Lila menganggukkan kepala lemah, akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan di Mahendra Securitas. Keputusan itu membuat Ryan menghela napas lega. Wajahnya tampak penuh kelegaan dan kepuasan, meski dia berusaha menyembunyikannya di balik ekspresi profesionalnya. Namun, saat Ryan perlahan meninggalkan kubikel Lila, tak bisa dipungkiri ada secercah harapan di matanya. Dalam hatinya, dia bertekad akan mencari cara lain untuk meyakinkan Lila agar bersedia menerima lamarannya suatu saat nanti. Begitu Ryan berlalu, dua sahabat Lila, Rina dan Nadya, langsung menghambur menghampiri. Rina menarik Lila dalam pelukan erat, penuh kehangatan dan kelegaan yang tulus. "Syukurlah kamu nggak jadi pergi, La! Aku nggak bisa ngebayangin harus kerja tanpa kamu di sini." Lila tersenyum, meski hatinya masih terasa campur aduk. Ketakutan akan ancaman Andika dan juga kemungkinan bertemu dengan Sean atau Sekar di mana saja, tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tetapi untuk saat ini, dia merasa masih membutuhka
Setelah beberapa saat, Ryan duduk di samping ranjang ibunya yang terbaring lemah, wajah Risda tampak tenang dalam tidur yang disebabkan oleh obat penenang yang diberikan dokter. Wajahnya yang pucat dan garis-garis ketakutan di raut wajahnya membuat Ryan merasa pilu. Ia menggenggam tangan sang mama, menyesali apa yang baru saja terjadi, menyadari bahwa perdebatan mereka telah membuat keadaan sang mama kembali memburuk. Dokter yang memeriksa kondisi Risda baru saja meninggalkan ruangan, tetapi kata-katanya masih terngiang di kepala Ryan. “Bu Risda memerlukan ketenangan dan jauh dari segala bentuk tekanan. Kondisinya sangat rentan, dan kejadian-kejadian seperti ini dapat memicu kembali trauma masa lalunya. Saya sarankan agar beliau tidak terlalu sering terlibat dalam konflik atau hal-hal yang bisa membuatnya tertekan.” Ryan hanya mampu menunduk, menyesali tindakannya yang tidak bisa dia tarik kembali. Tatapannya jatuh ke wajah sang ibu, yang terlihat damai, tetapi di balik itu dia ta
Sekar meletakkan tas belanjanya di kursi restoran, duduk berhadapan dengan Miranda yang tampak sibuk dengan ponselnya. Sejak tadi sore, mereka berkeliling butik, memilih pakaian untuk acara pertunangan Miranda dan Sean. Sekar sebenarnya merasa lelah, namun ada kebahagiaan tersendiri melihat calon menantu barunya. Miranda cantik, berkelas, dan penuh percaya diri, sesuatu yang ia rasa cocok mendampingi putranya. Namun, saat Sekar memandang ke luar restoran, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok yang tak asing. Di antara deretan rak supermarket di seberang restoran, ia melihat Lila. Putih pucat wajah Lila begitu kontras dengan cardigan panjang yang menutupi tubuhnya, namun Sekar tak bisa mengabaikan satu hal, perut Lila tampak membesar, memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Hatinya bergetar, campuran antara keterkejutan dan rasa tak percaya. Lila, mantan menantu yang pernah dia hina mandul, ternyata kini sedang mengandung. Siapa ayah dari bayi itu? Tangan Sekar menggenggam erat tas di p
Miranda melangkah ringan ke kantor Sean, senyum menggoda tak lepas dari bibirnya. Model cantik itu berharap bisa mencuri sedikit momen hangat di sela kesibukan Sean. Namun, begitu masuk, Miranda mendapati Sean tenggelam di balik tumpukan dokumen, sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya.“Hai Sayang.” Miranda melangkah dengan anggun mendekat mencoba menarik perhatian Sean.Sean tersenyum sekilas, lalu kembali fokus ke berkas-berkas di depannya. Miranda cemberut, merasa kesal dengan sikap dingin itu. Dia melangkah semakin mendekat, berencana duduk di pangkuan Sean untuk bisa sejenak bermesraan. Tapi sebelum sempat dia duduk, pintu ruangan terbuka.Bella, sekretaris Sean, masuk dengan ekspresi tenang namun tidak bisa menyembunyikan sedikit keterkejutan melihat Miranda di sana.“Maaf, Pak, ini laporan yang Anda minta,” ucap Bella sembari menyodorkan map.Miranda terpaksa mundur beberapa langkah, wajahnya berubah kaku. Senyum Bella tetap sopan namun ada kilatan yang sulit dimengerti di
Nadya melangkah cepat menuju kubikel Lila. Wajahnya berbinar penuh kegembiraan, dan begitu sampai, dia menunjukkan ponselnya pada sahabatnya itu. “Lihat ini, Lila! Lila tersenyum lebar, ikut antusias melihat layar ponsel Nadya. “Wow! Padahal baru tadi pagi aku publish.” Lila masih membeliakkan matanya seolah tidak percaya dengan pencapaian postingan terbarunya. “Bisa langsung monetise nih, tawaran podcast bakalan ngalir. Rejeki baby nih sepertinya.” Meski dia lebih dahulu terjun menjadi konten kreator, tetapi saat pencapaian Lila lebih baik, tidak terlihat rasa iri pada dirinya. Lila tersenyum lebar, matanya berbinar saat melihat jumlah likes dan komentar yang terus bertambah di layar ponsel Nadya. Sebuah pencapain yang sangat mengembirakan, kontennya akhirnya mulai mendapatkan perhatian yang besar. Lila ingin merayakan kebahagiaan ini bersama sahabat-sahabatnya yang selalu mendukungnya sejak awal, Rina dan Nadya. “Gimana kalau kita makan siang di luar?” ucap Lila penuh antusias
“Syukurlah, dia naik ke atas." Rina merasa lega setelah melihat Sean melenggang meninggalkan Lila begitu saja menapaki tangga. “Apa yang kamu takutkan, dia sudah tidak melihat kita,” sambung Rina berusaha menenangkan Lila saat sahabatnya itu masih terlihat panik. Lila menggelengkan kepala, seolah menyangkal ucapan sahabatnya itu. “Menoleh ke kiri, lalu lihatlah ke atas!” ucap Lila pelan. Rina dan Nadya mengikuti perintah Lila. Ternyata Sean berdiri berpegang pada railing besi sambil memandang ke arah mereka, mungkin lebih tepatnya ke arah Lila. Walaupun Sean berada di lantai yang berbeda, Lila tahu Sean terus mengawasinya. Hal itu lah yang membuat Lila takut berdiri, karena sudah pasti Sean akan dengan mudah mengetahui perubahan dalam dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Rina dan Nadya juga merasakan ketegangan itu. Mereka saling menatap dan mengerti kekhawatiran yang melanda hati Lila. "Jangan tunjukkan ketakutanmu, kamu harus terlihat bahagia,” bisik Nadya berusaha menenang
Sean bergegas keluar restoran, langkahnya hampir seperti orang yang kesetanan, seolah terbakar keinginan untuk memastikan bahwa apa yang baru saja ia lihat bukanlah ilusi semata. Sampai-sampai dia lupa jika saat ini sedang melakukan pertemuan dengan klien. Di benak Sean hanya ada satu tujuan, Lila. Di balik blazer yang ia kenakan, ia yakin telah melihat sesuatu yang tak mungkin terlewatkan begitu saja, perut Lila yang tampak membesar. Begitu sampai di luar, tatapan Sean liar mencari sosoknya. Namun, Lila sudah duduk di dalam sebuah taksi online, wajahnya tak terlihat jelas dari kaca jendela. Mobil itu melaju perlahan, meninggalkan Sean berdiri sendirian di trotoar. Napas Sean tersengal-sengal, dadanya bergemuruh oleh perasaan yang campur aduk. Ketakutan, marah, dan penasaran saling berlomba menguasai dirinya. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal di samping tubuh. Ada dorongan yang luar biasa untuk mengejar taksi itu, tapi langkahnya seolah tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Setibanya di kantor, Lila menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya. Rasa lega merayap saat menyadari Sean tidak mengikutinya. Untuk mengusir kegelisahan yang terus menghantui, Lila segera membuka laptop dan melanjutkan pekerjaannya. Tak lama kemudian, Rina dan Nadya mendekatinya. Rina duduk di sisi kanan, menatap Lila dengan cemas. “Kamu baik-baik saja, Lil?” tanyanya lembut. Lila mengangguk, mencoba tersenyum. “Ya, aku baik-baik aja. Cuma … ketemu dia lagi rasanya …” Nadya menepuk bahu Lila, memberi dukungan. “Lupakan, Lil. Kamu sudah melangkah jauh. Sekarang, fokus aja sama masa depanmu dan calon bayimu.” Lila mengangguk lemah, seolah sepakat dengan dengan ucapan sahabatnya itu. Tidak ada maksud untuk menyembunyikan anaknya dari Sean, tetapi Lila hanya tidak ingin merasakan sakit hati yang lebih dalam saat mengetahui Sean tidak menerima kehadiran anaknya, atau bahkan memintanya untuk menggugurkan kandungan. Meskipun Sean tidak pernah mengatakan apa pun tenta
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P