Kata demi kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Ryan, hingga membuat Lila seolah sulit untuk mencernanya. Jantungnya berdebar lebih kencang, seolah detak waktu melambat di sekelilingnya. "Apa?" Lila akhirnya berhasil berkata, melempar satu tanya yang terdengar layaknya suara bisikan. "Aku sungguh-sungguh, Lil." Ryan memberi penegasan berharap mampu meyakinkan Lila. "Aku ingin menikahimu, aku akan menerima anakmu seperti anakku sendiri. Aku sudah memikirkan ini sejak lama … aku ingin kita menjalani hidup bersama." Lila masih berdiri mematung, mencoba mencerna kata-kata Ryan. Lamaran yang begitu mendadak itu membuat pikirannya berputar. Bukan rasa senang yang muncul, melainkan perasaan terkejut dan kalut. Perempuan lain mungkin akan merasa tersanjung dan bahagia ketika seorang pria sebaik Ryan, calon pewaris perusahaan sekuritas yang mapan, menyatakan niatnya untuk menikah. Tetapi perasaan yang sebaliknya justru dirasakan oleh Lila. Sebuah ingatan melintas di benak Lila. Pe
Lila menatap Ryan, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha menahan isak tangis, tetapi rasanya tak mungkin. Semua ketakutan dan kesedihan yang selama ini tersimpan, perlahan merembes keluar. Napasnya tersengal saat ia akhirnya berbicara. “Sean memang pernah mengancam akan membuatku menderita jika kami bercerai. Tapi aku tidak pernah menduga jika dia akan bertindak sampai sejauh ini.” Ryan menatapnya dengan cemas, tak tahu harus berkata apa. Lila melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda, air matanya mulai mengalir, tak tertahankan. "Bagaimana mungkin dia sampai sekejam ini? Seolah aku adalah musuhnya.” Lila mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri, tetapi dia merasakan beban yang begitu berat. "Mungkin aku mengecewakannya, tapi perpisahan yang terjadi pada kami akhirnya menyatukan dia dengan perempuan yang dia cintai. Harusnya Sean berterima kasih kepadaku." Bayangan kebersamaan Sean dan Miranda melintas di benaknya. Jika saat ini dia sedang menyongsong hidup baru bersama peremp
“Aku sedang hamil, masa iddahku sampai aku melahirkan, jadi kita baru bisa menikah setelah aku melahirkan akan ini.” Ryan terdiam, ekspresi wajahnya yang semula penuh harapan perlahan berubah menjadi kecewa. Dia melepaskan genggaman tangan Lila dengan perlahan, menarik napas panjang seakan mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. "Lila," suaranya lebih rendah dari sebelumnya, "Aku mengerti kamu butuh waktu, tapi menunggu sampai setelah kamu melahirkan? Itu terlalu lama." Matanya menatap Lila dengan intens, ada ketidakpastian yang mulai muncul di balik kesabarannya. "Aku tidak bisa menunggu selama itu. Apalagi jika alasanmu adalah masa iddah." Lila menggeleng pelan, berusaha menjelaskan. "Ryan, aku harus menghormati proses ini. Ini bukan hanya tentang waktu, tapi tentang penghormatan terhadap diriku sendiri. Aku baru saja bercerai, dan aku perlu waktu untuk menata kembali hidupku. Masa iddah bukan hanya sebuah kewajiban, tapi juga sebuah kesempatan bagiku untuk
Sean berdiri di depan cermin besar, menatap bayangan dirinya yang tengah mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya.Di sampingnya, Miranda sedang memutar-mutar di depan cermin lain, tersenyum lebar sambil mengecek gaun pertunangannya yang elegan. Dengan antusias Miranda membenarkan ujung gaunnya yang panjang, lalu berbalik menghadap Sean."Bagaimana menurutmu, Sayang?" tanya Miranda dengan wajah ceria, sambil berputar memperlihatkan seluruh penampilannya. "Aku suka banget sama potongannya, pas banget di pinggang!"Sean tersenyum bangga karena sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dia cintai."Kamu cantik sekali, Mira," jawab Sean dengan tatap mata memuja, sejak dahulu kecantikan Miranda terlihat sempurna di matanya.Mata Sean menelusuri gaun putih itu. Mungkin terlihat sangat berlebihan untuk acara pertunangan, tetapi memandang kesempurnaan di depan matanya membuat Sean larut dalam kebahagiaan yang ditawarkan oleh Miranda.Miranda melangkah mendekatinya, menggenggam
Setelah lamaran mendadak, hubungan antara Lila dan Ryan justru semakin terasa renggan. Lila sengaja menjaga jarak. Dia merasa ada beban yang menekan pikirannya setiap kali memikirkan lamaran itu.Di kantor, suasana menjadi canggung. Lila dan Ryan hampir tidak pernah berinteraksi secara pribadi, dan percakapan di antara mereka lebih banyak berisi hal-hal profesional. Lila merasa terikat dengan nasihat ayahnya, yang selalu mengingatkan agar ia tidak melanggar masa iddah.Keputusan yang diambil Lila bukan soal agama saja, tapi juga soal harga diri dan prinsip yang ia pegang teguh. Namun, Ryan tampaknya tidak mengerti seberapa penting hal itu bagi Lila.Saat makan siang bersama Rina di sebuah kafe kecil dekat kantor, Lila akhirnya membongkar apa yang selama ini mengganggu pikirannya."Dia melamarku," ucap Lila perlahan, sambil memainkan sedotan di dalam jus lemonnya.Rina terdiam sejenak, terkejut dengan pengakuan itu. “Pak Ryan? Serius?”Lila mengangguk. “Ya, dan aku merasa semakin tidak
Di sisa waktu istirahat, Lila menatap layar laptop yang menampilkan video konten yang diunggahnya beberapa jam yang lalu. Dengan konten tersebut Lila ingin mengalihkan pikirnanya dari lamaran mendadak Ryan beberapa hari lalu.Saat Lila sedang fokus pada konten yang baru saja dirilis, tiba-tiba salah seorang rekan kerjanya menghampiri meja Lila dengan senyum di wajahnya. Dia adalah Nadya, salah satu yrekan kerja yang sudah lebih dahulu menjadi konten creator."Lila, aku baru nonton konten yang kamu buat," ujar Nadya dengan nada ramah.Lila menoleh dan tersenyum, berharap mendapat masukan dari sosok yang dia anggap lebih senior. "Oh ya? Bagaimana menurutmu?""Kontennya bagus banget, Lila. Kamu sangat menginspirasi, terutama untuk kelas ekonomi menengah. Aku suka cara kamu menyampaikan pentingnya bangkit dan bagaimana kita harus tetap optimis, walaupun keadaan tidak selalu mudah," puji Nadya sambil duduk di kursi di depan Lila.Lila menghela napas lega, merasa senang mendapat respon posi
Lila masih tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat saat matanya menelusuri layar laptop yang diputar Ryan ke arahnya. Berita yang terpampang di sana membuat darahnya seolah berhenti mengalir."Persiapan Pertunangan Megah Sean Wismoyojati dan Miranda Manuella" begitu judul headline yang tertulis dengan jelas. Di bawahnya, berbagai foto memperlihatkan Sean dan Miranda yang sedang melakukan fitting pakaian, berbicara dengan vendor, dan tersenyum bahagia.Berbagai vendor ternama seolah memanfaatkan momentum pertunangan mereka sebagai kesempatan besar untuk promosi, dan berita ini langsung menjadi pembicaraan hangat di berbagai media online."Ini baru muncul beberapa jam yang lalu," ucap Ryan dengan nada datar, matanya terus mengamati reaksi Lila. "Dan sudah viral di mana-mana. Semua orang membicarakan mereka."Lila merasa jantungnya seakan diremas-remas. Berita ini seakan menjadi pengingat pedih akan masa lalunya dengan Sean. Dia melihat Sean tersenyum lebar saat bersama Miranda, sement
Setelah Lila berlalu dari ruangan Ryan, kasak-kusuk mulai terdengar di antara rekan-rekan kerjanya. Beberapa orang berbisik-bisik di dekat meja mereka, saling bertukar pandang penuh tanya. Sikap tegas dan tenang yang baru saja mereka saksikan dari Lila mampu memutarbalikkan persepsi mereka. Selama ini, banyak dari mereka yang punya asumsi sendiri tentang Lila, gosip yang beredar tanpa dasar kuat. Hanya kira-kira berdasar logika masing-masing, tanpa berusaha untuk melakukan verifikasi terhadap yang bersangkutan. “Lila menolak lamaran Pak Ryan?” tanya salah satu rekan Lila sambil menggelengkan kepala seolah tidak percaya. “Mau cari lelaki yang seperti apa dia?” “Aku kira anak yang dikandung Lila anak Pak Ryan, ternyata bukan?” tanya rekan lainya yang selama ini sering memandang rendah kepada Lila. “Aku sempat menduga jika Lila hanya ingin memanfaatkan Pak Ryan yang sepertinya sangat tertarik kepadanya. Karena bapak anaknya tidak mau tanggung jawab,” celetuk rekan kerja yang lain, ya
Pagi itu, Sean tampak lebih tenang. Tetapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah justru bertingkah seperti anak kecil yang manja di hadapan Lila.Berdiri saling berhadapan, Sean menatap istrinya dengan senyum jahil. Pandangannya tidak pernah absen dari wajah Lila yang sibuk merapikan kemejanya.“Sean, jangan bergerak,” tegur Lila sambil berusaha memasang dasi suaminya. Namun, Sean malah menyelipkan kedua tangannya di pinggang Lila, menariknya mendekat dengan gaya bercanda.“Sean! Apa yang kau lakukan?” Lila mengerutkan dahi, mencoba menjaga fokusnya. Namun, Sean hanya terkekeh, wajahnya tampak puas.“Aku hanya ingin memeluk istriku. Salahkah aku?” goda Sean, matanya berbinar. Lila mendesah keras, mencoba melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.Saat Lila berhasil melonggarkan dasi yang terlipat, Sean tiba-tiba mencoba mencuri ciuman. Lila mendelik, lalu dengan refleks memukul dada Sean.“Sean! Jangan seperti ini, kau sudah terlambat!
Lila mendengus kasar, mengembuskan napas berat seperti mencoba menyingkirkan emosi yang menggelayut. Sorot matanya yang tajam kini meredup, menyisakan lelah yang tak tertahankan. Ia menatap Sean sekilas, namun dengan cepat memutus kontak mata.Tak ada gunanya, pikir Lila. pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa arah hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan. Pembicaraan mereka malam ini sepertinya tidak akan mencapai titik temu dengan mudah, akhirnya Lila memutuskan untuk mengabaikan Sean dan mengistirahatkan tubuhnya.Dengan sedikit kepayahan, Lila menggeser tubuhnya. Tangannya meraih selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang, lalu menariknya hingga menutupi tubuh. Ia membelakangi Sean, mengisyaratkan akhir dari percakapan“Lil!” Sean memanggil, suaranya menggema dalam kamar yang sunyi.Meskipun belum tidur, tetapi Lila tidak menyahut panggilan Sean. Napasnya terdengar berat, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluarEntah mengapa tiba-tiba Lila merasa ada gejolak amarah.
Lila menatap Sean dengan sorot mata yang penuh tanya, tetapi juga lelah. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, membawanya pada labirin yang penuh dengan misteri keluarga Sean."Kenapa kau menanyakan itu padaku? Aku hanya menantu, Sean. Aku bahkan tidak tahu banyak tentang masa lalu keluargamu. Itu urusan kalian. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam."Sean menggeleng pelan. "Karena mama membutuhkan dirimu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.”Lila mengusap perutnya yang mulai membuncit. Gerakannya lembut, seperti sedang melindungi sesuatu yang paling berharga di dunia. Sean menyusul, meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Sentuhan itu hangat, tapi juga penuh dengan kekhawatiran.Bayi kecil mereka, yang bahkan belum sempat melihat dunia, sudah harus terlibat dalam pusaran ambisi dan perebutan harta.Pikiran Lila berputar pada Mahendra Securitas, perusahaan yang dulu ia kenal dengan baik. Sebagai mantan karyawan, ia tahu betul betapa besar nilai as
Selo Ardi menatap Sean dengan alis terangkat, senyum tipis menghiasi wajahnya.“Biro jasaku tidak menyediakan sekretaris. Adanya tukang pukul,” ujar Selo Ardi sembari tertawa kecil. Tetapi, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak bisa dia sembunyikan.Sean menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sangat serius. "Saya tahu itu, tapi aku tidak butuh seorang sekretaris secara spesifik. Tapi lebih kepada orang yang bisa mengawasi gerak-gerik sekretarisku saat ini.”Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tak lepas dari Sean. “Ada apa dengan sekretarismu? Jangan bilang dia mencoba mengambil alih perusahaanmu?” candanya, meski nada suaranya mengandung keseriusan.Sean menggeleng pelan. “Tidak sejauh itu. Tapi ...”Sean menggantungkan kalimatnya, menatap jauh ke jendela ruangan. “Entah ini kecurigaan atau hanya kecemburuan. Lila, istriku, merasa sekretarisku sedang mencoba menjebakku dalam sebuah skandal.”Selo menyipitkan mata, mencoba membaca situasi. “Skandal seperti apa?”S
Di hari biasa, Bi Siti akan langsung mengarahkan Vicky untuk langsung menuju ke ruang gym, tetapi kali ini karena Lila tidak berpesan apa pun, Vicky harus menunggu di ruang tamu. Vicky langsung berdiri saat melihat Lila memasuki ruang tamu dengan Sean yang mengekor di belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, bertemu Sean adalah niat utama Vicky mendatangi rumah tersebut, setelah mendapat informasi jika Sean tidak bekerja akhir pekan ini. “Hai Vicky!” Lila berusaha tetap ramah, meskipun kedatangan Vicky yang tiba-tiba sangat mengganggunya. “Apa ada masalah?” Sebenarnya Lila hendak duduk, tetapi tangan Sean tiba-tiba melingkar di pinggangnya seolah tidak mengizinkannya duduk. Karena Lila dan Sean yang tetap berdiri, bahkan tidak ada tanda jika dirinya akan dipersilahkan duduk, Vicky pun langsung mengungkap maksud kedatangannya. “Karena jadwal senam yang kemarin tertunda, jadi saya bermaksud untuk menggantinya hari ini,” ucap Vicky dengan seulas senyum di bibirnya. Vicky berusaha untuk
Akhirnya Sean bisa bernapas lega, semua pekerjaan dan urusan yang menumpuk berhasil diselesaikan. Sehingga di akhir pekan ini dia bisa menghabiskan waktu bersama Lila.Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menikmati momen tenang sambil menyiapkan kamar putra pertama mereka yang sebentar lagi akan lahir.Kamar bayi mereka terlihat rapi dengan nuansa biru yang lembut. Dindingnya dihiasi mural bertema luar angkasa, gambar planet-planet yang berwarna pastel, bintang-bintang kecil yang bersinar lembut, dan sebuah roket mungil yang tampak terbang menuju galaksi jauh.Langit-langitnya dicat dengan warna biru gelap, dihiasi bintang-bintang fosfor yang akan bersinar dalam gelap, memberikan kesan magis saat malam tiba.Sean tersenyum puas saat menata tempat tidur bayi berbentuk bulat yang sudah dikelilingi oleh pelindung lembut bergambar awan. Di sudut kamar, ada rak kecil yang sudah diisi buku-buku cerita bertema angkasa, mainan edukatif, dan boneka berbentuk astronaut.“Bagaimana, ka
Hari masih pagi, tetapi energi Sean rasanya sudah hampir terkuras habis. Sean tidak bisa membiarkan sang mama berbuat semena-mena terhadap orang lain, tetapi dia pun tidak mungkin mengabaikan luka hatinya. Sebagai seorang anak, ingin rasanya Sean bisa menjadi penengah yang akan menjembatani perdamaian kedua orang tuanya. Dia ingin papa dan mamanya menikmati masa tua dengan bahagia, meski tidak harus bersama. Kesibukannya pagi ini membuat Sean terpaksa terlambat tiba di kantornya. Sean melangkah cepat melewati meja resepsionis hingga tiba di ruang sekretaris pribadinya. Sekilas dia melirik Bella yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Tanpa memperlambat langkah, Sean memberi isyarat dengan tangan dan berkata singkat, "Bella, ke ruangan saya sekarang!" Bella mendongak, matanya berbinar. Ada senyum kecil yang terlukis di wajahnya, seolah-olah perintah Sean adalah penghargaan yang menegaskan posisinya. Betapa Sean sangat membutuhkan dan bergantung kepadanya. Bella seger
Sekar menatap Sean dengan sorot mata yang penuh luka dan kemarahan. Wajahnya yang cantik kini memucat, garis-garis usia tampak jelas ketika dia mencoba menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Amarah yang selama ini dia pendam, akhirnya meledak juga. “Mama sudah banyak mengalah. Mama tidak memenjarakan papamu dan gundiknya. Mama tetap membiarkan papamu hidup sejahtera dari perusahaan yang modalnya dari uang mama. Kurang mengalah apa lagi, Sean?” Suara Sekar bergetar, tidak bisa menutupi rasa sakit yang mengendap bertahun-tahun di dalam dirinya. Sepertinya Sekar sudah tidak bisa menahan lagi amarah yang sudah lama dia pendam selama ini. Tidak mudah baginya untuk melupakan perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami yang sangat dia cintai. Dari bukan siapa-siapa, dia angkat derajatnya, tetapi setelah di atas, Andika justru meninggalkannya demi perempuan lain. “Papamu sudah merampas semua milik mama,” tambahnya dengan suara parau, mencoba menekan emosi. Sean menarik napas panj
Sean menatap Rangga dengan sorot mata tegas, namun tetap hangat. Di antara mereka, udara terasa berat oleh kebimbangan yang tergambar jelas di wajah Rangga. Sean menghela napas dalam-dalam. “Kamu fokus saja pada kesehatanmu. Masalah biaya pernikahan biar aku yang urus,” ucap Sean terdengar penuh ketulusan Rangga menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Tapi itu banyak banget, Mas. Belum lagi biaya ….” Sean tersenyum tipis, mencoba meredakan keresahan adiknya. “Selamat mewujudkan pernikahan impian untuk Nadya. Urusan ini biar jadi tanggung jawabku.” Tetapi, Rangga berusaha bertahan dengan keputusannya. “Aku bisa mencicil. Potong saja gajiku setiap bulan sampai lunas. Aku sudah menerima banyak dari Ibu dan Mas Sean. Untuk hal-hal yang sangat mendesak aku bisa terima, tapi untuk pesta pernikahan … sepertinya terlalu berlebihan.” Sean terdiam sejenak, pikirannya melayang pada sang mama, yang selalu menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan kendali. Kala itu Sekar me