Rangga duduk di hadapan Sean, merasa sedikit gelisah. Dia datang dengan niat untuk menyampaikan kabar tentang kehamilan Lila, berharap itu bisa mempengaruhi cara Sean melihat mantan istrinya. Namun, sebelum Rangga sempat membuka mulut, Sean sudah memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Bagaimana perkembangannya?" tanya Sean dengan nada dingin tanpa basa basi, sorot matanya tajam seolah mampu menembus isi kepala Rangga. Rangga mencoba tetap tenang, meski pertanyaan itu langsung membuatnya merasa terjebak. "Maksud Mas Sean, perkembangannya soal apa?" tanya Rangga berusaha memancing penjelasan lebih lanjut, meski hatinya sudah menduga apa yang akan disinggung Sean. Sean mendengus, kali ini matanya menyipit penuh ketidaksabaran. "Jangan berpura-pura bodoh, Rangga. Aku bicara tentang rencanamu menyingkirkan Lila dari Mahendra Securitas. Aku sudah katakan dengan jelas, aku ingin dia keluar. Secepatnya." Rangga menunduk sebentar, lalu kembali menatap Sean. "Mas, aku ... aku sedang memikir
Sean duduk dengan tenang, tetapi sikapnya menunjukkan ketegasan yang tak terbantahkan. Dia menatap pria di hadapannya dengan tajam, seolah-olah hanya ada satu tujuan dari pertemuan ini. “Pak Andika …” ucap Sean, suaranya terdengar dingin dan tanpa basa-basi, “Saya ingin Anda memecat Lila sekarang juga dari perusahaan Anda Sekarang, bukan nanti.” Andika, mendengarkan dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Namun, di balik tatapan tenangnya, pikirannya mulai bekerja. Andika menganggukkan kepala lemah. “Saya akan segera memecatnya setelah dari sini. Untuk alasan ….” “Itu bukan urusan saya, yang saya inginkan hanya mendengar kabar Lila sudah hengkang dari Mahendra Securitas.” Mungkin terdengar kejam, tetapi Sean sepertinya tidak peduli. Dengan nada yang semakin tajam, Sean melanjutkan, mendominasi percakapan sejak awal tanpa memberi ruang untuk seorang Andika berbicara. “Jika Anda tidak segera bertindak, saya rasa Anda tahu apa yang bisa saya lakukan pada perusahaan Anda.” “Jika bo
Di dalam ruang rapat yang terang, semua mata tertuju pada Lila yang berdiri di depan layar proyektor. Meski sedang mengandung, tidak ada yang bisa menyangkal profesionalisme dan karismanya saat memaparkan analisis kuartal berikutnya. Sambil membenahi sedikit rambut yang jatuh di bahunya, Lila melanjutkan pemaparannya dengan penuh percaya diri. “Untuk sektor perbankan,” ujar Lila, suaranya tegas namun tenang, “kita bisa melihat peningkatan stabil di kuartal terakhir, terutama setelah implementasi kebijakan suku bunga rendah oleh Bank Indonesia. Namun, kita harus berhati-hati terhadap kemungkinan volatilitas karena ketidakpastian global yang masih tinggi. Saya sarankan kita fokus pada bank-bank dengan rasio kredit yang lebih baik dan pertumbuhan digital banking yang kuat.” Seluruh peserta rapat mengangguk mendengar analisisnya. Lila kemudian beralih ke grafik sektor tambang yang muncul di layar. “Sementara itu, sektor tambang menunjukkan performa yang fluktuatif, terutama karena penu
Ryan mengikuti langkah Andika dengan perasaan yang tidak nyaman. Langkah kakinya berat, pikirannya bercampur aduk, sementara bayangan Lila yang anggun dan luwes selama rapat masih melekat di benaknya. Ryan tidak bisa mengabaikan tatapan mata mereka yang saling bertemu tadi, sebuah momen yang membuat hatinya berdesir, meski Lila cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Kini, Ryan merasa ada sesuatu yang salah. Dia tahu sang papa akan membicarakan hal serius, dan firasatnya mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan Lila. Mereka tiba di sebuah ruangan yang sangat privat, jauh dari keramaian kantor, tempat percakapan-percakapan yang tidak ingin didengar oleh orang lain biasa terjadi. Andika memandang putranya dengan ekspresi serius, tanpa basa-basi. "Ryan," suara Andika terdengar tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun, "Kamu harus segera memecat Lila. Ini tidak bisa ditunda lagi." Ryan tertegun. Ucapannya meledak sebelum dia sempat berpikir, "Apa? Papa serius?" Mata Ryan membeliak leba
Di akhir pekan yang cerah, Lila ingin mencoba melakukan hal baru. Berdiri di depan cermin, ponsel di tangan, bersiap untuk merekam video pertama yang ingin dia buat. Sebagai analis yang sudah terbiasa berbicara di depan kolega di Mahendra Securitas, berbagi pengetahuan tentang keuangan bukan hal yang baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Rasanya lebih menakutkan daripada memaparkan hasil analisis bisnis kepada para petinggi perusahaan. Kali ini, Lila membayangkan wajahnya akan dilihat oleh ratusan, bahkan ribuan orang yang tidak dikenalnya di media sosial. Tiba-tiba tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia berdehem sebelum mulai berbicara. "Perencanaan keuangan bagi kelas ekonomi menengah ...." Lila mulai berbicara pelan, berusaha menjaga nada suara agar terdengar tegas namun hangat. "Banyak orang di kelas menengah sering merasa terjebak di antara keinginan untuk menabung dan kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup modern. Nah, salah satu strategi ..." Lila tiba-tiba terdiam. Panda
Di ruang tamu megah keluarga Wismoyojati, pertemuan keluarga antara orang tua Miranda dan Sekar berlangsung serius. Segala kemewahan dan kenyamanan yang ada di ruang itu tidak cukup untuk meringankan beban yang dirasakan Sean saat ini. Sean duduk di salah satu sudut ruangan, menatap kosong ke arah lantai, tidak menunjukkan minat sedikit pun terhadap percakapan yang sedang berlangsung. Di meja tengah, Sekar bersama dengan ibunya Miranda tampak sibuk berdiskusi tentang rencana acara pertunangan yang akan digelar beberapa minggu lagi. Mereka berbicara dengan penuh antusias, seolah-olah acara ini adalah momen terpenting dalam hidup mereka. "Aku pikir kita bisa adakan di hotel Bintang lima Grand Horizon," kata ibu Miranda dengan penuh semangat. "Tempat itu sangat mewah dan cocok untuk menampilkan status kita. Bagaimana menurut Bu Sekar?" Sekar mengangguk dengan antusias, matanya berbinar. "Oh, tentu saja! Itu ide yang sangat bagus! Hotel itu memang terkenal dengan pelayanannya yang lua
Miranda menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap Sean, yang masih tampak tenggelam dalam keraguan dan rasa bersalah. Ia tahu, di balik sikap dingin Sean, ada hati yang terluka dan penuh kekhawatiran. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan Sean dengan lembut. “Sean,” Miranda berkata pelan, tapi dengan keyakinan yang kuat, “aku tidak peduli dengan masa lalumu. Aku tahu kamu punya luka, aku juga tahu kamu punya beban yang kamu bawa selama ini. Tapi aku akan menerimamu apa adanya. Kita semua punya masa lalu, punya kesalahan. Aku tidak berharap kamu sempurna.” Sean menoleh, menatap Miranda dalam diam, seolah mencoba mencari kejujuran di mata Miranda. Kata demi kata yang terucap dari bibir Miranda terdengar begitu menenangkan, dan kali ini kata-kata tersebut menggugah sesuatu yang lebih dalam pada dirinya. “Aku siap untuk kita, Sean. Aku siap menghadapi apa pun yang akan datang. Kita mungkin tidak akan selalu bahagia, tapi aku percaya kita b
Kata demi kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Ryan, hingga membuat Lila seolah sulit untuk mencernanya. Jantungnya berdebar lebih kencang, seolah detak waktu melambat di sekelilingnya. "Apa?" Lila akhirnya berhasil berkata, melempar satu tanya yang terdengar layaknya suara bisikan. "Aku sungguh-sungguh, Lil." Ryan memberi penegasan berharap mampu meyakinkan Lila. "Aku ingin menikahimu, aku akan menerima anakmu seperti anakku sendiri. Aku sudah memikirkan ini sejak lama … aku ingin kita menjalani hidup bersama." Lila masih berdiri mematung, mencoba mencerna kata-kata Ryan. Lamaran yang begitu mendadak itu membuat pikirannya berputar. Bukan rasa senang yang muncul, melainkan perasaan terkejut dan kalut. Perempuan lain mungkin akan merasa tersanjung dan bahagia ketika seorang pria sebaik Ryan, calon pewaris perusahaan sekuritas yang mapan, menyatakan niatnya untuk menikah. Tetapi perasaan yang sebaliknya justru dirasakan oleh Lila. Sebuah ingatan melintas di benak Lila. Pe
Jika Ryan sedang merencanakan akan memiliki anak lagi, berbeda dengan Sean yang sedang berbahagia dengan kehamilan kembar Lila.Pagi itu, Lila sedang merapikan dasi Sean. Perutnya yang semakin membesar cukup menghalangi pekerjaan mudah itu. Bukan karena jarak yang semakin menjauh, tetapi lebih karena sean yang sering menunduk dan terus memainkan tangan di perutnya yang mengganggu konsentrasinya.“Kapan pemeriksaan berikutnya?” tanya Sean yang terlihat sudah tidak sabar.“Minggu depan,” jawab singkat Lila, yang terpaksa menyingkirkan tangan Sean dari perutnya.Karena merasa geli, Lila sampai salah mengikatkan dasi. Sesuatu yang sebenarnya sudah hafal di luar kepala.Kehamilan Lila yang kini memasuki bulan kelima membuat semakin penasaran dengan jenis kelamin bayi kembar mereka.“Bukankah pemeriksaan besok sudah bisa melihat jenis kelamin mereka?”Lila hanya menjawab dengan deheman, saat dia menyelesaikan kegiatan mengikat dasi sampai rapi."Aku yakin mereka perempuan," kata Sean penuh
Sesampainya di rumah, Rina sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi penuh harap. Saat pintu mobil terbuka, ia tersenyum lega melihat Renasya melompat keluar dari sisi lain mobil dan berlari menghampirinya."Mama! Lihat ini!" seru Renasya, mengangkat bola basket kecil yang diberikan Brilian.Rina tersenyum, tetapi segera menggeleng. "Tapi Rena tidak boleh main basket di dalam rumah."Renasya mengerucutkan bibir sambil mengalihkan pandangannya ke arah sang papa. "Tapi Papa tadi sudah izinin."Ryan yang baru turun dari mobil tertawa kecil. "Papa mengizinkan main, tapi di taman kompleks. Bukan di dalam rumah."Renasya tampak kecewa. "Tapi aku mau main sekarang..."Ryan mengusap kepala putrinya. "Kalau Rena mau main basket, bisa main lagi ke rumah Kak Brili."Mata Renasya langsung berbinar. "Beneran, Pa? Aku bisa main sama Kak Brili lagi?"Ryan mengangguk, dan Renasya langsung bersorak gembira. Sementara itu, Rina menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. Ada sesuatu dalam cara
Ryan tertawa lepas di hadapan Sekar, sungguh dia tidak menduga perempuan tegar di hadapannya memiliki selera humor yang cukup aneh baginya.“Apa salahnya kau menitipkan Renasya di rumah ini. sekaligus mendekatkan Brili dan Rena, bagaimana pun mereka itu saudara,” ucap Sekar dengan ekspresi wajah yang datar, meski Ryan belum bisa menghentikan tawanya.“Bukan masalah yang itu,” sahut Ryan sambil menahan tawa.“Ya, apa salahnya kalau kamu menikmati bulan madu bersama Rina untuk melepaskan semua kesedihan?” Sekar terdiam menunggu jawaban dari Ryan.Ryan mengalihkan pandangan sambil menyembunyikan senyum. Ayah satu anak tidak pernah menduga jika dia bisa tertawa lepas bersama Sekar.“Apa salahnya Renasya memiliki adik? Biar dia tidak kesepian.”“Tidak ada yang salah,” jawab Ryan dengan kepala menunduk, tawanya meredup, berganti dengan sesuatu yang lain.Mata Ryan berkaca-kaca, napasnya tersendat. Sekar diam, menunggu, membiarkan kata-kata yang tadi meluncur darinya mengendap dalam diri Rya
Begitu melihat Ryan, mata Renasya langsung berbinar. Tanpa ragu, bocah itu berlari ke arahnya dan melompat ke dalam pelukannya.“Papa!” serunya, memeluk erat seolah takut kehilangan lagi. Ryan membalas pelukan itu, mencium puncak kepala putrinya, merasakan kehangatan yang lama ia abaikan.Renasya menatap wajah papanya dengan polos. “Papa sudah nggak pusing lagi?” tanya Renasya, karena setiap kali dia bertanya kenapa harus tinggal bersama Brilian, orang dewasa di rumah itu mengatakan jika papanya sedang pusing.“Kayak Papa Brilian yang selalu pusing, terus minta dimanja sama Mama Lila?” sambung Renasya yang pernah tanpa sengaja melihat Sean yang mengatakan pusing dan langsung mendepat pelukan dari Lila sebelum akhirnya keduanya menuju ke kamar.Ryan mengerutkan kening, sedikit bingung. Ia melirik Sekar, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.“Papa Brilian kalau pusing, katanya Mama harus peluk dia, harus elus kepalanya, biar cepet sembuh.” Renasya melanjutkan dengan nada serius.
Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyingkirkan rasa sedihnya. Ryan lebih memilih diam menyendiri mengasingkan diri dari orang lain. Sepulang kerja, dia akan menyendiri di ruang kerja atau di kamar Risda.Seperti saat ini, Ryan duduk sendiri di ruang kerjanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan begitu saja. Hatinya masih terasa berat. Kepergian Andika meninggalkan lubang besar dalam dirinya, begitu pula kepergian Risda yang masih menyisakan luka.Sungguh jauh berbeda dengan Sean yang memilih untuk sibuk, Ryan justru semakin tenggelam dalam kesedihan. Ia butuh waktu untuk menerima semuanya.Di sisi lain, Sean sibuk membenamkan diri dalam pekerjaan. Setiap harinya ia pulang lebih larut, mencari cara agar pikirannya tidak terlalu banyak melayang pada kehilangan yang ia rasakan.Menjalani biduk rumah tangga hampir delapan tahun, membuat Lila bisa memahami suasana kebatinan suaminya. Termasuk bagaimana dia harus mempersiapkan diri di hadapan Sean dan menuruti
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika