Lila menggigit bibirnya. Sebagai kakak, dia merasa bertanggung jawab atas Delisa, tetapi ibu mertuanya mempunyai alasan yang sulit untuk dia sangkal."Delisa harus belajar hidup mandiri, Lila. Jangan kamu manjakan dia. Kalau kamu ingin membantunya, bantu dari jarak jauh, bukan dengan membawanya ke dalam rumah tangga kalian,” ucap Sekar dengan nada ketus.Lila akhirnya mengangguk pelan, meski hatinya berat. "Baik, Ma. Saya akan pikirkan lagi."Sekar menghela napas, lalu bangkit berdiri. "Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Sean. Ingat, Lila, rumah tangga itu sudah penuh dengan tantangan. Jangan menambah masalah dengan hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari."Lila mengangguk lagi, menyadari bahwa meskipun ketus, Sekar hanya ingin melindungi keluarganya dari kemungkinan konflik yang tidak perlu.Saat mertua dan menantu itu sedang berbincang, terdengar suara pintu terbuka. Tampak Sean melankah dengan ringan, tetapi lelah di wajahnya tidak bisa disembunyikan.Sean melihat Lila sed
Malam semakin merangkak, tetapi Sekar tetap memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Di depan pintu, Lila memeluk mertuanya dengan erat. Hubungan antara mertua dan menantu yang sempat merenggang kini kembali erat dengan kelahiran Brilian.Sekar membalas pelukan itu dengan lembut, lalu membisikkan pesan ke telinga Lila.“Sekali lagi mama berpesan, jaga penampilanmu. Jangan anggap sepele, ini sangat penting,” ujar Sekar dengan suara lembut tapi tegas.Lila mengangguk kecil. “Iya, Ma. Saya akan berusaha.”Sekar menatap Lila dalam-dalam, menyampaikan pesan terakhirnya. “Jaga rumah tanggamu. Jangan biarkan masalah kecil menjadi besar. Jika ada yang mengganggu hubungan kalian, bicarakan baik-baik dengan Sean. Mama hanya tidak ingin Brilian tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh, seperti yang pernah Sean alami dulu. Mama tidak ingin Brilian merasakan apa yang Sean rasakan.”Kata-kata itu membuat hati Lila terenyuh. Dia memandang Sekar dengan mata berkaca-kaca. “Saya akan berusaha melakukan yang t
Lila terbangun dari tidurnya dengan perasaan dingin yang menusuk, bukan karena udara malam, tetapi karena tidak merasakan pelukan hangat Sean di sampingnya.Lila menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Mengenakan jubah tidurnya, Lila melirik sebentar ke arah Brilian, memastikan putranya masih terlelap dengan damai.Tanpa membuat suara, Lila melangkah keluar dari kamar, berjalan menuju ruang kerja Sean. Ketika ia membuka pintu perlahan, pandangannya langsung tertuju pada suaminya yang masih duduk di depan meja penuh dokumen.Cahaya lampu meja menerangi wajah Sean yang tampak serius, matanya tertuju pada kertas-kertas di hadapannya.Lila berdiri di ambang pintu, mengamati Sean sejenak sebelum melangkah masuk. Sean menyadari kehadiran istrinya dan menoleh. Sebuah senyum hangat terlukis di wajahnya, seolah kehadiran Lila adalah jeda yang ia butuhkan dari segala kerumitannya."Kenapa bangun? Brilian baik-baik saja, kan?" tanya Sean sambil merapikan dokumen di meja kerjanya.Lila m
Pagi itu, suasana di kamar Sean dan Lila terasa hangat. Seperti biasa, dengan lembut merapikan dasi Sean yang sudah berdiri rapi dengan jasnya. Tangannya cekatan membetulkan simpul dasi, sementara Sean berdiri memerhatikannya dengan senyum kecil di wajahnya."Kamu tahu, setelah menikah nanti, Nadya akan kembali bekerja di Mahendra Securitas," ucap Sean di sela-sela kebersamaan mereka.Lila mengangkat wajahnya, menatap suaminya. "Atas permintaan Mama?"Sean mengangguk. "Iya, Mama yang memintanya. Katanya, Nadya bisa membantu mengurangi bebanmu nanti."Lila tersenyum kecil. "Membantu mengurangi bebanku?" Lila bertanya sambil mengulang kalimat suaminya.Sean tertawa pelan. "Ya, itu yang jadi pertanyaan, apakah kamu sendiri sudah siap untuk memimpin Mahendra Securitas?"Pertanyaan itu membuat senyum Lila memudar. Tangannya terhenti di dasi Sean, lalu perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah boks bayi di sudut ruangan. Dari sana terdengar suara Brilian yang sedang berceloteh sendiri,
Di ruang kerja yang tenang itu, Sean memandang Rangga yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. Rangga, meskipun biasanya santai, tampak sedikit tegang.“Jadi, kamu minta tambahan cuti satu minggu lagi?” Sean membuka pembicaraan dengan nada tegas.Rangga mengangguk cepat. “Bukan, Mas. Tapi satu minggu sebelum hari H. Selama ini persiapan pernikahan Nadya sendiri yang handle. Aku hanya tidak ingin saat hari H nanti Nadya justru tumbang karena kelelahan.”Sean tersenyum tipis, seolah tahu apa yang ada di otak Rangga. “Kamu tinggal pilih, lebih banyak libur sebelum nikah, atau bisa libur panjang untuk bulan madu? Pilihan ada di kamu.”Rangga terdiam mencoba berpikir sejenak. Dalam benaknya, apalah arti bulan madu panjang kalau tenaga sudah terforsir untuk bekerja. Bisa-bisa Nadya langsung kecewa sejak malam pertama.Sean menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku paham, tapi aku cuma bisa kasih kamu tiga hari sebelum hari H. Kamu tahu sendiri, situasi sekarang sepert
Rangga tertegun mendengar permintaan Sean, tapi ia hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Baginya, Sean selalu penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ia tahu betul, baik Sean maupun Sekar, sudah memberikan banyak untuk pernikahannya yang mewah.Setelah meninggalkan ruang kerja Sean, Rangga menghela napas panjang. Ia merogoh ponselnya dan segera menghubungi Nadya, calon istrinya.“Nad, ada hal penting yang harus aku bicarakan,” ucap Rangga dengan nada datar. Di ujung telepon, suara Nadya terdengar ceria, meski ia langsung bertanya-tanya.“Kenapa, Mas? Ada apa?” tanya Nadya yang sudah mulai mengubah caranya memanggil calon suaminya.“Nanti aku jelaskan. Tenang saja, semuanya masih terkendali,” jawab Rangga singkat. “Tapi aku harap kamu tidak marah karena aku memutuskan hal ini tanpa berbicara terlebih dahulu kepadamu.”“Masalah apa? Paling tidak kasih clue, biar aku tidak penasaran.”“Ada hubungannya dengan Mas Sean dan Mbak Lila.”Terdengar suara hembusan napas kasar. Hut
Delisa turun dari mobil sambil mengamati sekeliling, perasaannya bercampur antara bingung dan kecewa. Alex menurunkan koper dan barang-barang Delisa dengan sigap, karena dia harus segera kembali ke kantor. Masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan.Saat Delisa hendak melontarkan pertanyaan lagi, pintu gerbang bangunan di depannya terbuka, dan seorang perempuan berambut panjang rapi muncul dengan senyuman ramah.“Delisa, ya?” tanya perempuan itu, memastikan.“Iya, saya Delisa. Dengan siapa ya?” Delisa tampak ragu mengungkap namanya, hingga dia langsung balik melontarkan pertanyaan.“Saya Nadya, teman Lila.” Nadya melangkah semakin mendekat ke arah Delisa berada. “Kata Lila dan Pak Sean kamu akan tinggal di sini, dan meneruskan kamar kost yang akan saya tinggal,” ucap Nadya dengan lembut.Tangan Nadya sudah meraih koper Delisa untuk dibawa masuk. Tetapi tangan Delisa meraihnya, tatap mata Delisa memindai bangunan di depannya, yang tidak sesuai dengan harapan saat dia merencanakan un
Di depan laptop yang dipinjam dari Nadya, Delisa sibuk menulis surat lamaran di meja kecil di dalam kamar kosnya. Sesekali ia menggigit bibirnya, tampak berpikir keras untuk menyusun kata-kata yang tepat. Di sudut lain kamar, Nadya sedang berdiri di depan cermin. Dia mengenakan gaun elegan berwarna krem dan menyempurnakan riasan wajahnya dengan lipstik merah muda yang lembut. “Mbak Nadya, apa Mbak yakin aku bakal diterima di Mahendra Securitas?” tanya Delisa tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar laptop di depannya. Nadya menoleh sebentar dari cermin, senyum kecil terulas di wajahnya. “Tentu saja yakin. Kamu hanya perlu percaya padaku, Lisa,” jawab Nadya santai sambil merapikan rambutnya yang digelung rapi. Delisa mendesah pelan, masih merasa ragu. Dia tidak tahu jika dia akan melamar kerja di perusahaan milik keponakannya yang masih bayi. Pengelolaan akan dipegang oleh Sekar, sampai Lila siap bekerja, dan tentu keadaa Brilian memungkinkan untuk ditinggal kerja. Sete
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P