Tentu! Anda bisa menyalin dan menempel adegan yang saya buat tadi sesuai dengan kebutuhan Anda. Berikut adalah teks adegan yang sudah saya buat sebelumnya:---Begitu Samy dan Brett melangkah masuk ke dalam bangunan, suasana hening yang mencekam menyelimuti mereka. Anak buah Brett berjaga di luar, memastikan keamanan di sekitar, sementara salah satu pria Brett memimpin jalan di depan, bergerak hati-hati di antara deretan peti yang terkunci. Samy mendekati salah satu peti besar, mengamati kunci besi yang kokoh."Semua terkunci," katanya pelan kepada Brett, sambil matanya menyisir sekeliling ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantu mereka membuka peti-peti itu.Namun, tak butuh waktu lama sebelum keheningan itu terpecah. Tiba-tiba, suara langkah kaki cepat mendekat dari arah samping. Sebelum Samy atau Brett sempat bereaksi, dua pria bersenjata muncul dari balik tumpukan peti dan menyerang dengan kecepatan luar biasa. Salah satu pria melompat, mengayunkan tongkat besi langs
Diandra menelusuri wajah anak-anak yang terbaring tak berdaya satu per satu. Rasa takut dan harapannya beradu setiap kali ia memeriksa, namun wajah yang ia cari Nick, putranya tak kunjung terlihat. Ketegangan menggantung di udara, begitu berat hingga napasnya terasa sesak. Pikirannya mulai membayangkan kemungkinan terburuk, membuat langkahnya semakin goyah.Ashley yang memantau dari dekat akhirnya bertanya, "Bagaimana?" Suaranya lirih, seolah sudah tahu jawabannya, namun tetap mengharapkan keajaiban.Semua mata tertuju pada Diandra. Wajah-wajah penuh simpati dan kecemasan menanti jawabannya. Diandra menggeleng pelan, wajahnya pucat. "Aku tidak menemukannya..." katanya terputus-putus. "Tapi jika Nick diperlakukan seperti ini... kalau itu terjadi, rasanya lebih baik aku mati." Suaranya pecah saat mengucapkan kalimat itu, dadanya bergemuruh oleh kepedihan yang tak tertahankan.Pikirannya yang penuh kecemasan membuat tubuhnya limbung. Pandangannya kabur dan lemasnya semakin terasa hingga
Anak buah Moza terlihat kesal karena kehilangan Nick dan Isla. Salah satu dari mereka segera menghubungi Moza. Di tempat persembunyiannya Isla keluar mengendap-endap agar bisa jauh dari mereka. Sesekali ia menatap ke belakang hingga menabrak seseorang."Apa kau tidak punya mata?" kata lelaki yang ia tabrak.Isla menatapnya sambil mengatupkan tangan, "maaf-maaf, aku tidak sengaja."Isla berlalu meninggalkan pria itu sampai ia jauh dari dermaga, Isla berhenti karena perutnya terasa melilit. Dia lapar, namun tidak punya uang untuk membeli makanan. Isla berjalan di antara keramaian tempat orang menjual makanan. Sesekali ia menelan ludahnya kala mencium aroma masakan dari kedai yang ia lewati. Lelah, takut dan lapar bercampur jadi satu membuat wanita itu mencoba bertahan sekuat mungkin, namun yang namanya nasib siapa yang tau. Isla merasa pusing dan pingsan di depan kedai.Isla tergeletak di tanah, napasnya tersengal, dan dunia di sekitarnya terasa semakin jauh. Orang-orang yang lewat mula
Diandra menyusul dengan mobilnya menuju dermaga yang dikatakan oleh Samy. Mereka bertemu di sana."Samy, apa sudah ditemukan?" Diandra terdengar tidak sabaran. Saat itulah mobil yang membawa Isla lewat, ia melihat Diandra di sana."Hentikan mobilnya!" Pintanya pada lelaki yang mengantarnya."Kau mau turun disini?""Ya, aku menemukan orang yang kucari," kata Isla.Lelaki itu segera membuka kunci dan Isla segera turun dan berlari ke arah Diandra."Dokter."Diandra berlari menghampiri Isla dengan wajah penuh harap dan cemas. "Isla, dimana Nick?" tanyanya dengan suara yang bergetar.Isla yang terlihat lelah dan ketakutan, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Nick... dia berhasil melarikan diri dari mereka, tapi kami terpisah di dermaga. Dia lari ke arah kapal besar, mungkin sebuah yacht."Diandra merasa jantungnya berdegup kencang. "Kau yakin dia sempat masuk ke dalam yacht?"Isla mengangguk. "Ya, aku melihatnya berlari ke sana sebelum aku tertangkap. Mereka masih mencarinya."Sam
Cuaca semakin memburuk, angin laut bertiup kencang, dan hujan mulai turun perlahan, membuat suhu udara semakin dingin. Diandra menggigil, merapatkan jaket tipis yang dikenakannya, namun tetap tak mampu mengusir dingin yang menusuk."Kenapa Brett belum juga tiba?" gumam Isla dengan cemas, sambil mengusap lengannya yang kaku kedinginan.Samy berdiri tak jauh dari mereka, matanya terus memandang lautan yang semakin gelap dan bergelombang. Wajahnya tegang, jelas bahwa situasi ini semakin membuatnya gelisah. "Cuaca ini bisa memperlambat mereka," katanya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.Leonard, yang sejak tadi duduk diam, ikut merasa tak nyaman. "Perahu kecil seperti ini tidak akan mampu bertahan di tengah badai," katanya, memandang ke arah perahu yang masih terombang-ambing di dermaga.Diandra menatap Samy, rasa putus asa mulai merayap di hatinya. "Samy, apa yang harus kita lakukan kalau Brett tidak datang?" tanyanya lirih.Samy menatapnya sejenak
"Boleh aku tau nama belakangmu?" tanya Tuan Timothy. Mereka sudah turun dari yacht dan kini sedang berjalan menuju rumah kecil miliknya. Lelaki tua itu memang senang mengembara di tempat yang sunyi. "Namaku Nick Evans," jawab Nick sesuai marga ibunya Diandra Evans. "Ayahmu berasal dari Inggris?" Evans salah satu marga dari negara kincir angin. "Nick tidak punya ayah." Nick menunduk saat mengatakannya. Tuan Timothy tersentuh, ia mengusap rambut anak berusia enam tahun itu dengan lembut. "Kalau saja Nick punya ayah, mungkin saja Nick tidak akan diculik. Mom bekerja dan tidak bisa menjaga Nick dengan baik." Nick seperti curhat pada Tuan Timothy. "Memangnya kemana ayahmu, Nick?" Nick menatap wajah Tuan Timothy, "Nick tidak pernah bertemu ayah." Malam sudah terlalu larut, Tuan Timothy memutuskan untuk tidur, ia mengajak Nick berbaring. Saat hampir dini hari yacht yang dinaiki oleh Samy sudah mendekat di pulau tempat Tuan Timothy. "Itu yacht Tuan Timothy, kita ke sana," ucap Leon
Nyatanya pagi tak mampu membangunkan setiap manusia yang ada di pulau kecuali mata kecil Nick yang berwarna hitam itu mulai mengerjap.Ia merasa jika tubuhnya tertindih sesuatu yang sedikit berat namun hangat. Nick mencoba memiringkan wajahnya untuk melihat siapa di sampingnya, seketika ia terkejut, namun tak bersuara. Sebaliknya Nick menggeser tangan mommynya, ia lalu memandangi wajah itu dengan lelehan air mata.Rupanya isakannya terdengar oleh di empunya tubuh. Diandra mengerjap perlahan lalu manik ambernya bertemu dengan manik Nick. Ia tersenyum penuh kehangatan."Mom, apa ini mimpi?" Nick bertanya seolah tak percaya.Diandra memindahkan tangannya ke atas tepat di pipi Nick yang tampak tirus. Tubuhnya kurus dan Diandra sempat khawatir.Air mata Diandra menetes seiring dengan jawaban yang mengatakan bahwa ini nyata.Diandra menatap Nick dalam-dalam, merasakan kehangatan dan cinta yang begitu mendalam. Ia mengusap pipi Nick lembut, berusaha meyakinkan anaknya. "Ini bukan mimpi, saya
"Samy, ibu tidak peduli dari mana dia tau, yang harus kau lakukan adalah meluangkan waktu untuk Moza dan mengurus pernikahan kalian. Moza bilang kau tidak pernah punya waktu untuk membahasnya."Samy terdiam sesaat mendengar perkataan ibunya."Moza sudah sembuh jadi sebaiknya kalian segeralah menikah," tambah Molly.Samy terdiam, tatapan matanya tampak kosong sejenak. Pernikahan dengan Moza seharusnya sudah menjadi keputusan yang final, namun, entah kenapa hatinya terasa ragu. Bayangan Diandra dan Nick masih terngiang-ngiang di pikirannya, terutama saat melihat Nick yang begitu mirip dengannya.“Ibu,” ucap Samy pelan, mencoba memilih kata-kata. “Aku hanya butuh waktu untuk memastikan ini memang yang terbaik.”Molly menatapnya dengan tegas. "Samy, Moza sudah menunggumu bertahun-tahun. Dia sudah melalui banyak hal. Ibu ingin kau melakukan ini untuk keluarga, demi Moza."Samy menghela napas, tersenyum tipis untuk menenangkan hati ibunya. "Baiklah, Bu. Aku akan membicarakannya dengan Moza