keputusannya. Jarak ribuan mil ini terasa sepele dibandingkan den
"Jika kau terus bersama Alex, kau akan menyesal. Jauhkan dirimu darinya, atau keluargamu yang akan menderita."Pesan itu membuat Diandra gemetar. Celia mungkin sudah kalah secara resmi, tetapi ancamannya tampaknya belum selesai.Diandra membaca pesan itu berulang kali, seakan memastikan ia tidak salah lihat. Napasnya tersengal, pikirannya penuh kekhawatiran. Siapa pun yang mengirim pesan itu pasti tahu tentang hubungannya dengan Alex, meskipun hubungan itu belum sepenuhnya jelas.Dia mencoba menenangkan diri. “Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ancaman seperti ini mengontrol hidupku,” gumamnya. Namun, bayangan keluarganya muncul di benaknya—Nick, Felix, Tania—semua orang yang ia cintai. Jika mereka menjadi sasaran, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Sementara itu, Alex tiba di rumah setelah perjalanan panjang dari New York. Meski lelah, kemenangannya atas Celia tidak memberikan rasa lega yang utuh. Ia terus memikirkan Diandra, berharap bisa mendengar kabar darinya.Namun, saa
"Alex," ucapnya lembut.Alex menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Diandra. "Ada apa?""Terima kasih," kata Diandra, senyumnya tulus. "Untuk segalanya."Alex tersenyum tipis, lalu menjawab, "Aku akan selalu melindungimu, Diandra. Apa pun yang terjadi."Diandra merasakan sesuatu yang hangat di hatinya. Kini ia tahu, Alex bukan hanya sekadar teman, tetapi seseorang yang tulus ingin memperjuangkannya. Diandra mulai menyadari bahwa mungkin, ia juga memiliki perasaan yang sama.Setelah konferensi pers itu, Alex memutuskan untuk tinggal di San Diego lebih lama. Ia merasa ada banyak hal yang belum selesai, terutama terkait Celia dan Rod yang masih menjadi ancaman. Namun, di sisi lain, Alex juga sadar bahwa alasan sebenarnya ia ingin tetap di kota itu adalah Diandra.Diandra mulai merasa kebersamaan mereka semakin intens. Setiap kali Alex berada di sekitar, ia merasa nyaman, meskipun ia mencoba menyangkal perasaan itu.Suatu sore, Alex mengundang Diandra untuk berjalan-jalan di taman dekat
Beberapa minggu setelah makan malam itu, Alex semakin sering datang ke San Diego. Tidak hanya untuk bertemu Diandra, tetapi juga menjalin hubungan baik dengan Nick, Veny, dan bahkan Samy. Diandra yang awalnya ragu mulai menyadari bahwa Alex tidak main-main.Suatu sore, Diandra sedang duduk di taman belakang rumah sambil membaca buku. Alex tiba-tiba muncul dengan membawa sekotak besar kue."Hei, aku tidak tahu kau suka membaca buku filsafat," kata Alex sambil duduk di samping Diandra.Diandra menutup bukunya dan menatap Alex. "Aku hanya mencoba memahami hidup ini lebih baik."Alex tertawa kecil. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita memulai dengan memahami rasa kue ini?"Diandra tertawa, lalu membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat berbagai jenis kue yang tampak lezat."Kenapa kau selalu membawa sesuatu setiap kali datang?" tanya Diandra sambil mengambil sepotong kue."Karena aku ingin kau tahu bahwa aku serius. Dan, aku ingin kau bahagia," jawab Alex, menatap Diandra dengan mata penuh k
Diandra menunduk, merasa jantungnya berdebar kencang. Selama ini, ia juga merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Alex, tapi ia tidak berani mengakui bahkan pada dirinya sendiri."Alex," akhirnya ia berbicara. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai kejujuranmu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkan ini."Alex mengangguk dengan senyum pahit. "Tentu. Aku tidak ingin memaksamu. Ambillah waktu sebanyak yang kau butuhkan."Diandra mengangguk kecil, dan suasana di antara mereka menjadi sunyi. Namun, meski tanpa kata, ada sesuatu yang terasa lebih dalam di udara, seperti awal dari sesuatu yang baru.Saat Alex pergi meninggalkan rumah, ia merasa lega telah mengungkapkan perasaannya, meskipun tidak tahu bagaimana tanggapan Diandra selanjutnya. Sementara itu, Diandra berdiri di depan pintu, memikirkan kata-kata Alex dan mencoba memahami perasaannya sendiri.Hari-hari berlalu sejak pengakuan Alex, dan hubungan antara Alex dan Diandra menjadi lebih canggung namun penuh arti. Diandra se
Alex menatap Samy dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangannya kembali ke Diandra. "Seseorang yang pernah membantuku melewati masa sulit. Aku rasa tidak ada salahnya menunjukkan rasa terima kasih."Nick berdiri dari tempat duduknya, berusaha mengalihkan perhatian. "Kenapa tidak kita bicara di luar, Alex? Ada beberapa tempat bagus yang ingin kutunjukkan padamu."Alex tersenyum mengangguk, tetapi sebelum berdiri, ia berkata, "Tentu. Tapi sebelum itu, aku ingin mengatakan sesuatu pada Diandra."Semua mata langsung tertuju pada gadis itu. Diandra yang merasa pusat perhatian, semakin salah tingkah. "Ya... ada apa, Alex?"Alex mengambil napas sejenak, lalu berkata, "Aku tahu kau pernah mengalami banyak hal yang sulit, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat mengagumi keteguhanmu. Kau adalah seseorang yang spesial, Diandra. Itu sebabnya aku ingin memastikan bahwa kau bahagia."Ruangan itu hening. Diandra menatap Alex dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. Nick tampak tidak senang
Beberapa minggu kemudian, pengadilan memutuskan bahwa Celia dan Rod bersalah atas pencemaran nama baik serta penyalahgunaan wewenang selama menjabat di perusahaan. Mereka dijatuhi hukuman yang membuat mereka kehilangan hak untuk terlibat dalam dunia bisnis.Di kantor EC, Alex berdiri di depan seluruh karyawan, memberikan pidato kemenangannya.“Hari ini bukan hanya kemenangan bagi saya, tapi juga bagi kita semua. Perusahaan ini adalah warisan ayah saya, dan saya berjanji akan menjaga kepercayaannya dengan bekerja bersama kalian untuk membuat EC semakin besar.”Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Diandra dan Nick tersenyum bangga di belakang ruangan, menyadari bahwa perjalanan mereka bersama Alex baru saja dimulai.Kini, Alex tidak hanya membuktikan dirinya sebagai pewaris sah, tetapi juga pemimpin yang layak untuk memimpin EC ke masa depan yang lebih cerah.Setelah semua kekacauan selesai, Nick dan Diandra memutuskan untuk kembali ke San Diego. Mereka merasa tugas mereka di New York su
Salah satu anggota dewan, Tuan Harry, angkat bicara. "Bukti ini sangat jelas. Saya setuju bahwa tindakan hukum harus diambil. Kita tidak bisa membiarkan perusahaan ini jatuh ke tangan yang salah."Celia mencoba membela diri. "Ini semua tidak benar! Ini hanya rekayasa Alex untuk menjatuhkan kami!"Namun, Alex tetap tenang. "Jika Anda merasa ini rekayasa, Nyonya Celia, Anda bisa membuktikannya di pengadilan."Dewan direksi akhirnya memutuskan untuk memecat Celia dan Rod dari semua posisi mereka di perusahaan dan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang.Setelah pertemuan itu, Alex berdiri di balkon kantornya, memandang langit malam. Nick dan Diandra mendekatinya."Kau melakukannya, Lex," kata Nick sambil tersenyum bangga.Alex mengangguk pelan. "Ini semua bukan hanya untukku, tapi juga untuk ayah dan semua orang yang telah bekerja keras membangun perusahaan ini."Diandra tersenyum. "Sekarang apa rencanamu, Alex?"Alex menoleh ke mereka berdua. "Mulai sekarang, aku akan membawa
Ruangan itu dipenuhi dengan bisik-bisik kaget dan tatapan tidak percaya. Beberapa tamu berdiri dari kursi mereka, ingin memastikan bahwa apa yang mereka dengar benar.Alex tetap tenang di atas panggung, menatap tamu-tamu yang mulai berbisik lebih keras."Selama ini, saya memilih untuk tidak muncul karena ingin melihat siapa saja yang benar-benar peduli pada perusahaan ini, siapa yang tulus bekerja, dan siapa yang hanya memanfaatkan nama besar EC," lanjut Alex.Nick dan Diandra yang berdiri di sudut ruangan tersenyum penuh kebanggaan. Felix dan Tania juga tampak lega melihat Alex akhirnya mengungkapkan kebenaran."Seperti yang kalian ketahui, perusahaan ini adalah hasil kerja keras ayah saya, Evanders. Dan sebagai pewaris sah, saya memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan perusahaan ini tetap berada di jalur yang benar," tambah Alex dengan nada tegas.Sementara itu, di luar ruangan, Celia yang baru siuman terlihat sangat panik. "Rod, kita harus melakukan sesuatu! Kalau tidak, hab