Setelah Lila berlalu dari ruangan Ryan, kasak-kusuk mulai terdengar di antara rekan-rekan kerjanya. Beberapa orang berbisik-bisik di dekat meja mereka, saling bertukar pandang penuh tanya. Sikap tegas dan tenang yang baru saja mereka saksikan dari Lila mampu memutarbalikkan persepsi mereka. Selama ini, banyak dari mereka yang punya asumsi sendiri tentang Lila, gosip yang beredar tanpa dasar kuat. Hanya kira-kira berdasar logika masing-masing, tanpa berusaha untuk melakukan verifikasi terhadap yang bersangkutan. “Lila menolak lamaran Pak Ryan?” tanya salah satu rekan Lila sambil menggelengkan kepala seolah tidak percaya. “Mau cari lelaki yang seperti apa dia?” “Aku kira anak yang dikandung Lila anak Pak Ryan, ternyata bukan?” tanya rekan lainya yang selama ini sering memandang rendah kepada Lila. “Aku sempat menduga jika Lila hanya ingin memanfaatkan Pak Ryan yang sepertinya sangat tertarik kepadanya. Karena bapak anaknya tidak mau tanggung jawab,” celetuk rekan kerja yang lain, ya
Ryan berjalan cepat menuju kubikel Lila. Begitu tiba, dia melihat Lila sedang merapikan meja kerjanya, tampak tenang dan tanpa beban. Sebuah amplop tergeletak di sudut meja, dan Ryan langsung tahu apa itu. "Lila, tunggu!" Ryan berseru dengan nada mendesak, mendekati kubikel Lila. "Apa maksud semua ini? Kamu tidak bisa menyerahkan surat pengunduran diri begitu saja." Ryan menahan napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. "Lila, dengar … bagiku kamu adalah aset berharga untuk perusahaan ini. Kami tidak bisa kehilangan seseorang sepertimu. Aku ... aku bersedia menaikkan gajimu, berapapun yang kamu minta. Tapi, tolong … jangan jangan tinggalkan perusahaan ini!" Lila berusaha tetap tenang menghadapi Ryan, tekadnya sudah bulat dia harus meninggalkan Mahendra Securitas, dan juga kota ini. Lila tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh arti. "Ini bukan soal gaji, Ryan. Aku tahu perusahaan menghargai pekerjaanku, dan aku sudah memberi yang terbaik. Tapi aku tidak bisa terus berada di sini d
Lila menganggukkan kepala lemah, akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan di Mahendra Securitas. Keputusan itu membuat Ryan menghela napas lega. Wajahnya tampak penuh kelegaan dan kepuasan, meski dia berusaha menyembunyikannya di balik ekspresi profesionalnya. Namun, saat Ryan perlahan meninggalkan kubikel Lila, tak bisa dipungkiri ada secercah harapan di matanya. Dalam hatinya, dia bertekad akan mencari cara lain untuk meyakinkan Lila agar bersedia menerima lamarannya suatu saat nanti. Begitu Ryan berlalu, dua sahabat Lila, Rina dan Nadya, langsung menghambur menghampiri. Rina menarik Lila dalam pelukan erat, penuh kehangatan dan kelegaan yang tulus. "Syukurlah kamu nggak jadi pergi, La! Aku nggak bisa ngebayangin harus kerja tanpa kamu di sini." Lila tersenyum, meski hatinya masih terasa campur aduk. Ketakutan akan ancaman Andika dan juga kemungkinan bertemu dengan Sean atau Sekar di mana saja, tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tetapi untuk saat ini, dia merasa masih membutuhka
Setelah beberapa saat, Ryan duduk di samping ranjang ibunya yang terbaring lemah, wajah Risda tampak tenang dalam tidur yang disebabkan oleh obat penenang yang diberikan dokter. Wajahnya yang pucat dan garis-garis ketakutan di raut wajahnya membuat Ryan merasa pilu. Ia menggenggam tangan sang mama, menyesali apa yang baru saja terjadi, menyadari bahwa perdebatan mereka telah membuat keadaan sang mama kembali memburuk. Dokter yang memeriksa kondisi Risda baru saja meninggalkan ruangan, tetapi kata-katanya masih terngiang di kepala Ryan. “Bu Risda memerlukan ketenangan dan jauh dari segala bentuk tekanan. Kondisinya sangat rentan, dan kejadian-kejadian seperti ini dapat memicu kembali trauma masa lalunya. Saya sarankan agar beliau tidak terlalu sering terlibat dalam konflik atau hal-hal yang bisa membuatnya tertekan.” Ryan hanya mampu menunduk, menyesali tindakannya yang tidak bisa dia tarik kembali. Tatapannya jatuh ke wajah sang ibu, yang terlihat damai, tetapi di balik itu dia ta
Sekar meletakkan tas belanjanya di kursi restoran, duduk berhadapan dengan Miranda yang tampak sibuk dengan ponselnya. Sejak tadi sore, mereka berkeliling butik, memilih pakaian untuk acara pertunangan Miranda dan Sean. Sekar sebenarnya merasa lelah, namun ada kebahagiaan tersendiri melihat calon menantu barunya. Miranda cantik, berkelas, dan penuh percaya diri, sesuatu yang ia rasa cocok mendampingi putranya. Namun, saat Sekar memandang ke luar restoran, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok yang tak asing. Di antara deretan rak supermarket di seberang restoran, ia melihat Lila. Putih pucat wajah Lila begitu kontras dengan cardigan panjang yang menutupi tubuhnya, namun Sekar tak bisa mengabaikan satu hal, perut Lila tampak membesar, memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Hatinya bergetar, campuran antara keterkejutan dan rasa tak percaya. Lila, mantan menantu yang pernah dia hina mandul, ternyata kini sedang mengandung. Siapa ayah dari bayi itu? Tangan Sekar menggenggam erat tas di p
Miranda melangkah ringan ke kantor Sean, senyum menggoda tak lepas dari bibirnya. Model cantik itu berharap bisa mencuri sedikit momen hangat di sela kesibukan Sean. Namun, begitu masuk, Miranda mendapati Sean tenggelam di balik tumpukan dokumen, sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya.“Hai Sayang.” Miranda melangkah dengan anggun mendekat mencoba menarik perhatian Sean.Sean tersenyum sekilas, lalu kembali fokus ke berkas-berkas di depannya. Miranda cemberut, merasa kesal dengan sikap dingin itu. Dia melangkah semakin mendekat, berencana duduk di pangkuan Sean untuk bisa sejenak bermesraan. Tapi sebelum sempat dia duduk, pintu ruangan terbuka.Bella, sekretaris Sean, masuk dengan ekspresi tenang namun tidak bisa menyembunyikan sedikit keterkejutan melihat Miranda di sana.“Maaf, Pak, ini laporan yang Anda minta,” ucap Bella sembari menyodorkan map.Miranda terpaksa mundur beberapa langkah, wajahnya berubah kaku. Senyum Bella tetap sopan namun ada kilatan yang sulit dimengerti di
Nadya melangkah cepat menuju kubikel Lila. Wajahnya berbinar penuh kegembiraan, dan begitu sampai, dia menunjukkan ponselnya pada sahabatnya itu. “Lihat ini, Lila! Lila tersenyum lebar, ikut antusias melihat layar ponsel Nadya. “Wow! Padahal baru tadi pagi aku publish.” Lila masih membeliakkan matanya seolah tidak percaya dengan pencapaian postingan terbarunya. “Bisa langsung monetise nih, tawaran podcast bakalan ngalir. Rejeki baby nih sepertinya.” Meski dia lebih dahulu terjun menjadi konten kreator, tetapi saat pencapaian Lila lebih baik, tidak terlihat rasa iri pada dirinya. Lila tersenyum lebar, matanya berbinar saat melihat jumlah likes dan komentar yang terus bertambah di layar ponsel Nadya. Sebuah pencapain yang sangat mengembirakan, kontennya akhirnya mulai mendapatkan perhatian yang besar. Lila ingin merayakan kebahagiaan ini bersama sahabat-sahabatnya yang selalu mendukungnya sejak awal, Rina dan Nadya. “Gimana kalau kita makan siang di luar?” ucap Lila penuh antusias
“Syukurlah, dia naik ke atas." Rina merasa lega setelah melihat Sean melenggang meninggalkan Lila begitu saja menapaki tangga. “Apa yang kamu takutkan, dia sudah tidak melihat kita,” sambung Rina berusaha menenangkan Lila saat sahabatnya itu masih terlihat panik. Lila menggelengkan kepala, seolah menyangkal ucapan sahabatnya itu. “Menoleh ke kiri, lalu lihatlah ke atas!” ucap Lila pelan. Rina dan Nadya mengikuti perintah Lila. Ternyata Sean berdiri berpegang pada railing besi sambil memandang ke arah mereka, mungkin lebih tepatnya ke arah Lila. Walaupun Sean berada di lantai yang berbeda, Lila tahu Sean terus mengawasinya. Hal itu lah yang membuat Lila takut berdiri, karena sudah pasti Sean akan dengan mudah mengetahui perubahan dalam dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Rina dan Nadya juga merasakan ketegangan itu. Mereka saling menatap dan mengerti kekhawatiran yang melanda hati Lila. "Jangan tunjukkan ketakutanmu, kamu harus terlihat bahagia,” bisik Nadya berusaha menenang
Sean menggenggam erat tangan Lila saat mengemudikan mobil, sesekali melirik istrinya yang duduk diam di sampingnya. Lila menatap keluar jendela, dan Sean bisa melihat sudut matanya yang mulai basah.Hatinya mencelos. Lila jarang menangis tanpa alasan.Sean menghela napas, lalu menepikan mobil ke bahu jalan. Dia mematikan mesin, lalu berbalik menghadap istrinya.“Sayang, ada apa?” tanya Sean lembut meski dia sudah tahu alasan sebenarnya yang membuat istrinya menangis.Lila menggeleng, menundukkan wajahnya. Tapi Sean tahu lebih baik. Dia meraih bahu istrinya dan menariknya ke dalam pelukan.“Maaf...” suara Lila terdengar lirih, hampir tak terdengar.Sean mengerutkan kening. “Maaf untuk apa?”Lila mengusap matanya yang mulai basah. “Aku tahu ini konyol, tapi... aku merasa mengecewakan. Aku berharap ada anak perempuan di antara mereka. Aku ingin ada satu anak perempuan di rumah kita.”Sean tersenyum kecil, lalu mengangkat dagu Lila, menatap mata istrinya dengan penuh kelembutan. “Sayang,
Jika Ryan sedang merencanakan akan memiliki anak lagi, berbeda dengan Sean yang sedang berbahagia dengan kehamilan kembar Lila.Pagi itu, Lila sedang merapikan dasi Sean. Perutnya yang semakin membesar cukup menghalangi pekerjaan mudah itu. Bukan karena jarak yang semakin menjauh, tetapi lebih karena sean yang sering menunduk dan terus memainkan tangan di perutnya yang mengganggu konsentrasinya.“Kapan pemeriksaan berikutnya?” tanya Sean yang terlihat sudah tidak sabar.“Minggu depan,” jawab singkat Lila, yang terpaksa menyingkirkan tangan Sean dari perutnya.Karena merasa geli, Lila sampai salah mengikatkan dasi. Sesuatu yang sebenarnya sudah hafal di luar kepala.Kehamilan Lila yang kini memasuki bulan kelima membuat semakin penasaran dengan jenis kelamin bayi kembar mereka.“Bukankah pemeriksaan besok sudah bisa melihat jenis kelamin mereka?”Lila hanya menjawab dengan deheman, saat dia menyelesaikan kegiatan mengikat dasi sampai rapi."Aku yakin mereka perempuan," kata Sean penuh
Sesampainya di rumah, Rina sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi penuh harap. Saat pintu mobil terbuka, ia tersenyum lega melihat Renasya melompat keluar dari sisi lain mobil dan berlari menghampirinya."Mama! Lihat ini!" seru Renasya, mengangkat bola basket kecil yang diberikan Brilian.Rina tersenyum, tetapi segera menggeleng. "Tapi Rena tidak boleh main basket di dalam rumah."Renasya mengerucutkan bibir sambil mengalihkan pandangannya ke arah sang papa. "Tapi Papa tadi sudah izinin."Ryan yang baru turun dari mobil tertawa kecil. "Papa mengizinkan main, tapi di taman kompleks. Bukan di dalam rumah."Renasya tampak kecewa. "Tapi aku mau main sekarang..."Ryan mengusap kepala putrinya. "Kalau Rena mau main basket, bisa main lagi ke rumah Kak Brili."Mata Renasya langsung berbinar. "Beneran, Pa? Aku bisa main sama Kak Brili lagi?"Ryan mengangguk, dan Renasya langsung bersorak gembira. Sementara itu, Rina menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. Ada sesuatu dalam cara
Ryan tertawa lepas di hadapan Sekar, sungguh dia tidak menduga perempuan tegar di hadapannya memiliki selera humor yang cukup aneh baginya.“Apa salahnya kau menitipkan Renasya di rumah ini. sekaligus mendekatkan Brili dan Rena, bagaimana pun mereka itu saudara,” ucap Sekar dengan ekspresi wajah yang datar, meski Ryan belum bisa menghentikan tawanya.“Bukan masalah yang itu,” sahut Ryan sambil menahan tawa.“Ya, apa salahnya kalau kamu menikmati bulan madu bersama Rina untuk melepaskan semua kesedihan?” Sekar terdiam menunggu jawaban dari Ryan.Ryan mengalihkan pandangan sambil menyembunyikan senyum. Ayah satu anak tidak pernah menduga jika dia bisa tertawa lepas bersama Sekar.“Apa salahnya Renasya memiliki adik? Biar dia tidak kesepian.”“Tidak ada yang salah,” jawab Ryan dengan kepala menunduk, tawanya meredup, berganti dengan sesuatu yang lain.Mata Ryan berkaca-kaca, napasnya tersendat. Sekar diam, menunggu, membiarkan kata-kata yang tadi meluncur darinya mengendap dalam diri Rya
Begitu melihat Ryan, mata Renasya langsung berbinar. Tanpa ragu, bocah itu berlari ke arahnya dan melompat ke dalam pelukannya.“Papa!” serunya, memeluk erat seolah takut kehilangan lagi. Ryan membalas pelukan itu, mencium puncak kepala putrinya, merasakan kehangatan yang lama ia abaikan.Renasya menatap wajah papanya dengan polos. “Papa sudah nggak pusing lagi?” tanya Renasya, karena setiap kali dia bertanya kenapa harus tinggal bersama Brilian, orang dewasa di rumah itu mengatakan jika papanya sedang pusing.“Kayak Papa Brilian yang selalu pusing, terus minta dimanja sama Mama Lila?” sambung Renasya yang pernah tanpa sengaja melihat Sean yang mengatakan pusing dan langsung mendepat pelukan dari Lila sebelum akhirnya keduanya menuju ke kamar.Ryan mengerutkan kening, sedikit bingung. Ia melirik Sekar, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.“Papa Brilian kalau pusing, katanya Mama harus peluk dia, harus elus kepalanya, biar cepet sembuh.” Renasya melanjutkan dengan nada serius.
Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyingkirkan rasa sedihnya. Ryan lebih memilih diam menyendiri mengasingkan diri dari orang lain. Sepulang kerja, dia akan menyendiri di ruang kerja atau di kamar Risda.Seperti saat ini, Ryan duduk sendiri di ruang kerjanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan begitu saja. Hatinya masih terasa berat. Kepergian Andika meninggalkan lubang besar dalam dirinya, begitu pula kepergian Risda yang masih menyisakan luka.Sungguh jauh berbeda dengan Sean yang memilih untuk sibuk, Ryan justru semakin tenggelam dalam kesedihan. Ia butuh waktu untuk menerima semuanya.Di sisi lain, Sean sibuk membenamkan diri dalam pekerjaan. Setiap harinya ia pulang lebih larut, mencari cara agar pikirannya tidak terlalu banyak melayang pada kehilangan yang ia rasakan.Menjalani biduk rumah tangga hampir delapan tahun, membuat Lila bisa memahami suasana kebatinan suaminya. Termasuk bagaimana dia harus mempersiapkan diri di hadapan Sean dan menuruti
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba