Pagi itu, suasana di kamar Sean dan Lila terasa hangat. Seperti biasa, dengan lembut merapikan dasi Sean yang sudah berdiri rapi dengan jasnya. Tangannya cekatan membetulkan simpul dasi, sementara Sean berdiri memerhatikannya dengan senyum kecil di wajahnya."Kamu tahu, setelah menikah nanti, Nadya akan kembali bekerja di Mahendra Securitas," ucap Sean di sela-sela kebersamaan mereka.Lila mengangkat wajahnya, menatap suaminya. "Atas permintaan Mama?"Sean mengangguk. "Iya, Mama yang memintanya. Katanya, Nadya bisa membantu mengurangi bebanmu nanti."Lila tersenyum kecil. "Membantu mengurangi bebanku?" Lila bertanya sambil mengulang kalimat suaminya.Sean tertawa pelan. "Ya, itu yang jadi pertanyaan, apakah kamu sendiri sudah siap untuk memimpin Mahendra Securitas?"Pertanyaan itu membuat senyum Lila memudar. Tangannya terhenti di dasi Sean, lalu perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah boks bayi di sudut ruangan. Dari sana terdengar suara Brilian yang sedang berceloteh sendiri,
Di ruang kerja yang tenang itu, Sean memandang Rangga yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. Rangga, meskipun biasanya santai, tampak sedikit tegang.“Jadi, kamu minta tambahan cuti satu minggu lagi?” Sean membuka pembicaraan dengan nada tegas.Rangga mengangguk cepat. “Bukan, Mas. Tapi satu minggu sebelum hari H. Selama ini persiapan pernikahan Nadya sendiri yang handle. Aku hanya tidak ingin saat hari H nanti Nadya justru tumbang karena kelelahan.”Sean tersenyum tipis, seolah tahu apa yang ada di otak Rangga. “Kamu tinggal pilih, lebih banyak libur sebelum nikah, atau bisa libur panjang untuk bulan madu? Pilihan ada di kamu.”Rangga terdiam mencoba berpikir sejenak. Dalam benaknya, apalah arti bulan madu panjang kalau tenaga sudah terforsir untuk bekerja. Bisa-bisa Nadya langsung kecewa sejak malam pertama.Sean menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku paham, tapi aku cuma bisa kasih kamu tiga hari sebelum hari H. Kamu tahu sendiri, situasi sekarang sepert
Rangga tertegun mendengar permintaan Sean, tapi ia hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Baginya, Sean selalu penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ia tahu betul, baik Sean maupun Sekar, sudah memberikan banyak untuk pernikahannya yang mewah.Setelah meninggalkan ruang kerja Sean, Rangga menghela napas panjang. Ia merogoh ponselnya dan segera menghubungi Nadya, calon istrinya.“Nad, ada hal penting yang harus aku bicarakan,” ucap Rangga dengan nada datar. Di ujung telepon, suara Nadya terdengar ceria, meski ia langsung bertanya-tanya.“Kenapa, Mas? Ada apa?” tanya Nadya yang sudah mulai mengubah caranya memanggil calon suaminya.“Nanti aku jelaskan. Tenang saja, semuanya masih terkendali,” jawab Rangga singkat. “Tapi aku harap kamu tidak marah karena aku memutuskan hal ini tanpa berbicara terlebih dahulu kepadamu.”“Masalah apa? Paling tidak kasih clue, biar aku tidak penasaran.”“Ada hubungannya dengan Mas Sean dan Mbak Lila.”Terdengar suara hembusan napas kasar. Hut
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Rangga tertegun mendengar permintaan Sean, tapi ia hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Baginya, Sean selalu penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ia tahu betul, baik Sean maupun Sekar, sudah memberikan banyak untuk pernikahannya yang mewah.Setelah meninggalkan ruang kerja Sean, Rangga menghela napas panjang. Ia merogoh ponselnya dan segera menghubungi Nadya, calon istrinya.“Nad, ada hal penting yang harus aku bicarakan,” ucap Rangga dengan nada datar. Di ujung telepon, suara Nadya terdengar ceria, meski ia langsung bertanya-tanya.“Kenapa, Mas? Ada apa?” tanya Nadya yang sudah mulai mengubah caranya memanggil calon suaminya.“Nanti aku jelaskan. Tenang saja, semuanya masih terkendali,” jawab Rangga singkat. “Tapi aku harap kamu tidak marah karena aku memutuskan hal ini tanpa berbicara terlebih dahulu kepadamu.”“Masalah apa? Paling tidak kasih clue, biar aku tidak penasaran.”“Ada hubungannya dengan Mas Sean dan Mbak Lila.”Terdengar suara hembusan napas kasar. Hut
Di ruang kerja yang tenang itu, Sean memandang Rangga yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. Rangga, meskipun biasanya santai, tampak sedikit tegang.“Jadi, kamu minta tambahan cuti satu minggu lagi?” Sean membuka pembicaraan dengan nada tegas.Rangga mengangguk cepat. “Bukan, Mas. Tapi satu minggu sebelum hari H. Selama ini persiapan pernikahan Nadya sendiri yang handle. Aku hanya tidak ingin saat hari H nanti Nadya justru tumbang karena kelelahan.”Sean tersenyum tipis, seolah tahu apa yang ada di otak Rangga. “Kamu tinggal pilih, lebih banyak libur sebelum nikah, atau bisa libur panjang untuk bulan madu? Pilihan ada di kamu.”Rangga terdiam mencoba berpikir sejenak. Dalam benaknya, apalah arti bulan madu panjang kalau tenaga sudah terforsir untuk bekerja. Bisa-bisa Nadya langsung kecewa sejak malam pertama.Sean menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku paham, tapi aku cuma bisa kasih kamu tiga hari sebelum hari H. Kamu tahu sendiri, situasi sekarang sepert
Pagi itu, suasana di kamar Sean dan Lila terasa hangat. Seperti biasa, dengan lembut merapikan dasi Sean yang sudah berdiri rapi dengan jasnya. Tangannya cekatan membetulkan simpul dasi, sementara Sean berdiri memerhatikannya dengan senyum kecil di wajahnya."Kamu tahu, setelah menikah nanti, Nadya akan kembali bekerja di Mahendra Securitas," ucap Sean di sela-sela kebersamaan mereka.Lila mengangkat wajahnya, menatap suaminya. "Atas permintaan Mama?"Sean mengangguk. "Iya, Mama yang memintanya. Katanya, Nadya bisa membantu mengurangi bebanmu nanti."Lila tersenyum kecil. "Membantu mengurangi bebanku?" Lila bertanya sambil mengulang kalimat suaminya.Sean tertawa pelan. "Ya, itu yang jadi pertanyaan, apakah kamu sendiri sudah siap untuk memimpin Mahendra Securitas?"Pertanyaan itu membuat senyum Lila memudar. Tangannya terhenti di dasi Sean, lalu perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah boks bayi di sudut ruangan. Dari sana terdengar suara Brilian yang sedang berceloteh sendiri,
Lila terbangun dari tidurnya dengan perasaan dingin yang menusuk, bukan karena udara malam, tetapi karena tidak merasakan pelukan hangat Sean di sampingnya.Lila menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Mengenakan jubah tidurnya, Lila melirik sebentar ke arah Brilian, memastikan putranya masih terlelap dengan damai.Tanpa membuat suara, Lila melangkah keluar dari kamar, berjalan menuju ruang kerja Sean. Ketika ia membuka pintu perlahan, pandangannya langsung tertuju pada suaminya yang masih duduk di depan meja penuh dokumen.Cahaya lampu meja menerangi wajah Sean yang tampak serius, matanya tertuju pada kertas-kertas di hadapannya.Lila berdiri di ambang pintu, mengamati Sean sejenak sebelum melangkah masuk. Sean menyadari kehadiran istrinya dan menoleh. Sebuah senyum hangat terlukis di wajahnya, seolah kehadiran Lila adalah jeda yang ia butuhkan dari segala kerumitannya."Kenapa bangun? Brilian baik-baik saja, kan?" tanya Sean sambil merapikan dokumen di meja kerjanya.Lila m
Malam semakin merangkak, tetapi Sekar tetap memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Di depan pintu, Lila memeluk mertuanya dengan erat. Hubungan antara mertua dan menantu yang sempat merenggang kini kembali erat dengan kelahiran Brilian.Sekar membalas pelukan itu dengan lembut, lalu membisikkan pesan ke telinga Lila.“Sekali lagi mama berpesan, jaga penampilanmu. Jangan anggap sepele, ini sangat penting,” ujar Sekar dengan suara lembut tapi tegas.Lila mengangguk kecil. “Iya, Ma. Saya akan berusaha.”Sekar menatap Lila dalam-dalam, menyampaikan pesan terakhirnya. “Jaga rumah tanggamu. Jangan biarkan masalah kecil menjadi besar. Jika ada yang mengganggu hubungan kalian, bicarakan baik-baik dengan Sean. Mama hanya tidak ingin Brilian tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh, seperti yang pernah Sean alami dulu. Mama tidak ingin Brilian merasakan apa yang Sean rasakan.”Kata-kata itu membuat hati Lila terenyuh. Dia memandang Sekar dengan mata berkaca-kaca. “Saya akan berusaha melakukan yang t
Lila menggigit bibirnya. Sebagai kakak, dia merasa bertanggung jawab atas Delisa, tetapi ibu mertuanya mempunyai alasan yang sulit untuk dia sangkal."Delisa harus belajar hidup mandiri, Lila. Jangan kamu manjakan dia. Kalau kamu ingin membantunya, bantu dari jarak jauh, bukan dengan membawanya ke dalam rumah tangga kalian,” ucap Sekar dengan nada ketus.Lila akhirnya mengangguk pelan, meski hatinya berat. "Baik, Ma. Saya akan pikirkan lagi."Sekar menghela napas, lalu bangkit berdiri. "Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Sean. Ingat, Lila, rumah tangga itu sudah penuh dengan tantangan. Jangan menambah masalah dengan hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari."Lila mengangguk lagi, menyadari bahwa meskipun ketus, Sekar hanya ingin melindungi keluarganya dari kemungkinan konflik yang tidak perlu.Saat mertua dan menantu itu sedang berbincang, terdengar suara pintu terbuka. Tampak Sean melankah dengan ringan, tetapi lelah di wajahnya tidak bisa disembunyikan.Sean melihat Lila sed
Di setiap waktu luangnya, Sekar akan menyempatkan diri untuk mengunjungi cucu pertamanya. Bagi Sekar, kelahiran Brilian adalah kemenangan besar. Bukan hanya dia bisa mendapatkan kembali hartanya yang selama ini dikuasai oleh Andika, tetapi juga karena dia sudah lama menantikan kehadiran penerus untuk keluarga dan perusahaannya.Sekar duduk di sofa ruang keluarga, memangku Brilian yang mulai menggeliat kecil dalam pelukannya. Wajah cucunya itu selalu membuat hatinya luluh. Namun, saat bayi itu mulai merengek, Sekar mendesah dan menyerahkan Brilian kepada Lila."Dia haus," ucap Sekar singkat, dengan nada yang menunjukkan otoritas sebagai seorang ibu mertua.Lila tersenyum kecil, meskipun dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia mengambil Brilian dengan lembut dan mulai menyusui.Sekar memperhatikan dengan saksama, matanya menyelidik dari ujung rambut hingga ujung kaki menantunya.Sekar menggelengkan kepala, dengan ekspresi menunjukkan rasa tidak Sukanya. “Kamu itu, Lil!” Sekar ak
Sean duduk di sofa ruang keluarga, memangku Brilian yang tertidur pulas di pelukannya. Biasanya, momen seperti ini membuat Sean tersenyum lebar, menikmati kehangatan menjadi seorang ayah. Tapi kali ini, wajahnya terlihat murung, matanya menerawang jauh seolah ada beban berat yang menghimpit hatinya.Lila, yang sedang membuat susu dirinya dan kopi panas Sean, memperhatikan keheningan itu. Setelah dua minuman itu jadi, dengan nampan Lila membawanya ke ruang keluarga."Ada masalah?" tanya Lila dengan suara lembut sambil menjatuhkan tubuhnya di samping sang suami.Sean menghela napas panjang, menatap wajah mungil Brilian yang damai dalam tidurnya."Aku baru pulang dari rumah Papa," jawab Sean pelan, suaranya terdengar berat. "Sekarang Papa sendirian. Ryan dan mamanya meninggalkan Papa setelah semua yang terjadi."Sean tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di hadapan sang istri. Melihat betapa rapuhnya Sean saat berbicara tentang papanya, membuat Lila bisa memahami alasan Sean yang dahulu
Sean dan Andika duduk bersama di taman, ditemani secangkir teh hangat. Udara sore terasa sejuk, membawa aroma bunga dari taman yang baru saja disiram. Sean diam sejenak, memandangi sang ayah yang tampak lebih tua dari terakhir kali dia ingat. Garis-garis lelah di wajah Andika menunjukkan perjalanan hidup yang berat, namun matanya masih menyimpan semangat yang sama.“Bagaimana kabar mamamu?” tanya Andika tiba-tiba, memecah keheningan. Ada kerinduan yang tersirat dalam suaranya, meski berusaha disembunyikan.Sean mengangguk perlahan. “Mama baik-baik saja. Dia bahagia sekarang, terutama setelah Brilian lahir.”Mendengar itu, Andika tersenyum kecil. Namun, senyuman itu juga membawa sedikit kesedihan. “Syukurlah ... papa senang mendengarnya. Mamamu wanita yang hebat.”Suasana menjadi hening sesaat. Sean menggenggam cangkir teh di tangannya, matanya menatap ke arah taman. Ada rasa bersalah yang mulai menghantuinya.“Aku minta maaf,” ujar Sean akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Karena kel