"Boleh aku tau nama belakangmu?" tanya Tuan Timothy. Mereka sudah turun dari yacht dan kini sedang berjalan menuju rumah kecil miliknya. Lelaki tua itu memang senang mengembara di tempat yang sunyi. "Namaku Nick Evans," jawab Nick sesuai marga ibunya Diandra Evans. "Ayahmu berasal dari Inggris?" Evans salah satu marga dari negara kincir angin. "Nick tidak punya ayah." Nick menunduk saat mengatakannya. Tuan Timothy tersentuh, ia mengusap rambut anak berusia enam tahun itu dengan lembut. "Kalau saja Nick punya ayah, mungkin saja Nick tidak akan diculik. Mom bekerja dan tidak bisa menjaga Nick dengan baik." Nick seperti curhat pada Tuan Timothy. "Memangnya kemana ayahmu, Nick?" Nick menatap wajah Tuan Timothy, "Nick tidak pernah bertemu ayah." Malam sudah terlalu larut, Tuan Timothy memutuskan untuk tidur, ia mengajak Nick berbaring. Saat hampir dini hari yacht yang dinaiki oleh Samy sudah mendekat di pulau tempat Tuan Timothy. "Itu yacht Tuan Timothy, kita ke sana," ucap Leon
Nyatanya pagi tak mampu membangunkan setiap manusia yang ada di pulau kecuali mata kecil Nick yang berwarna hitam itu mulai mengerjap.Ia merasa jika tubuhnya tertindih sesuatu yang sedikit berat namun hangat. Nick mencoba memiringkan wajahnya untuk melihat siapa di sampingnya, seketika ia terkejut, namun tak bersuara. Sebaliknya Nick menggeser tangan mommynya, ia lalu memandangi wajah itu dengan lelehan air mata.Rupanya isakannya terdengar oleh di empunya tubuh. Diandra mengerjap perlahan lalu manik ambernya bertemu dengan manik Nick. Ia tersenyum penuh kehangatan."Mom, apa ini mimpi?" Nick bertanya seolah tak percaya.Diandra memindahkan tangannya ke atas tepat di pipi Nick yang tampak tirus. Tubuhnya kurus dan Diandra sempat khawatir.Air mata Diandra menetes seiring dengan jawaban yang mengatakan bahwa ini nyata.Diandra menatap Nick dalam-dalam, merasakan kehangatan dan cinta yang begitu mendalam. Ia mengusap pipi Nick lembut, berusaha meyakinkan anaknya. "Ini bukan mimpi, saya
"Samy, ibu tidak peduli dari mana dia tau, yang harus kau lakukan adalah meluangkan waktu untuk Moza dan mengurus pernikahan kalian. Moza bilang kau tidak pernah punya waktu untuk membahasnya."Samy terdiam sesaat mendengar perkataan ibunya."Moza sudah sembuh jadi sebaiknya kalian segeralah menikah," tambah Molly.Samy terdiam, tatapan matanya tampak kosong sejenak. Pernikahan dengan Moza seharusnya sudah menjadi keputusan yang final, namun, entah kenapa hatinya terasa ragu. Bayangan Diandra dan Nick masih terngiang-ngiang di pikirannya, terutama saat melihat Nick yang begitu mirip dengannya.“Ibu,” ucap Samy pelan, mencoba memilih kata-kata. “Aku hanya butuh waktu untuk memastikan ini memang yang terbaik.”Molly menatapnya dengan tegas. "Samy, Moza sudah menunggumu bertahun-tahun. Dia sudah melalui banyak hal. Ibu ingin kau melakukan ini untuk keluarga, demi Moza."Samy menghela napas, tersenyum tipis untuk menenangkan hati ibunya. "Baiklah, Bu. Aku akan membicarakannya dengan Moza
"Belum aku izinkan kau pergi," ucap Molly seraya berdiri dengan suara tegas.Diandra berbalik menatap wanita yang dulu pernah menjadi mertuanya. Dulu mereka jarang bertemu karena Molly tinggal di kota berbeda dengan Samy."Maaf, Bi, aku tidak punya urusan dengan Anda," jawab Diandra, tak ingin berlama-lama di sana."Kalau menyangkut anakku, itu urusanku juga," balas Molly dengan nada meninggi. "Samy punya tunangan. Kau seorang ibu dan dokter, seharusnya tahu diri. Jauhi anakku mulai sekarang!""Anda salah paham, tidak ada hubungan spesial antara aku dan Samy. Kami hanya kenal, dan dia baik padaku," jawab Diandra dengan tenang meskipun tak sepenuhnya benar.Molly mendengus, sinis. "Kau kira aku tak tahu kau pernah masuk ke kamar anakku?"Diandra melirik Moza yang tersenyum penuh kemenangan."Soal itu, kenapa tidak tanyakan saja pada calon menantu Anda?"Molly mengalihkan pandangannya pada Moza yang langsung mendekat. "Ibu, dia pasti hanya ingin memfitnahku," ucap Moza sambil memasang w
Diandra mencoba melupakan semuanya, ia mulai menata kembali hatinya. Sebentar lagi ia dan Nick akan berangkat ke Philadelphia. Diandra yakin semua akan kembali biasa seperti hidupnya yang damai selama tinggal bersama Tania dan Felix."Diandra, ada yang mencarimu," kata Tania yang sengaja datang ke kamar.Diandra tengah bersiap untuk berangkat ke rumah sakit."Sepagi ini?" Diandra mengira itu adalah Samy."Katanya ini penting, aku tidak mengenalnya. Kau bisa lihat sendiri,aku sudah memintanya duduk," kata Tania.Diandra menarik napas dalam, menenangkan hatinya sebelum menghampiri tamu yang menunggunya di ruang tamu. Ia sedikit terkejut melihat sosok Molly, ibu Samy, duduk di sofa dengan tatapan tajam. Kehadirannya benar-benar di luar dugaan."Jadi ini tempat tinggalmu?" Molly mengamati sekeliling ruangan dengan pandangan meremehkan.Diandra tetap tenang, meski hatinya bergejolak. "Ini fasilitas dari rumah sakit. Ada hal penting apa yang membuat Nyonya datang pagi-pagi seperti ini?" tan
Moza tidak menyia-nyiakan kesempatan. Di saat Molly ada di sini ia pun segera mengurus pernikahannya dengan Samy. Moza yakin Molly pasti akan mendukungnya."Ibu, lihatlah gaun ini, apa cocok di kulitku?" Moza tampak antusias di sebuah rumah mode terkemuka di San Diego.Namun Molly tidak langsung menjawab, fokusnya teralihkan pada apa yang ia lihat pagi tadi di dekat Lift, yaitu Nick."Ibu, memikirkan apa?" Moza agak tidak nyaman melihat tidak ada respon dari calon ibu mertuanya itu."Oh, sayang! Maaf! Kepala ibu sedikit pusing. Mungkin ibu akan pulang." Molly memegangi kepalanya."Tapi Bu..."Molly menyentuh tangan Moza. "Pilihlah sesuai keinginanmu, ibu percaya pilihanmu pasti bagus."Pada akhirnya Moza tak dapat menahan langkah Molly.Moza menatap Molly yang beranjak pergi dengan raut bingung. Biasanya, calon ibu mertuanya itu selalu antusias dalam membantunya memilih gaun dan mempersiapkan pernikahan. Namun, hari ini Molly tampak tidak fokus dan lebih pendiam dari biasanya.Setelah
Molly melangkah dengan anggun, usia tua tidak menutupi kecantikan wajahnya, ditambah dengan uang yang seolah enggan pergi dari hidupnya.Ia ingin segera tau tentang siapa sebenarnya Nick, anak yang sangat mirip dengan Samynya. Molly larut dalam ingatan masa kecil itu hingga tak sengaja tubuhnya menabrak seseorang."Ah, maaf-maaf!" kata Diandra seraya berjongkok mengambil tas Molly yang jatuh."Kau!" ucap Molly ketus, "kenapa aku harus bertemu orang sepertimu? Benar-benar sial." Molly terlihat kesal.Diandra menghela napasnya pelan. Jika ditanya dirinya juga tidak senang dengan pertemuan ini."Sepertinya aku harus memperingatkan mu lagi agar menjauhiku dan Samy.""Nyonya, aku tidak pernah merasa mendekatimu dan Samy. Ini tempat belanja, rasanya cukup wajar jika aku berada di sini. Dan juga pertemuan senelumnya, anda yang mengundangku lalu datang ke apartemenku." Diandra tak mau lemah dan dituduh sepihak seolah menjadi wanita yang tergila-gila pada Samy.Molly terdiam namun tetap tak me
"Aku sudah memilih gaun, apa kau mau menemaniku mencobanya?" Pagi ini Moza menyusul Samy ke kamarnya.Lelaki itu sedang mengenakan pakaian kantornya. "Pekerjaanku banyak, sepertinya aku tidak punya waktu untuk itu.""Tak apa, aku menunggu sampai kau punya waktu," kata Moza seraya tersenyum."Terima kasih atas pengertianmu!" Samy usai mengenakan jam tangannya dan bersiap hendak turun ke bawah."Sam, sekarang kita jarang menghabiskan waktu bersama." Moza terus mengekori langkah Samy.Samy berhenti di anak tangga, Moza menunduk seolah sedih. "Aku-aku, sebenarnya aku takut kau sudah tidak menyayangiku.""Siapa bilang? Aku tidak pernah melupakanmu, Moza." Samy mempertegas meski dalam ingatannya saat ini hanya ada Diandra saja."Samy, maaf kalau aku terlalu lancang, aku hanya merasa kau tertarik pada Dokter Diandra." Moza mengarah ke sana.Samy terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata. Ia tidak ingin membuat Moza merasa terabaikan, tetapi di dalam hatinya, perasaannya terhadap Diandra me
Sesuai dengan janji mereka, Mary mengunjungi putrinya ke apartemen. Dia dan suaminya mengajak Veny bicara."Apa yang membuatmu belum menerima Samy? Bukankah semua masalahnya sudah selesai?" Mary menggenggam tangan putrinya."Ayah berpikir untuk kebaikanmu, apa lagi Nick sebentar lagi akan punya adik. Pasti lebih mudah jika membesarkannya bersama suami."Veny terdiam merenung."Ibu berharap kalian akur dan membangun keluarga yang bahagia, kau putri kami satu-satunya, ibu ingin kau ada yang menjaganya.""Aku masih memikirkannya Bu.""Tidak mudah memang melupakan kejadian tujuh tahun yang lalu, ayah bisa memahami perasaanmu, tapi bukan berarti tidak bisa, Nak."Veny nampak menghela napasnya. Ia pun tidak memahami apa keinginan hatinya saat ini.Mary menggenggam tangan Veny dengan lembut, matanya menatap penuh kasih. "Ibu tahu kau merasa ragu, tapi lihatlah situasi ini dari sisi lain. Bukankah Samy sudah berusaha keras untuk menebus kesalahannya?"Darius, yang duduk di sofa di samping mer
Prok prok prokSamy muncul tanpa diduga."Kau ingin mengkambinghitamkan Tuan Hong demi ambisimu?"Moza terdiam, seluruh tubuhnya mendadak kaku, ia menelan salivanya kasar. Bagaimana mungkin Samy muncul?"Tuan Brown, tolong, aku tidak bersalah, aku hanya mengerjakan perintah." Tuan Hong mengatupkan tangannya ketakutan.Samy menahannya dengan mengangkat kelima jarinya, Ran yang ada di sana meminta agar Tuan Hong diam.Samy maju semakin dekat pada Moza."Kenapa kau lakukan ini Moza? Apa yang salah pada dirimu? Dulu kau begitu baik padaku dan penuh perhatian sampai aku selalu memaafkan setiap kesalahanmu."Moza menatap Samy dengan mata yang memancarkan campuran ketakutan dan kebencian. Dia mundur selangkah, namun Samy tetap mendekat, suaranya rendah dan tajam seperti pisau yang menusuk ke dalam hati."Jawab aku, Moza," tuntut Samy. "Kenapa kau begitu terobsesi menghancurkan hidupku? Hidup Veny? Apa kau tidak pernah merasa puas dengan apa yang kau miliki?"Moza menghela napas panjang, beru
"Kenapa begitu sulit untuk kita?" tanya Veny.Mereka berdua sedang jalan pagi, Samy sengaja datang ingin membicarakan tentang masalah mereka."Ini kesalahanku, aku terlalu percaya pada Moza hingga mengorbankan perasaanmu." Samy mengakui kebodohannya dulu."Pada akhirnya kau membiarkan dia lolos?""Kesalahannya kali ini tak cukup fatal, polisi tidak menahannya, sedangkan kasusmu dulu, sudah terlalu lama dan tidak ada bukti.""Jika aku mengatakan sesuatu apa kau mau mempercayaiku?""Tentu, katakan apa itu?""Moza yang menculik Nick waktu itu.""A-apa?""Buktiku tidak akurat, jika kau sungguh-sungguh ingin membuatnya di penjara, cari buktinya dan aku akan memikirkan untuk kembali denganmu."Samy terdiam mendengar ucapan Veny. Wajahnya tampak tegang, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu, apa yang dikatakan Veny bukanlah tuduhan tanpa dasar. Moza memang selalu memiliki cara untuk menimbulkan kekacauan dalam hidup mereka."Moza menculik Nick?" Samy mengulang, seolah mema
Adolfo mengangguk. "Baik, saya akan segera menyiapkan dokumen resmi dan melaporkannya ke pihak berwenang. Tapi saya perlu bertanya, apakah Anda sudah siap menghadapi kemungkinan tekanan balik dari pihak Moza?"Samy menatap Adolfo tajam. "Tekanan apa pun yang dia coba berikan tidak akan mengubah keputusanku. Lakukan apa yang harus kau lakukan, Adolfo."---Di sisi lain, MozaMoza sedang menikmati teh paginya ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Itu dari Alma, ibunya."Moza, ada kabar buruk," kata Alma panik."Apa maksud Ibu?" Moza mengerutkan kening, tidak suka mendengar nada suara ibunya."Samy mengajukan laporan hukum terhadapmu. Aku baru mendengar ini dari seorang kenalan di pengadilan."Cangkir teh di tangan Moza hampir jatuh. Wajahnya memucat. "Apa? Samy berani melakukannya?""Iya, dia sepertinya punya bukti kuat. Moza, kau harus segera bertindak! Ini bisa menghancurkanmu."Moza menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Tidak mungkin aku kalah semudah itu, B
Semua kembali seperti dulu, Veny merasa dejavu. Walau bagaimanapun Samy menginginkannya, tapi dia tidak pernah bisa tegas terhadap Moza.Jujur, Veny kecewa, ia mengusap perutnya yang sedikit menonjol. Nasibnya sama dengan Nick, tanpa didampingi oleh Samy."Nyonya, Tuan sepertinya sangat terpukul dengan kepergian kita." Isla menghampiri Veny.Dia baru saja menidurkan Nick. Mereka kembali ke apartemen.Segelas teh hangat di atas meja belum disentuh sama sekali, bohong jika Veny baik-baik saja."Faktanya dia tidak bisa bertindak tegas. Lagi pula Moza hamil, lebih baik aku pergi dari sana.""Apa Nyonya yakin itu anak Tuan Samy? Mendengar kelicikan Nona Moza selama ini, aku rasa itu tidak mungkin." Isla sedikit membela Samy. Sebagai orang asing ia melihat ketulusan Samy pada Veny dan Nick.Mendengar itu Veny menerawang ke depan. Tak dipungkiri apa yang dikatakan oleh Isla cukup masuk akal. Sebagaimana dulu Moza tega memfitnahnya."Kasihan Tuan Samy, dia tidak berdaya karena Moza adalah ora
"Buka saja aku tidak akan marah," kata Veny. Dia melihat keraguan di mata Samy saat menatap kotak pemberian Moza."Aku rasa ini tidak penting," ucap Samy."Kau yakin? Bagaimana jika itu benda berbahaya?" sahut Veny, dia lebih penasaran dari pada Samy."Segala sesuatu tentang dia sudah berakhir. Aku hanya fokus padamu dan Nick juga calon bayi kita." Samy mengenyampingkan kotak itu. Ia menyentuh tangan Veny seolah meyakinkan wanita itu."Kenapa aku ingin melihatnya?" Veny bertanya lebih ke dirinya sendiri. Bukan karena apa, tapi Veny tau berapa liciknya Moza. Bisa saja kotak itu berisi benda berbahaya.Samy menarik napas panjang, mengerti keraguan yang terlihat di wajah Veny. Ia meraih kotak kecil itu kembali dan menatapnya lekat-lekat, seolah memastikan bahwa benda tersebut tidak memiliki niat buruk."Baiklah," kata Samy akhirnya. "Jika itu membuatmu tenang, aku akan membukanya."Samy mengambil gunting dari meja terdekat dan dengan hati-hati membuka pita yang melilit kotak kecil terse
Sebulan telah berlalu, Samy tidak lagi sama seperti waktu itu. Kini pria itu lebih banyak diam seolah merasa bersalah pada Veny.Sungguh dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri."Samy, apa kau sibuk hari ini?" Veny baru saja mengetuk pintu kamarnya."Mmm, aku...""Apa aku boleh masuk?" Veny ingin masuk ke dalam."Mmm, i-iya, masuklah."Samy sepertinya tidak leluasa membuat Veny ingin sekali bertanya.Veny membuka pintu dan melangkah masuk ke kamar Samy. Ia mendapati pria itu duduk di tepi ranjang, dengan wajah yang tampak letih dan penuh beban. Tidak seperti biasanya, Samy terlihat lebih lesu dan sulit untuk menatap langsung ke arah Veny.“Kau baik-baik saja?” tanya Veny dengan nada lembut namun tetap penuh kekhawatiran.Samy hanya mengangguk pelan, tetapi sorot matanya mengatakan sebaliknya. Ia menghindari kontak mata, membuat suasana di kamar terasa semakin canggung.“Kau tidak seperti biasanya, Samy. Ada yang mengganggumu?” desak Veny, memberanikan diri untuk mendekat.Samy menghe
Beberapa minggu kemudian, Samy memutuskan untuk melakukan pendekatan yang berbeda. Sadar bahwa terlalu memaksa hanya membuat Veny semakin menjauh, ia mencoba mencari cara untuk perlahan membuka kembali hati Veny tanpa membuatnya merasa terpaksa.Suatu malam, ketika Nick sudah tertidur, Samy melihat Veny duduk di ruang keluarga, menatap keluar jendela. Ia tampak termenung, pikirannya melayang jauh.“Bolehkah aku duduk di sini?” Samy bertanya hati-hati.Veny terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan tanpa menoleh.Samy duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup. Ia merasa canggung, namun tahu bahwa saat ini ia tidak boleh mundur."Aku tahu ini tidak mudah," ucap Samy setelah keheningan yang cukup lama. "Dan aku sadar aku sudah banyak melakukan kesalahan yang membuatmu terluka."Veny tetap menatap ke luar jendela, wajahnya datar. Tetapi, ada sorot mata yang berbeda; seakan ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar lebih banyak.“Aku tidak meminta agar semuanya dilupakan begitu saja,” l
Di kota lain, Moza tengah menatap hamparan luas laut yang biru berlapis kaca mata hitam tebal miliknya. Ia terlihat seksi dengan bikini berwarna maroon.Di sampingnya berdiri lelaki tampan memakai celana pendek putih disertai kemeja motif pantai berwarna biru. pria itu menggunakan teropong untuk melihat ke kejauhan.Moza menyeringai puas, menikmati desiran angin pantai yang menerpa wajahnya. Matahari memantul pada permukaan air laut yang tenang, dan ia merasakan dirinya benar-benar bebas dari bayang-bayang masa lalu.Pria di sebelahnya, dengan wajah maskulin yang dihiasi senyum tipis, menurunkan teropongnya dan berbalik menghadap Moza. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" tanyanya santai, memeriksa Moza dengan tatapan penuh minat.Moza tersenyum sinis, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Hanya menikmati hidupku... tanpanya," jawabnya sambil melirik pria itu, seolah mencari konfirmasi dari keputusan yang telah ia buat.Pria itu tertawa kecil. "Kau benar-benar berani, Moza. Melepaska