Sean duduk dengan tenang, tetapi sikapnya menunjukkan ketegasan yang tak terbantahkan. Dia menatap pria di hadapannya dengan tajam, seolah-olah hanya ada satu tujuan dari pertemuan ini. “Pak Andika …” ucap Sean, suaranya terdengar dingin dan tanpa basa-basi, “Saya ingin Anda memecat Lila sekarang juga dari perusahaan Anda Sekarang, bukan nanti.” Andika, mendengarkan dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Namun, di balik tatapan tenangnya, pikirannya mulai bekerja. Andika menganggukkan kepala lemah. “Saya akan segera memecatnya setelah dari sini. Untuk alasan ….” “Itu bukan urusan saya, yang saya inginkan hanya mendengar kabar Lila sudah hengkang dari Mahendra Securitas.” Mungkin terdengar kejam, tetapi Sean sepertinya tidak peduli. Dengan nada yang semakin tajam, Sean melanjutkan, mendominasi percakapan sejak awal tanpa memberi ruang untuk seorang Andika berbicara. “Jika Anda tidak segera bertindak, saya rasa Anda tahu apa yang bisa saya lakukan pada perusahaan Anda.” “Jika bo
Di dalam ruang rapat yang terang, semua mata tertuju pada Lila yang berdiri di depan layar proyektor. Meski sedang mengandung, tidak ada yang bisa menyangkal profesionalisme dan karismanya saat memaparkan analisis kuartal berikutnya. Sambil membenahi sedikit rambut yang jatuh di bahunya, Lila melanjutkan pemaparannya dengan penuh percaya diri. “Untuk sektor perbankan,” ujar Lila, suaranya tegas namun tenang, “kita bisa melihat peningkatan stabil di kuartal terakhir, terutama setelah implementasi kebijakan suku bunga rendah oleh Bank Indonesia. Namun, kita harus berhati-hati terhadap kemungkinan volatilitas karena ketidakpastian global yang masih tinggi. Saya sarankan kita fokus pada bank-bank dengan rasio kredit yang lebih baik dan pertumbuhan digital banking yang kuat.” Seluruh peserta rapat mengangguk mendengar analisisnya. Lila kemudian beralih ke grafik sektor tambang yang muncul di layar. “Sementara itu, sektor tambang menunjukkan performa yang fluktuatif, terutama karena penu
Ryan mengikuti langkah Andika dengan perasaan yang tidak nyaman. Langkah kakinya berat, pikirannya bercampur aduk, sementara bayangan Lila yang anggun dan luwes selama rapat masih melekat di benaknya. Ryan tidak bisa mengabaikan tatapan mata mereka yang saling bertemu tadi, sebuah momen yang membuat hatinya berdesir, meski Lila cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Kini, Ryan merasa ada sesuatu yang salah. Dia tahu sang papa akan membicarakan hal serius, dan firasatnya mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan Lila. Mereka tiba di sebuah ruangan yang sangat privat, jauh dari keramaian kantor, tempat percakapan-percakapan yang tidak ingin didengar oleh orang lain biasa terjadi. Andika memandang putranya dengan ekspresi serius, tanpa basa-basi. "Ryan," suara Andika terdengar tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun, "Kamu harus segera memecat Lila. Ini tidak bisa ditunda lagi." Ryan tertegun. Ucapannya meledak sebelum dia sempat berpikir, "Apa? Papa serius?" Mata Ryan membeliak leba
Di akhir pekan yang cerah, Lila ingin mencoba melakukan hal baru. Berdiri di depan cermin, ponsel di tangan, bersiap untuk merekam video pertama yang ingin dia buat. Sebagai analis yang sudah terbiasa berbicara di depan kolega di Mahendra Securitas, berbagi pengetahuan tentang keuangan bukan hal yang baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Rasanya lebih menakutkan daripada memaparkan hasil analisis bisnis kepada para petinggi perusahaan. Kali ini, Lila membayangkan wajahnya akan dilihat oleh ratusan, bahkan ribuan orang yang tidak dikenalnya di media sosial. Tiba-tiba tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia berdehem sebelum mulai berbicara. "Perencanaan keuangan bagi kelas ekonomi menengah ...." Lila mulai berbicara pelan, berusaha menjaga nada suara agar terdengar tegas namun hangat. "Banyak orang di kelas menengah sering merasa terjebak di antara keinginan untuk menabung dan kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup modern. Nah, salah satu strategi ..." Lila tiba-tiba terdiam. Panda
Di ruang tamu megah keluarga Wismoyojati, pertemuan keluarga antara orang tua Miranda dan Sekar berlangsung serius. Segala kemewahan dan kenyamanan yang ada di ruang itu tidak cukup untuk meringankan beban yang dirasakan Sean saat ini. Sean duduk di salah satu sudut ruangan, menatap kosong ke arah lantai, tidak menunjukkan minat sedikit pun terhadap percakapan yang sedang berlangsung. Di meja tengah, Sekar bersama dengan ibunya Miranda tampak sibuk berdiskusi tentang rencana acara pertunangan yang akan digelar beberapa minggu lagi. Mereka berbicara dengan penuh antusias, seolah-olah acara ini adalah momen terpenting dalam hidup mereka. "Aku pikir kita bisa adakan di hotel Bintang lima Grand Horizon," kata ibu Miranda dengan penuh semangat. "Tempat itu sangat mewah dan cocok untuk menampilkan status kita. Bagaimana menurut Bu Sekar?" Sekar mengangguk dengan antusias, matanya berbinar. "Oh, tentu saja! Itu ide yang sangat bagus! Hotel itu memang terkenal dengan pelayanannya yang lua
Miranda menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap Sean, yang masih tampak tenggelam dalam keraguan dan rasa bersalah. Ia tahu, di balik sikap dingin Sean, ada hati yang terluka dan penuh kekhawatiran. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan Sean dengan lembut. “Sean,” Miranda berkata pelan, tapi dengan keyakinan yang kuat, “aku tidak peduli dengan masa lalumu. Aku tahu kamu punya luka, aku juga tahu kamu punya beban yang kamu bawa selama ini. Tapi aku akan menerimamu apa adanya. Kita semua punya masa lalu, punya kesalahan. Aku tidak berharap kamu sempurna.” Sean menoleh, menatap Miranda dalam diam, seolah mencoba mencari kejujuran di mata Miranda. Kata demi kata yang terucap dari bibir Miranda terdengar begitu menenangkan, dan kali ini kata-kata tersebut menggugah sesuatu yang lebih dalam pada dirinya. “Aku siap untuk kita, Sean. Aku siap menghadapi apa pun yang akan datang. Kita mungkin tidak akan selalu bahagia, tapi aku percaya kita b
Kata demi kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Ryan, hingga membuat Lila seolah sulit untuk mencernanya. Jantungnya berdebar lebih kencang, seolah detak waktu melambat di sekelilingnya. "Apa?" Lila akhirnya berhasil berkata, melempar satu tanya yang terdengar layaknya suara bisikan. "Aku sungguh-sungguh, Lil." Ryan memberi penegasan berharap mampu meyakinkan Lila. "Aku ingin menikahimu, aku akan menerima anakmu seperti anakku sendiri. Aku sudah memikirkan ini sejak lama … aku ingin kita menjalani hidup bersama." Lila masih berdiri mematung, mencoba mencerna kata-kata Ryan. Lamaran yang begitu mendadak itu membuat pikirannya berputar. Bukan rasa senang yang muncul, melainkan perasaan terkejut dan kalut. Perempuan lain mungkin akan merasa tersanjung dan bahagia ketika seorang pria sebaik Ryan, calon pewaris perusahaan sekuritas yang mapan, menyatakan niatnya untuk menikah. Tetapi perasaan yang sebaliknya justru dirasakan oleh Lila. Sebuah ingatan melintas di benak Lila. Pe
Lila menatap Ryan, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha menahan isak tangis, tetapi rasanya tak mungkin. Semua ketakutan dan kesedihan yang selama ini tersimpan, perlahan merembes keluar. Napasnya tersengal saat ia akhirnya berbicara. “Sean memang pernah mengancam akan membuatku menderita jika kami bercerai. Tapi aku tidak pernah menduga jika dia akan bertindak sampai sejauh ini.” Ryan menatapnya dengan cemas, tak tahu harus berkata apa. Lila melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda, air matanya mulai mengalir, tak tertahankan. "Bagaimana mungkin dia sampai sekejam ini? Seolah aku adalah musuhnya.” Lila mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri, tetapi dia merasakan beban yang begitu berat. "Mungkin aku mengecewakannya, tapi perpisahan yang terjadi pada kami akhirnya menyatukan dia dengan perempuan yang dia cintai. Harusnya Sean berterima kasih kepadaku." Bayangan kebersamaan Sean dan Miranda melintas di benaknya. Jika saat ini dia sedang menyongsong hidup baru bersama peremp
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob