Ryan mengikuti langkah Andika dengan perasaan yang tidak nyaman. Langkah kakinya berat, pikirannya bercampur aduk, sementara bayangan Lila yang anggun dan luwes selama rapat masih melekat di benaknya. Ryan tidak bisa mengabaikan tatapan mata mereka yang saling bertemu tadi, sebuah momen yang membuat hatinya berdesir, meski Lila cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Kini, Ryan merasa ada sesuatu yang salah. Dia tahu sang papa akan membicarakan hal serius, dan firasatnya mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan Lila. Mereka tiba di sebuah ruangan yang sangat privat, jauh dari keramaian kantor, tempat percakapan-percakapan yang tidak ingin didengar oleh orang lain biasa terjadi. Andika memandang putranya dengan ekspresi serius, tanpa basa-basi. "Ryan," suara Andika terdengar tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun, "Kamu harus segera memecat Lila. Ini tidak bisa ditunda lagi." Ryan tertegun. Ucapannya meledak sebelum dia sempat berpikir, "Apa? Papa serius?" Mata Ryan membeliak leba
Di akhir pekan yang cerah, Lila ingin mencoba melakukan hal baru. Berdiri di depan cermin, ponsel di tangan, bersiap untuk merekam video pertama yang ingin dia buat. Sebagai analis yang sudah terbiasa berbicara di depan kolega di Mahendra Securitas, berbagi pengetahuan tentang keuangan bukan hal yang baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Rasanya lebih menakutkan daripada memaparkan hasil analisis bisnis kepada para petinggi perusahaan. Kali ini, Lila membayangkan wajahnya akan dilihat oleh ratusan, bahkan ribuan orang yang tidak dikenalnya di media sosial. Tiba-tiba tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia berdehem sebelum mulai berbicara. "Perencanaan keuangan bagi kelas ekonomi menengah ...." Lila mulai berbicara pelan, berusaha menjaga nada suara agar terdengar tegas namun hangat. "Banyak orang di kelas menengah sering merasa terjebak di antara keinginan untuk menabung dan kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup modern. Nah, salah satu strategi ..." Lila tiba-tiba terdiam. Panda
Di ruang tamu megah keluarga Wismoyojati, pertemuan keluarga antara orang tua Miranda dan Sekar berlangsung serius. Segala kemewahan dan kenyamanan yang ada di ruang itu tidak cukup untuk meringankan beban yang dirasakan Sean saat ini. Sean duduk di salah satu sudut ruangan, menatap kosong ke arah lantai, tidak menunjukkan minat sedikit pun terhadap percakapan yang sedang berlangsung. Di meja tengah, Sekar bersama dengan ibunya Miranda tampak sibuk berdiskusi tentang rencana acara pertunangan yang akan digelar beberapa minggu lagi. Mereka berbicara dengan penuh antusias, seolah-olah acara ini adalah momen terpenting dalam hidup mereka. "Aku pikir kita bisa adakan di hotel Bintang lima Grand Horizon," kata ibu Miranda dengan penuh semangat. "Tempat itu sangat mewah dan cocok untuk menampilkan status kita. Bagaimana menurut Bu Sekar?" Sekar mengangguk dengan antusias, matanya berbinar. "Oh, tentu saja! Itu ide yang sangat bagus! Hotel itu memang terkenal dengan pelayanannya yang lua
Miranda menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap Sean, yang masih tampak tenggelam dalam keraguan dan rasa bersalah. Ia tahu, di balik sikap dingin Sean, ada hati yang terluka dan penuh kekhawatiran. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan Sean dengan lembut. “Sean,” Miranda berkata pelan, tapi dengan keyakinan yang kuat, “aku tidak peduli dengan masa lalumu. Aku tahu kamu punya luka, aku juga tahu kamu punya beban yang kamu bawa selama ini. Tapi aku akan menerimamu apa adanya. Kita semua punya masa lalu, punya kesalahan. Aku tidak berharap kamu sempurna.” Sean menoleh, menatap Miranda dalam diam, seolah mencoba mencari kejujuran di mata Miranda. Kata demi kata yang terucap dari bibir Miranda terdengar begitu menenangkan, dan kali ini kata-kata tersebut menggugah sesuatu yang lebih dalam pada dirinya. “Aku siap untuk kita, Sean. Aku siap menghadapi apa pun yang akan datang. Kita mungkin tidak akan selalu bahagia, tapi aku percaya kita b
Kata demi kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Ryan, hingga membuat Lila seolah sulit untuk mencernanya. Jantungnya berdebar lebih kencang, seolah detak waktu melambat di sekelilingnya. "Apa?" Lila akhirnya berhasil berkata, melempar satu tanya yang terdengar layaknya suara bisikan. "Aku sungguh-sungguh, Lil." Ryan memberi penegasan berharap mampu meyakinkan Lila. "Aku ingin menikahimu, aku akan menerima anakmu seperti anakku sendiri. Aku sudah memikirkan ini sejak lama … aku ingin kita menjalani hidup bersama." Lila masih berdiri mematung, mencoba mencerna kata-kata Ryan. Lamaran yang begitu mendadak itu membuat pikirannya berputar. Bukan rasa senang yang muncul, melainkan perasaan terkejut dan kalut. Perempuan lain mungkin akan merasa tersanjung dan bahagia ketika seorang pria sebaik Ryan, calon pewaris perusahaan sekuritas yang mapan, menyatakan niatnya untuk menikah. Tetapi perasaan yang sebaliknya justru dirasakan oleh Lila. Sebuah ingatan melintas di benak Lila. Pe
Lila menatap Ryan, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha menahan isak tangis, tetapi rasanya tak mungkin. Semua ketakutan dan kesedihan yang selama ini tersimpan, perlahan merembes keluar. Napasnya tersengal saat ia akhirnya berbicara. “Sean memang pernah mengancam akan membuatku menderita jika kami bercerai. Tapi aku tidak pernah menduga jika dia akan bertindak sampai sejauh ini.” Ryan menatapnya dengan cemas, tak tahu harus berkata apa. Lila melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda, air matanya mulai mengalir, tak tertahankan. "Bagaimana mungkin dia sampai sekejam ini? Seolah aku adalah musuhnya.” Lila mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri, tetapi dia merasakan beban yang begitu berat. "Mungkin aku mengecewakannya, tapi perpisahan yang terjadi pada kami akhirnya menyatukan dia dengan perempuan yang dia cintai. Harusnya Sean berterima kasih kepadaku." Bayangan kebersamaan Sean dan Miranda melintas di benaknya. Jika saat ini dia sedang menyongsong hidup baru bersama peremp
“Aku sedang hamil, masa iddahku sampai aku melahirkan, jadi kita baru bisa menikah setelah aku melahirkan akan ini.” Ryan terdiam, ekspresi wajahnya yang semula penuh harapan perlahan berubah menjadi kecewa. Dia melepaskan genggaman tangan Lila dengan perlahan, menarik napas panjang seakan mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. "Lila," suaranya lebih rendah dari sebelumnya, "Aku mengerti kamu butuh waktu, tapi menunggu sampai setelah kamu melahirkan? Itu terlalu lama." Matanya menatap Lila dengan intens, ada ketidakpastian yang mulai muncul di balik kesabarannya. "Aku tidak bisa menunggu selama itu. Apalagi jika alasanmu adalah masa iddah." Lila menggeleng pelan, berusaha menjelaskan. "Ryan, aku harus menghormati proses ini. Ini bukan hanya tentang waktu, tapi tentang penghormatan terhadap diriku sendiri. Aku baru saja bercerai, dan aku perlu waktu untuk menata kembali hidupku. Masa iddah bukan hanya sebuah kewajiban, tapi juga sebuah kesempatan bagiku untuk
Sean berdiri di depan cermin besar, menatap bayangan dirinya yang tengah mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya.Di sampingnya, Miranda sedang memutar-mutar di depan cermin lain, tersenyum lebar sambil mengecek gaun pertunangannya yang elegan. Dengan antusias Miranda membenarkan ujung gaunnya yang panjang, lalu berbalik menghadap Sean."Bagaimana menurutmu, Sayang?" tanya Miranda dengan wajah ceria, sambil berputar memperlihatkan seluruh penampilannya. "Aku suka banget sama potongannya, pas banget di pinggang!"Sean tersenyum bangga karena sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dia cintai."Kamu cantik sekali, Mira," jawab Sean dengan tatap mata memuja, sejak dahulu kecantikan Miranda terlihat sempurna di matanya.Mata Sean menelusuri gaun putih itu. Mungkin terlihat sangat berlebihan untuk acara pertunangan, tetapi memandang kesempurnaan di depan matanya membuat Sean larut dalam kebahagiaan yang ditawarkan oleh Miranda.Miranda melangkah mendekatinya, menggenggam
Pagi itu, Sean tampak lebih tenang. Tetapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah justru bertingkah seperti anak kecil yang manja di hadapan Lila.Berdiri saling berhadapan, Sean menatap istrinya dengan senyum jahil. Pandangannya tidak pernah absen dari wajah Lila yang sibuk merapikan kemejanya.“Sean, jangan bergerak,” tegur Lila sambil berusaha memasang dasi suaminya. Namun, Sean malah menyelipkan kedua tangannya di pinggang Lila, menariknya mendekat dengan gaya bercanda.“Sean! Apa yang kau lakukan?” Lila mengerutkan dahi, mencoba menjaga fokusnya. Namun, Sean hanya terkekeh, wajahnya tampak puas.“Aku hanya ingin memeluk istriku. Salahkah aku?” goda Sean, matanya berbinar. Lila mendesah keras, mencoba melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.Saat Lila berhasil melonggarkan dasi yang terlipat, Sean tiba-tiba mencoba mencuri ciuman. Lila mendelik, lalu dengan refleks memukul dada Sean.“Sean! Jangan seperti ini, kau sudah terlambat!
Lila mendengus kasar, mengembuskan napas berat seperti mencoba menyingkirkan emosi yang menggelayut. Sorot matanya yang tajam kini meredup, menyisakan lelah yang tak tertahankan. Ia menatap Sean sekilas, namun dengan cepat memutus kontak mata.Tak ada gunanya, pikir Lila. pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa arah hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan. Pembicaraan mereka malam ini sepertinya tidak akan mencapai titik temu dengan mudah, akhirnya Lila memutuskan untuk mengabaikan Sean dan mengistirahatkan tubuhnya.Dengan sedikit kepayahan, Lila menggeser tubuhnya. Tangannya meraih selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang, lalu menariknya hingga menutupi tubuh. Ia membelakangi Sean, mengisyaratkan akhir dari percakapan“Lil!” Sean memanggil, suaranya menggema dalam kamar yang sunyi.Meskipun belum tidur, tetapi Lila tidak menyahut panggilan Sean. Napasnya terdengar berat, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluarEntah mengapa tiba-tiba Lila merasa ada gejolak amarah.
Lila menatap Sean dengan sorot mata yang penuh tanya, tetapi juga lelah. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, membawanya pada labirin yang penuh dengan misteri keluarga Sean."Kenapa kau menanyakan itu padaku? Aku hanya menantu, Sean. Aku bahkan tidak tahu banyak tentang masa lalu keluargamu. Itu urusan kalian. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam."Sean menggeleng pelan. "Karena mama membutuhkan dirimu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.”Lila mengusap perutnya yang mulai membuncit. Gerakannya lembut, seperti sedang melindungi sesuatu yang paling berharga di dunia. Sean menyusul, meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Sentuhan itu hangat, tapi juga penuh dengan kekhawatiran.Bayi kecil mereka, yang bahkan belum sempat melihat dunia, sudah harus terlibat dalam pusaran ambisi dan perebutan harta.Pikiran Lila berputar pada Mahendra Securitas, perusahaan yang dulu ia kenal dengan baik. Sebagai mantan karyawan, ia tahu betul betapa besar nilai as
Selo Ardi menatap Sean dengan alis terangkat, senyum tipis menghiasi wajahnya.“Biro jasaku tidak menyediakan sekretaris. Adanya tukang pukul,” ujar Selo Ardi sembari tertawa kecil. Tetapi, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak bisa dia sembunyikan.Sean menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sangat serius. "Saya tahu itu, tapi aku tidak butuh seorang sekretaris secara spesifik. Tapi lebih kepada orang yang bisa mengawasi gerak-gerik sekretarisku saat ini.”Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tak lepas dari Sean. “Ada apa dengan sekretarismu? Jangan bilang dia mencoba mengambil alih perusahaanmu?” candanya, meski nada suaranya mengandung keseriusan.Sean menggeleng pelan. “Tidak sejauh itu. Tapi ...”Sean menggantungkan kalimatnya, menatap jauh ke jendela ruangan. “Entah ini kecurigaan atau hanya kecemburuan. Lila, istriku, merasa sekretarisku sedang mencoba menjebakku dalam sebuah skandal.”Selo menyipitkan mata, mencoba membaca situasi. “Skandal seperti apa?”S
Di hari biasa, Bi Siti akan langsung mengarahkan Vicky untuk langsung menuju ke ruang gym, tetapi kali ini karena Lila tidak berpesan apa pun, Vicky harus menunggu di ruang tamu. Vicky langsung berdiri saat melihat Lila memasuki ruang tamu dengan Sean yang mengekor di belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, bertemu Sean adalah niat utama Vicky mendatangi rumah tersebut, setelah mendapat informasi jika Sean tidak bekerja akhir pekan ini. “Hai Vicky!” Lila berusaha tetap ramah, meskipun kedatangan Vicky yang tiba-tiba sangat mengganggunya. “Apa ada masalah?” Sebenarnya Lila hendak duduk, tetapi tangan Sean tiba-tiba melingkar di pinggangnya seolah tidak mengizinkannya duduk. Karena Lila dan Sean yang tetap berdiri, bahkan tidak ada tanda jika dirinya akan dipersilahkan duduk, Vicky pun langsung mengungkap maksud kedatangannya. “Karena jadwal senam yang kemarin tertunda, jadi saya bermaksud untuk menggantinya hari ini,” ucap Vicky dengan seulas senyum di bibirnya. Vicky berusaha untuk
Akhirnya Sean bisa bernapas lega, semua pekerjaan dan urusan yang menumpuk berhasil diselesaikan. Sehingga di akhir pekan ini dia bisa menghabiskan waktu bersama Lila.Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menikmati momen tenang sambil menyiapkan kamar putra pertama mereka yang sebentar lagi akan lahir.Kamar bayi mereka terlihat rapi dengan nuansa biru yang lembut. Dindingnya dihiasi mural bertema luar angkasa, gambar planet-planet yang berwarna pastel, bintang-bintang kecil yang bersinar lembut, dan sebuah roket mungil yang tampak terbang menuju galaksi jauh.Langit-langitnya dicat dengan warna biru gelap, dihiasi bintang-bintang fosfor yang akan bersinar dalam gelap, memberikan kesan magis saat malam tiba.Sean tersenyum puas saat menata tempat tidur bayi berbentuk bulat yang sudah dikelilingi oleh pelindung lembut bergambar awan. Di sudut kamar, ada rak kecil yang sudah diisi buku-buku cerita bertema angkasa, mainan edukatif, dan boneka berbentuk astronaut.“Bagaimana, ka
Hari masih pagi, tetapi energi Sean rasanya sudah hampir terkuras habis. Sean tidak bisa membiarkan sang mama berbuat semena-mena terhadap orang lain, tetapi dia pun tidak mungkin mengabaikan luka hatinya. Sebagai seorang anak, ingin rasanya Sean bisa menjadi penengah yang akan menjembatani perdamaian kedua orang tuanya. Dia ingin papa dan mamanya menikmati masa tua dengan bahagia, meski tidak harus bersama. Kesibukannya pagi ini membuat Sean terpaksa terlambat tiba di kantornya. Sean melangkah cepat melewati meja resepsionis hingga tiba di ruang sekretaris pribadinya. Sekilas dia melirik Bella yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Tanpa memperlambat langkah, Sean memberi isyarat dengan tangan dan berkata singkat, "Bella, ke ruangan saya sekarang!" Bella mendongak, matanya berbinar. Ada senyum kecil yang terlukis di wajahnya, seolah-olah perintah Sean adalah penghargaan yang menegaskan posisinya. Betapa Sean sangat membutuhkan dan bergantung kepadanya. Bella seger
Sekar menatap Sean dengan sorot mata yang penuh luka dan kemarahan. Wajahnya yang cantik kini memucat, garis-garis usia tampak jelas ketika dia mencoba menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Amarah yang selama ini dia pendam, akhirnya meledak juga. “Mama sudah banyak mengalah. Mama tidak memenjarakan papamu dan gundiknya. Mama tetap membiarkan papamu hidup sejahtera dari perusahaan yang modalnya dari uang mama. Kurang mengalah apa lagi, Sean?” Suara Sekar bergetar, tidak bisa menutupi rasa sakit yang mengendap bertahun-tahun di dalam dirinya. Sepertinya Sekar sudah tidak bisa menahan lagi amarah yang sudah lama dia pendam selama ini. Tidak mudah baginya untuk melupakan perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami yang sangat dia cintai. Dari bukan siapa-siapa, dia angkat derajatnya, tetapi setelah di atas, Andika justru meninggalkannya demi perempuan lain. “Papamu sudah merampas semua milik mama,” tambahnya dengan suara parau, mencoba menekan emosi. Sean menarik napas panj
Sean menatap Rangga dengan sorot mata tegas, namun tetap hangat. Di antara mereka, udara terasa berat oleh kebimbangan yang tergambar jelas di wajah Rangga. Sean menghela napas dalam-dalam. “Kamu fokus saja pada kesehatanmu. Masalah biaya pernikahan biar aku yang urus,” ucap Sean terdengar penuh ketulusan Rangga menggeleng pelan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Tapi itu banyak banget, Mas. Belum lagi biaya ….” Sean tersenyum tipis, mencoba meredakan keresahan adiknya. “Selamat mewujudkan pernikahan impian untuk Nadya. Urusan ini biar jadi tanggung jawabku.” Tetapi, Rangga berusaha bertahan dengan keputusannya. “Aku bisa mencicil. Potong saja gajiku setiap bulan sampai lunas. Aku sudah menerima banyak dari Ibu dan Mas Sean. Untuk hal-hal yang sangat mendesak aku bisa terima, tapi untuk pesta pernikahan … sepertinya terlalu berlebihan.” Sean terdiam sejenak, pikirannya melayang pada sang mama, yang selalu menggunakan uang sebagai alat untuk mendapatkan kendali. Kala itu Sekar me