Di ruang kerja yang tenang itu, Sean memandang Rangga yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. Rangga, meskipun biasanya santai, tampak sedikit tegang.“Jadi, kamu minta tambahan cuti satu minggu lagi?” Sean membuka pembicaraan dengan nada tegas.Rangga mengangguk cepat. “Bukan, Mas. Tapi satu minggu sebelum hari H. Selama ini persiapan pernikahan Nadya sendiri yang handle. Aku hanya tidak ingin saat hari H nanti Nadya justru tumbang karena kelelahan.”Sean tersenyum tipis, seolah tahu apa yang ada di otak Rangga. “Kamu tinggal pilih, lebih banyak libur sebelum nikah, atau bisa libur panjang untuk bulan madu? Pilihan ada di kamu.”Rangga terdiam mencoba berpikir sejenak. Dalam benaknya, apalah arti bulan madu panjang kalau tenaga sudah terforsir untuk bekerja. Bisa-bisa Nadya langsung kecewa sejak malam pertama.Sean menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku paham, tapi aku cuma bisa kasih kamu tiga hari sebelum hari H. Kamu tahu sendiri, situasi sekarang sepert
Rangga tertegun mendengar permintaan Sean, tapi ia hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Baginya, Sean selalu penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ia tahu betul, baik Sean maupun Sekar, sudah memberikan banyak untuk pernikahannya yang mewah.Setelah meninggalkan ruang kerja Sean, Rangga menghela napas panjang. Ia merogoh ponselnya dan segera menghubungi Nadya, calon istrinya.“Nad, ada hal penting yang harus aku bicarakan,” ucap Rangga dengan nada datar. Di ujung telepon, suara Nadya terdengar ceria, meski ia langsung bertanya-tanya.“Kenapa, Mas? Ada apa?” tanya Nadya yang sudah mulai mengubah caranya memanggil calon suaminya.“Nanti aku jelaskan. Tenang saja, semuanya masih terkendali,” jawab Rangga singkat. “Tapi aku harap kamu tidak marah karena aku memutuskan hal ini tanpa berbicara terlebih dahulu kepadamu.”“Masalah apa? Paling tidak kasih clue, biar aku tidak penasaran.”“Ada hubungannya dengan Mas Sean dan Mbak Lila.”Terdengar suara hembusan napas kasar. Hut
Delisa turun dari mobil sambil mengamati sekeliling, perasaannya bercampur antara bingung dan kecewa. Alex menurunkan koper dan barang-barang Delisa dengan sigap, karena dia harus segera kembali ke kantor. Masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan.Saat Delisa hendak melontarkan pertanyaan lagi, pintu gerbang bangunan di depannya terbuka, dan seorang perempuan berambut panjang rapi muncul dengan senyuman ramah.“Delisa, ya?” tanya perempuan itu, memastikan.“Iya, saya Delisa. Dengan siapa ya?” Delisa tampak ragu mengungkap namanya, hingga dia langsung balik melontarkan pertanyaan.“Saya Nadya, teman Lila.” Nadya melangkah semakin mendekat ke arah Delisa berada. “Kata Lila dan Pak Sean kamu akan tinggal di sini, dan meneruskan kamar kost yang akan saya tinggal,” ucap Nadya dengan lembut.Tangan Nadya sudah meraih koper Delisa untuk dibawa masuk. Tetapi tangan Delisa meraihnya, tatap mata Delisa memindai bangunan di depannya, yang tidak sesuai dengan harapan saat dia merencanakan un
Di depan laptop yang dipinjam dari Nadya, Delisa sibuk menulis surat lamaran di meja kecil di dalam kamar kosnya. Sesekali ia menggigit bibirnya, tampak berpikir keras untuk menyusun kata-kata yang tepat. Di sudut lain kamar, Nadya sedang berdiri di depan cermin. Dia mengenakan gaun elegan berwarna krem dan menyempurnakan riasan wajahnya dengan lipstik merah muda yang lembut. “Mbak Nadya, apa Mbak yakin aku bakal diterima di Mahendra Securitas?” tanya Delisa tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar laptop di depannya. Nadya menoleh sebentar dari cermin, senyum kecil terulas di wajahnya. “Tentu saja yakin. Kamu hanya perlu percaya padaku, Lisa,” jawab Nadya santai sambil merapikan rambutnya yang digelung rapi. Delisa mendesah pelan, masih merasa ragu. Dia tidak tahu jika dia akan melamar kerja di perusahaan milik keponakannya yang masih bayi. Pengelolaan akan dipegang oleh Sekar, sampai Lila siap bekerja, dan tentu keadaa Brilian memungkinkan untuk ditinggal kerja. Sete
Mobil yang dikendarai Rangga perlahan memasuki pekarangan rumah mewah yang dihuni oleh Sekar. Lampu-lampu taman menyala, menyorot keindahan lanskap yang tertata rapi.Di teras, Sekar sudah menunggu dengan senyum hangat di wajahnya. Seperti sedang menunggu anak kandungnya sendiri.Nadya dan Rangga segera turun dari mobil. Nadya merapikan lagi penampilannya, seolah dia akan bertemu dengan ibu mertua yang menuntut kesempurnaan pada menantunya.“Mampir di mana saja kalian?” tanya Sekar terdengar penuh tuduhan. Bahkan saat Nadya sudah berada di hadapannya Sean menelisik leher jenjang Nadya mencoba mencari sebuah tanda di sana.Rangga hanya tertawa renyah melihat tingkah Sekar. Sementara itu Nadya yang bisa menyaksikan keakraban Rangga dan Sekar yang terlihat lebih dekat dan natural daripada Sean dan Sekar yang terlihat penuh ketegangan.“Namanya juga perempuan, Bu. Harus dandan dulu biar sempurna,” Rangga membalas dengan tawa kecil, melirik Nadya yang langsung mencubit lengannya pelan.Sek
Dalam perjalanan pulang dari rumah Sekar, suasana di dalam mobil terasa hangat dan santai. Jalanan malam cukup lengang, hanya terdengar suara mesin mobil dan obrolan ringan antara Rangga dan Nadya.“Menurut kamu, Delisa itu tipe cewek yang bagaimana?” Rangga bertanya sambil melirik Nadya yang duduk di sampingnya, berharap pertanyaannya tidak menimbulkan salah paham di hati calon istrinya.Nadya menghempaskan punggungnya ke jok sambil membuang napas secara kasar. “Jauh banget sama Lila. Mereka seperti tumbuh di dunia yang berbeda.”Nadya tertawa kecil, mengingat kejadian yang melibatkan dirinya dengan Delisa hari ini.“Jujur, aku setuju sama Bu Sekar. Delisa itu terlihat sangat ambisius, seperti tidak peduli caranya apa yang penting tujuannya tercapai. Tapi ada sisi lugu juga, terutama waktu dia tahu dia harus tinggal di kosku.”Rangga mengangkat alis, penasaran. “Oh ya? Dia gimana?”“Dia kelihatan kaget banget waktu lihat kosnya. Berkali-kali dia nanya, ‘Bener di sini? Apa nggak salah
Malam itu di kamar Sean dan Lila yang hangat dan tenang, Lila menatap Brilian yang tidur nyenyak di boks bayi. Tubuh mungilnya bergerak sedikit, tetapi tetap terlihat nyaman. Sean mendekat dan memeluk tubuh Lila dari belakang. Senyum menghiasi bibirnya melihat putranya yang tumbuh dengan baik.“Pengertian banget anak Papa,” ucap Sean dengan penuh kebanggaan, lalu melabuhkan kecupan di punggung Lila.Lila tertawa kecil. Selain karena merasa geli dengan sentuhan Sean, Lila juga tahu apa yang dipikirkan suaminya malam ini.“Sepertinya efek imunisasi tidak terlalu berpengaruh, dari tadi dia tidak rewel dan demam.”“Maaf, tadi tidak bisa menemani imunisasi.” Suara Sean terdengar penuh penyesalan. Sebagai seorang ayah, sebenarnya Sean ingin selalu hadir dalam tumbuh kembang putranya.“Papanya kan kerja, cari uang yang banyak untuk nyenengin keluarga.” Lila menoleh menatap wajah Sean, hingga sebuah kecupan lembut di dahi tidak bisa dia hindari.“Mamanya Brilian mau disenengin dengan cara lai
Waluya baru saja menyelesaikan transaksi dengan salaj satu pedagang telur. Wajahnya terlihat sumringah dengan hasil panen hari ini. Tetapi ketika suara tinggi Inayah mengetarkan gendang telinganya, Waluya sadar, ini bukan pertanda baik.Belum sempat Waluya membersihkan diri setelah dari kendang, dia sudah harus menghadapi amarah besar sang istri.“Pak! Apa kamu tahu kalau dari kemarin handphone Lila tidak bisa dihubungi?” Suara Inayah melengking, tangan di pinggang dan sorot matanya tajam.Waluya mendesah pelan, berusaha tetap tenang. “Mungkin dia sedang sibuk. Kamu tahu sendiri, anakmu itu punya bayi yang butuh banyak perhatian.”“Tapi Delisa baru saja meneleponku!” Inayah menyela dengan nada keras. “Dia bilang Lila menempatkannya di tempat kos yang nggak layak sama sekali. Apa itu cara Lila menunjukkan rasa sayang ke adiknya sendiri?”Waluya menghela napas panjang, meletakkan keranjang telurnya di meja. “Dengar dulu, Bu. Mungkin ini bukan sepenuhnya salah Lila. Kamu tahu, rumah yang
Sekar berdiri di tengah ruangan, tatap matanya menyapu seluruh karyawan Mahendra Securitas yang telah berkumpul. Suaranya tegas namun tetap bersahabat saat dia melontarkan pertanyaan."Apakah kalian mengenal Marina Adriana?"Sejenak suasana hening, lalu beberapa karyawan lama saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan mantap. Nama itu bukanlah nama asing bagi mereka. Rina, begitu mereka biasa memanggilnya, adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Mahendra Securitas.Sekar tersenyum kecil, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, "Nah, kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan suaminya."Sekar menoleh ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya. "Yang berdiri di sampingku ini adalah Ryan Aditya Mahendra, suami dari Marina Adriana. Dan mulai hari ini, dia yang akan menggantikan posisi Lila sebagai pemimpin di Mahendra Securitas."Tawa meriah langsung memenuhi ruangan. Tidak hanya karena cara Sekar memperkenalkan Ryan, tetapi juga karena Ryan sendiri bukanlah
Lila menghela napas panjang sambil merapikan meja kerjanya. Semua dokumen penting sudah disortir, file-file tersusun rapi, dan barang pribadinya mulai dikemasi. Esok hari, Ryan sudah akan menggantikan posisinya.Saat itu, pintu ruangannya diketuk. Lila menoleh dan melihat Ryan berdiri di ambang pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum Lila melempar senyum dan memberi isyarat agar adik iparnya itu masuk.Di hadapan banyak orang, mereka bisa bersikap biasa saja. Profesional, seperti dua rekan kerja yang hanya berbagi tanggung jawab. Namun, saat hanya berdua, kecanggungan itu muncul begitu saja.Ryan berjalan mendekat, melihat meja yang hampir kosong. “Jadi, ini hari terakhirmu di sini,” ucap Ryan yang mencoba bersikap santai kala berhadapan dengan Lila.Lila mengangguk. “Ya. Besok semua yang ada di sini sudah menjadi tanggung jawabmu.”Ryan menatap sekeliling. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Bukan tentang masa lalu dirinya yang sudah pernah berada di posisi Lila, tetapi tenta
Anggap saja nekat, Sekar kembali melakukan pertemuan dengan Tetapi pertemuan mereka tidak seprivate pertemuan-pertemuan terdahulu. Mereja hanya melakukan pertemuan sambil makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ryan.Wajah Sekar tetap tampak serius seperti biasanya, mencerminkan kegelisahan yang sudah ia tahan sejak pagi. Senyum sumir terukir di bibir Sekar saat Ryan duduk tepat di hadapannya.“Kau sudah urus pengunduran dirimu?” tanya Sekar tanpa basa-basi.Ryan mengangkat kepala, melihat Sekar yang tampak terburu-buru. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Tinggal menunggu serah terima saja. Masih ada beberapa tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”Sekar menatapnya lekat, seakan memastikan bahwa Ryan benar-benar serius dengan keputusannya.“Tapi aku pastikan awal bulan nanti aku sudah bisa ke Mahendra Securitas,” lanjut Ryan dengan nada meyakinkan.Seketika ketegangan di wajah Sekar mereda. Ada kelegaan di matanya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu
Sean menyendiri di ruang kerja, bukan karena banyaknya pekerjaan yang belum dia selesaikan, tetapi ada beban pikiran lain yang sulit dia singkirkan. Dan dia tidak ingin Lila mengetahuinya.Sekar yang sedang mengambil air minum di dapur melihat lampu ruang kerja putranya belum juga padam. Hal itu membuatnya penasaran hingga ingin melihat dan mengetahui apa yang sedang dilakukan putranya saat tengah malam begini.Sekar berjalan pelan menuju ruang kerja Sean. Ia melihat putranya duduk di belakang meja, bahunya sedikit membungkuk, tatapan matanya kosong menatap layar laptop yang bahkan belum menyala.“Sean?” panggil Sekar lembut.Sean mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “Ma?”Sekar melangkah masuk, menaruh gelas air yang dibawanya di meja. “Kamu belum tidur?”Sean menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Belum ngantuk.”Sekar mengamati wajah putranya yang terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang mengganggu
Setelah mobil terparkir sempurna di garasi, Lila masih terlihat ragu untuk turun. Rasa takut itu belum sepenuhnya pergi dari hati Lila. Dia tidak ingin mengecewakan anak dan ibu mertuanya.Sean mematikan mesin mobil, lalu meletakkan tangannya di atas perut istrinya. “Jangan membuat kehadiran mereka seperti tidak diterima. Aku yakin kita semua sangat menyayanginya.”Lila mengangguk samar. Saat Sean akan membuka pintu, Lila menahan tangannya seolah tidak ingin keluar.“Beri aku kekuatan,” ucap Lila sambil mengangkat dagunya, dengan senyum menggoda.“Manja banget mama yang satu ini.” Tanpa ragu, Sean melabuhkan satu kecupan yang mendalam. “Kamu harus tanggung jawab untuk melanjutkan semua ini nanti malam.”“Tapi aku harus banyak istirahat, lho.”“Aku yakin kamu akan beristirahat dengan lebih baik, setelah semua tanggung jawabmu selesai.”“Sean ….”Sean bergegas keluar tanpa mempedulikan rengekan Lila. Bukan karena tidak peduli, dia hanya tidak ingin menerkam istrinya di garasi saat hari
Sean menggenggam erat tangan Lila saat mengemudikan mobil, sesekali melirik istrinya yang duduk diam di sampingnya. Lila menatap keluar jendela, dan Sean bisa melihat sudut matanya yang mulai basah.Hatinya mencelos. Lila jarang menangis tanpa alasan.Sean menghela napas, lalu menepikan mobil ke bahu jalan. Dia mematikan mesin, lalu berbalik menghadap istrinya.“Sayang, ada apa?” tanya Sean lembut meski dia sudah tahu alasan sebenarnya yang membuat istrinya menangis.Lila menggeleng, menundukkan wajahnya. Tapi Sean tahu lebih baik. Dia meraih bahu istrinya dan menariknya ke dalam pelukan.“Maaf...” suara Lila terdengar lirih, hampir tak terdengar.Sean mengerutkan kening. “Maaf untuk apa?”Lila mengusap matanya yang mulai basah. “Aku tahu ini konyol, tapi... aku merasa mengecewakan. Aku berharap ada anak perempuan di antara mereka. Aku ingin ada satu anak perempuan di rumah kita.”Sean tersenyum kecil, lalu mengangkat dagu Lila, menatap mata istrinya dengan penuh kelembutan. “Sayang,
Jika Ryan sedang merencanakan akan memiliki anak lagi, berbeda dengan Sean yang sedang berbahagia dengan kehamilan kembar Lila.Pagi itu, Lila sedang merapikan dasi Sean. Perutnya yang semakin membesar cukup menghalangi pekerjaan mudah itu. Bukan karena jarak yang semakin menjauh, tetapi lebih karena sean yang sering menunduk dan terus memainkan tangan di perutnya yang mengganggu konsentrasinya.“Kapan pemeriksaan berikutnya?” tanya Sean yang terlihat sudah tidak sabar.“Minggu depan,” jawab singkat Lila, yang terpaksa menyingkirkan tangan Sean dari perutnya.Karena merasa geli, Lila sampai salah mengikatkan dasi. Sesuatu yang sebenarnya sudah hafal di luar kepala.Kehamilan Lila yang kini memasuki bulan kelima membuat semakin penasaran dengan jenis kelamin bayi kembar mereka.“Bukankah pemeriksaan besok sudah bisa melihat jenis kelamin mereka?”Lila hanya menjawab dengan deheman, saat dia menyelesaikan kegiatan mengikat dasi sampai rapi."Aku yakin mereka perempuan," kata Sean penuh
Sesampainya di rumah, Rina sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi penuh harap. Saat pintu mobil terbuka, ia tersenyum lega melihat Renasya melompat keluar dari sisi lain mobil dan berlari menghampirinya."Mama! Lihat ini!" seru Renasya, mengangkat bola basket kecil yang diberikan Brilian.Rina tersenyum, tetapi segera menggeleng. "Tapi Rena tidak boleh main basket di dalam rumah."Renasya mengerucutkan bibir sambil mengalihkan pandangannya ke arah sang papa. "Tapi Papa tadi sudah izinin."Ryan yang baru turun dari mobil tertawa kecil. "Papa mengizinkan main, tapi di taman kompleks. Bukan di dalam rumah."Renasya tampak kecewa. "Tapi aku mau main sekarang..."Ryan mengusap kepala putrinya. "Kalau Rena mau main basket, bisa main lagi ke rumah Kak Brili."Mata Renasya langsung berbinar. "Beneran, Pa? Aku bisa main sama Kak Brili lagi?"Ryan mengangguk, dan Renasya langsung bersorak gembira. Sementara itu, Rina menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. Ada sesuatu dalam cara
Ryan tertawa lepas di hadapan Sekar, sungguh dia tidak menduga perempuan tegar di hadapannya memiliki selera humor yang cukup aneh baginya.“Apa salahnya kau menitipkan Renasya di rumah ini. sekaligus mendekatkan Brili dan Rena, bagaimana pun mereka itu saudara,” ucap Sekar dengan ekspresi wajah yang datar, meski Ryan belum bisa menghentikan tawanya.“Bukan masalah yang itu,” sahut Ryan sambil menahan tawa.“Ya, apa salahnya kalau kamu menikmati bulan madu bersama Rina untuk melepaskan semua kesedihan?” Sekar terdiam menunggu jawaban dari Ryan.Ryan mengalihkan pandangan sambil menyembunyikan senyum. Ayah satu anak tidak pernah menduga jika dia bisa tertawa lepas bersama Sekar.“Apa salahnya Renasya memiliki adik? Biar dia tidak kesepian.”“Tidak ada yang salah,” jawab Ryan dengan kepala menunduk, tawanya meredup, berganti dengan sesuatu yang lain.Mata Ryan berkaca-kaca, napasnya tersendat. Sekar diam, menunggu, membiarkan kata-kata yang tadi meluncur darinya mengendap dalam diri Rya