Lila masih tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat saat matanya menelusuri layar laptop yang diputar Ryan ke arahnya. Berita yang terpampang di sana membuat darahnya seolah berhenti mengalir."Persiapan Pertunangan Megah Sean Wismoyojati dan Miranda Manuella" begitu judul headline yang tertulis dengan jelas. Di bawahnya, berbagai foto memperlihatkan Sean dan Miranda yang sedang melakukan fitting pakaian, berbicara dengan vendor, dan tersenyum bahagia.Berbagai vendor ternama seolah memanfaatkan momentum pertunangan mereka sebagai kesempatan besar untuk promosi, dan berita ini langsung menjadi pembicaraan hangat di berbagai media online."Ini baru muncul beberapa jam yang lalu," ucap Ryan dengan nada datar, matanya terus mengamati reaksi Lila. "Dan sudah viral di mana-mana. Semua orang membicarakan mereka."Lila merasa jantungnya seakan diremas-remas. Berita ini seakan menjadi pengingat pedih akan masa lalunya dengan Sean. Dia melihat Sean tersenyum lebar saat bersama Miranda, sement
Setelah Lila berlalu dari ruangan Ryan, kasak-kusuk mulai terdengar di antara rekan-rekan kerjanya. Beberapa orang berbisik-bisik di dekat meja mereka, saling bertukar pandang penuh tanya. Sikap tegas dan tenang yang baru saja mereka saksikan dari Lila mampu memutarbalikkan persepsi mereka. Selama ini, banyak dari mereka yang punya asumsi sendiri tentang Lila, gosip yang beredar tanpa dasar kuat. Hanya kira-kira berdasar logika masing-masing, tanpa berusaha untuk melakukan verifikasi terhadap yang bersangkutan. “Lila menolak lamaran Pak Ryan?” tanya salah satu rekan Lila sambil menggelengkan kepala seolah tidak percaya. “Mau cari lelaki yang seperti apa dia?” “Aku kira anak yang dikandung Lila anak Pak Ryan, ternyata bukan?” tanya rekan lainya yang selama ini sering memandang rendah kepada Lila. “Aku sempat menduga jika Lila hanya ingin memanfaatkan Pak Ryan yang sepertinya sangat tertarik kepadanya. Karena bapak anaknya tidak mau tanggung jawab,” celetuk rekan kerja yang lain, ya
Ryan berjalan cepat menuju kubikel Lila. Begitu tiba, dia melihat Lila sedang merapikan meja kerjanya, tampak tenang dan tanpa beban. Sebuah amplop tergeletak di sudut meja, dan Ryan langsung tahu apa itu. "Lila, tunggu!" Ryan berseru dengan nada mendesak, mendekati kubikel Lila. "Apa maksud semua ini? Kamu tidak bisa menyerahkan surat pengunduran diri begitu saja." Ryan menahan napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. "Lila, dengar … bagiku kamu adalah aset berharga untuk perusahaan ini. Kami tidak bisa kehilangan seseorang sepertimu. Aku ... aku bersedia menaikkan gajimu, berapapun yang kamu minta. Tapi, tolong … jangan jangan tinggalkan perusahaan ini!" Lila berusaha tetap tenang menghadapi Ryan, tekadnya sudah bulat dia harus meninggalkan Mahendra Securitas, dan juga kota ini. Lila tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh arti. "Ini bukan soal gaji, Ryan. Aku tahu perusahaan menghargai pekerjaanku, dan aku sudah memberi yang terbaik. Tapi aku tidak bisa terus berada di sini d
Lila menganggukkan kepala lemah, akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan di Mahendra Securitas. Keputusan itu membuat Ryan menghela napas lega. Wajahnya tampak penuh kelegaan dan kepuasan, meski dia berusaha menyembunyikannya di balik ekspresi profesionalnya. Namun, saat Ryan perlahan meninggalkan kubikel Lila, tak bisa dipungkiri ada secercah harapan di matanya. Dalam hatinya, dia bertekad akan mencari cara lain untuk meyakinkan Lila agar bersedia menerima lamarannya suatu saat nanti. Begitu Ryan berlalu, dua sahabat Lila, Rina dan Nadya, langsung menghambur menghampiri. Rina menarik Lila dalam pelukan erat, penuh kehangatan dan kelegaan yang tulus. "Syukurlah kamu nggak jadi pergi, La! Aku nggak bisa ngebayangin harus kerja tanpa kamu di sini." Lila tersenyum, meski hatinya masih terasa campur aduk. Ketakutan akan ancaman Andika dan juga kemungkinan bertemu dengan Sean atau Sekar di mana saja, tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tetapi untuk saat ini, dia merasa masih membutuhka
Setelah beberapa saat, Ryan duduk di samping ranjang ibunya yang terbaring lemah, wajah Risda tampak tenang dalam tidur yang disebabkan oleh obat penenang yang diberikan dokter. Wajahnya yang pucat dan garis-garis ketakutan di raut wajahnya membuat Ryan merasa pilu. Ia menggenggam tangan sang mama, menyesali apa yang baru saja terjadi, menyadari bahwa perdebatan mereka telah membuat keadaan sang mama kembali memburuk. Dokter yang memeriksa kondisi Risda baru saja meninggalkan ruangan, tetapi kata-katanya masih terngiang di kepala Ryan. “Bu Risda memerlukan ketenangan dan jauh dari segala bentuk tekanan. Kondisinya sangat rentan, dan kejadian-kejadian seperti ini dapat memicu kembali trauma masa lalunya. Saya sarankan agar beliau tidak terlalu sering terlibat dalam konflik atau hal-hal yang bisa membuatnya tertekan.” Ryan hanya mampu menunduk, menyesali tindakannya yang tidak bisa dia tarik kembali. Tatapannya jatuh ke wajah sang ibu, yang terlihat damai, tetapi di balik itu dia ta
Sekar meletakkan tas belanjanya di kursi restoran, duduk berhadapan dengan Miranda yang tampak sibuk dengan ponselnya. Sejak tadi sore, mereka berkeliling butik, memilih pakaian untuk acara pertunangan Miranda dan Sean. Sekar sebenarnya merasa lelah, namun ada kebahagiaan tersendiri melihat calon menantu barunya. Miranda cantik, berkelas, dan penuh percaya diri, sesuatu yang ia rasa cocok mendampingi putranya. Namun, saat Sekar memandang ke luar restoran, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok yang tak asing. Di antara deretan rak supermarket di seberang restoran, ia melihat Lila. Putih pucat wajah Lila begitu kontras dengan cardigan panjang yang menutupi tubuhnya, namun Sekar tak bisa mengabaikan satu hal, perut Lila tampak membesar, memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Hatinya bergetar, campuran antara keterkejutan dan rasa tak percaya. Lila, mantan menantu yang pernah dia hina mandul, ternyata kini sedang mengandung. Siapa ayah dari bayi itu? Tangan Sekar menggenggam erat tas di p
Miranda melangkah ringan ke kantor Sean, senyum menggoda tak lepas dari bibirnya. Model cantik itu berharap bisa mencuri sedikit momen hangat di sela kesibukan Sean. Namun, begitu masuk, Miranda mendapati Sean tenggelam di balik tumpukan dokumen, sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya.“Hai Sayang.” Miranda melangkah dengan anggun mendekat mencoba menarik perhatian Sean.Sean tersenyum sekilas, lalu kembali fokus ke berkas-berkas di depannya. Miranda cemberut, merasa kesal dengan sikap dingin itu. Dia melangkah semakin mendekat, berencana duduk di pangkuan Sean untuk bisa sejenak bermesraan. Tapi sebelum sempat dia duduk, pintu ruangan terbuka.Bella, sekretaris Sean, masuk dengan ekspresi tenang namun tidak bisa menyembunyikan sedikit keterkejutan melihat Miranda di sana.“Maaf, Pak, ini laporan yang Anda minta,” ucap Bella sembari menyodorkan map.Miranda terpaksa mundur beberapa langkah, wajahnya berubah kaku. Senyum Bella tetap sopan namun ada kilatan yang sulit dimengerti di
Nadya melangkah cepat menuju kubikel Lila. Wajahnya berbinar penuh kegembiraan, dan begitu sampai, dia menunjukkan ponselnya pada sahabatnya itu. “Lihat ini, Lila! Lila tersenyum lebar, ikut antusias melihat layar ponsel Nadya. “Wow! Padahal baru tadi pagi aku publish.” Lila masih membeliakkan matanya seolah tidak percaya dengan pencapaian postingan terbarunya. “Bisa langsung monetise nih, tawaran podcast bakalan ngalir. Rejeki baby nih sepertinya.” Meski dia lebih dahulu terjun menjadi konten kreator, tetapi saat pencapaian Lila lebih baik, tidak terlihat rasa iri pada dirinya. Lila tersenyum lebar, matanya berbinar saat melihat jumlah likes dan komentar yang terus bertambah di layar ponsel Nadya. Sebuah pencapain yang sangat mengembirakan, kontennya akhirnya mulai mendapatkan perhatian yang besar. Lila ingin merayakan kebahagiaan ini bersama sahabat-sahabatnya yang selalu mendukungnya sejak awal, Rina dan Nadya. “Gimana kalau kita makan siang di luar?” ucap Lila penuh antusias
Pagi itu, Sean tampak lebih tenang. Tetapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah justru bertingkah seperti anak kecil yang manja di hadapan Lila.Berdiri saling berhadapan, Sean menatap istrinya dengan senyum jahil. Pandangannya tidak pernah absen dari wajah Lila yang sibuk merapikan kemejanya.“Sean, jangan bergerak,” tegur Lila sambil berusaha memasang dasi suaminya. Namun, Sean malah menyelipkan kedua tangannya di pinggang Lila, menariknya mendekat dengan gaya bercanda.“Sean! Apa yang kau lakukan?” Lila mengerutkan dahi, mencoba menjaga fokusnya. Namun, Sean hanya terkekeh, wajahnya tampak puas.“Aku hanya ingin memeluk istriku. Salahkah aku?” goda Sean, matanya berbinar. Lila mendesah keras, mencoba melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.Saat Lila berhasil melonggarkan dasi yang terlipat, Sean tiba-tiba mencoba mencuri ciuman. Lila mendelik, lalu dengan refleks memukul dada Sean.“Sean! Jangan seperti ini, kau sudah terlambat!
Lila mendengus kasar, mengembuskan napas berat seperti mencoba menyingkirkan emosi yang menggelayut. Sorot matanya yang tajam kini meredup, menyisakan lelah yang tak tertahankan. Ia menatap Sean sekilas, namun dengan cepat memutus kontak mata.Tak ada gunanya, pikir Lila. pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa arah hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan. Pembicaraan mereka malam ini sepertinya tidak akan mencapai titik temu dengan mudah, akhirnya Lila memutuskan untuk mengabaikan Sean dan mengistirahatkan tubuhnya.Dengan sedikit kepayahan, Lila menggeser tubuhnya. Tangannya meraih selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang, lalu menariknya hingga menutupi tubuh. Ia membelakangi Sean, mengisyaratkan akhir dari percakapan“Lil!” Sean memanggil, suaranya menggema dalam kamar yang sunyi.Meskipun belum tidur, tetapi Lila tidak menyahut panggilan Sean. Napasnya terdengar berat, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluarEntah mengapa tiba-tiba Lila merasa ada gejolak amarah.
Lila menatap Sean dengan sorot mata yang penuh tanya, tetapi juga lelah. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, membawanya pada labirin yang penuh dengan misteri keluarga Sean."Kenapa kau menanyakan itu padaku? Aku hanya menantu, Sean. Aku bahkan tidak tahu banyak tentang masa lalu keluargamu. Itu urusan kalian. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam."Sean menggeleng pelan. "Karena mama membutuhkan dirimu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.”Lila mengusap perutnya yang mulai membuncit. Gerakannya lembut, seperti sedang melindungi sesuatu yang paling berharga di dunia. Sean menyusul, meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Sentuhan itu hangat, tapi juga penuh dengan kekhawatiran.Bayi kecil mereka, yang bahkan belum sempat melihat dunia, sudah harus terlibat dalam pusaran ambisi dan perebutan harta.Pikiran Lila berputar pada Mahendra Securitas, perusahaan yang dulu ia kenal dengan baik. Sebagai mantan karyawan, ia tahu betul betapa besar nilai as
Selo Ardi menatap Sean dengan alis terangkat, senyum tipis menghiasi wajahnya.“Biro jasaku tidak menyediakan sekretaris. Adanya tukang pukul,” ujar Selo Ardi sembari tertawa kecil. Tetapi, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak bisa dia sembunyikan.Sean menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sangat serius. "Saya tahu itu, tapi aku tidak butuh seorang sekretaris secara spesifik. Tapi lebih kepada orang yang bisa mengawasi gerak-gerik sekretarisku saat ini.”Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tak lepas dari Sean. “Ada apa dengan sekretarismu? Jangan bilang dia mencoba mengambil alih perusahaanmu?” candanya, meski nada suaranya mengandung keseriusan.Sean menggeleng pelan. “Tidak sejauh itu. Tapi ...”Sean menggantungkan kalimatnya, menatap jauh ke jendela ruangan. “Entah ini kecurigaan atau hanya kecemburuan. Lila, istriku, merasa sekretarisku sedang mencoba menjebakku dalam sebuah skandal.”Selo menyipitkan mata, mencoba membaca situasi. “Skandal seperti apa?”S
Di hari biasa, Bi Siti akan langsung mengarahkan Vicky untuk langsung menuju ke ruang gym, tetapi kali ini karena Lila tidak berpesan apa pun, Vicky harus menunggu di ruang tamu. Vicky langsung berdiri saat melihat Lila memasuki ruang tamu dengan Sean yang mengekor di belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, bertemu Sean adalah niat utama Vicky mendatangi rumah tersebut, setelah mendapat informasi jika Sean tidak bekerja akhir pekan ini. “Hai Vicky!” Lila berusaha tetap ramah, meskipun kedatangan Vicky yang tiba-tiba sangat mengganggunya. “Apa ada masalah?” Sebenarnya Lila hendak duduk, tetapi tangan Sean tiba-tiba melingkar di pinggangnya seolah tidak mengizinkannya duduk. Karena Lila dan Sean yang tetap berdiri, bahkan tidak ada tanda jika dirinya akan dipersilahkan duduk, Vicky pun langsung mengungkap maksud kedatangannya. “Karena jadwal senam yang kemarin tertunda, jadi saya bermaksud untuk menggantinya hari ini,” ucap Vicky dengan seulas senyum di bibirnya. Vicky berusaha untuk
Akhirnya Sean bisa bernapas lega, semua pekerjaan dan urusan yang menumpuk berhasil diselesaikan. Sehingga di akhir pekan ini dia bisa menghabiskan waktu bersama Lila.Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menikmati momen tenang sambil menyiapkan kamar putra pertama mereka yang sebentar lagi akan lahir.Kamar bayi mereka terlihat rapi dengan nuansa biru yang lembut. Dindingnya dihiasi mural bertema luar angkasa, gambar planet-planet yang berwarna pastel, bintang-bintang kecil yang bersinar lembut, dan sebuah roket mungil yang tampak terbang menuju galaksi jauh.Langit-langitnya dicat dengan warna biru gelap, dihiasi bintang-bintang fosfor yang akan bersinar dalam gelap, memberikan kesan magis saat malam tiba.Sean tersenyum puas saat menata tempat tidur bayi berbentuk bulat yang sudah dikelilingi oleh pelindung lembut bergambar awan. Di sudut kamar, ada rak kecil yang sudah diisi buku-buku cerita bertema angkasa, mainan edukatif, dan boneka berbentuk astronaut.“Bagaimana, ka
Hari masih pagi, tetapi energi Sean rasanya sudah hampir terkuras habis. Sean tidak bisa membiarkan sang mama berbuat semena-mena terhadap orang lain, tetapi dia pun tidak mungkin mengabaikan luka hatinya. Sebagai seorang anak, ingin rasanya Sean bisa menjadi penengah yang akan menjembatani perdamaian kedua orang tuanya. Dia ingin papa dan mamanya menikmati masa tua dengan bahagia, meski tidak harus bersama. Kesibukannya pagi ini membuat Sean terpaksa terlambat tiba di kantornya. Sean melangkah cepat melewati meja resepsionis hingga tiba di ruang sekretaris pribadinya. Sekilas dia melirik Bella yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Tanpa memperlambat langkah, Sean memberi isyarat dengan tangan dan berkata singkat, "Bella, ke ruangan saya sekarang!" Bella mendongak, matanya berbinar. Ada senyum kecil yang terlukis di wajahnya, seolah-olah perintah Sean adalah penghargaan yang menegaskan posisinya. Betapa Sean sangat membutuhkan dan bergantung kepadanya. Bella seger
Sekar menatap Sean dengan sorot mata yang penuh luka dan kemarahan. Wajahnya yang cantik kini memucat, garis-garis usia tampak jelas ketika dia mencoba menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Amarah yang selama ini dia pendam, akhirnya meledak juga. “Mama sudah banyak mengalah. Mama tidak memenjarakan papamu dan gundiknya. Mama tetap membiarkan papamu hidup sejahtera dari perusahaan yang modalnya dari uang mama. Kurang mengalah apa lagi, Sean?” Suara Sekar bergetar, tidak bisa menutupi rasa sakit yang mengendap bertahun-tahun di dalam dirinya. Sepertinya Sekar sudah tidak bisa menahan lagi amarah yang sudah lama dia pendam selama ini. Tidak mudah baginya untuk melupakan perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami yang sangat dia cintai. Dari bukan siapa-siapa, dia angkat derajatnya, tetapi setelah di atas, Andika justru meninggalkannya demi perempuan lain. “Papamu sudah merampas semua milik mama,” tambahnya dengan suara parau, mencoba menekan emosi. Sean menarik napas panj
Sean menatap Rangga dengan sorot mata tegas, namun tetap hangat. Di antara mereka, udara terasa berat oleh kebimbangan yang tergambar jelas di wajah Rangga. Sean menghela napas dalam-dalam. “Kamu fokus saja pada kesehatanmu. Masalah biaya pernikahan biar aku yang urus,” ucap Sean terdengar penuh ketulusan Rangga menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Tapi itu banyak banget, Mas. Belum lagi biaya ….” Sean tersenyum tipis, mencoba meredakan keresahan adiknya. “Selamat mewujudkan pernikahan impian untuk Nadya. Urusan ini biar jadi tanggung jawabku.” Tetapi, Rangga berusaha bertahan dengan keputusannya. “Aku bisa mencicil. Potong saja gajiku setiap bulan sampai lunas. Aku sudah menerima banyak dari Ibu dan Mas Sean. Untuk hal-hal yang sangat mendesak aku bisa terima, tapi untuk pesta pernikahan … sepertinya terlalu berlebihan.” Sean terdiam sejenak, pikirannya melayang pada sang mama, yang selalu menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan kendali. Kala itu Sekar me