Sudah bertahun-tahun Sekar menantikan saat-saat Andika menyerahkan kembali asset keluarganya beserta perusahaan kepada Sean. Menyaksikan Andika kembali ke asalnya dan jatuh miskin di usia tua, akan menuntaskan segala dendam dan sakit hati yang dia rasakan selama ini.Namun, pada saat waktu itu tiba, Sean justru ingin menyembunyikan anaknya dari dirinya. Padahal anak tersebut adalah syarat mutlak dirinya akan mendapat kembali asset keluarganya dan juga Mahendra Securitas.“Mengapa kau mengkhianati Mama, Sean?” tanya Sekar pada dirinya sendiri dengan bulir-bulir bening yang mulai membasahi pipinya.Luka di hatinya terasa semakin meradang karena merasa jika Sean justru berada di pihak papanya, seolah-olah Andika tidak pernah memberikan luka kepada mereka.Sekar menyeka air mata dengan tangan gemetar. “Bagaimana jika ini adalah permintaan terakhir mama? Apakah kau tetap tidak akan menurutinya?”***Sean duduk di kursinya, menatap denah rumah yang sedang dipersiapkannya untuk Lila. Ia mera
Lila terkejut saat melihat Sean sudah berada di dalam apartemennya. Terbiasanya tinggal sendiri, hingga Lila lupa jika dirinya telah memberikan akses masuk kepada Sean, setelah mereka rujuk dan kembali menjadi suami istri.“Aku siapkan air hangat,” ucap Lila setelah menghabiskan susu yang baru saja dia buat.Sean menggeleng lemah sambil terus melangkah mendekati Lila. Setelah jarak terpangkas, Sean meraih gelas di tangan Lila dan meletakkannya di meja dapur.Sean meraih pinggang Lila dengan penuh kehati-hatian, tidak ingin menyakiti Lila saat perut buncit itu membentur tubuhnya.“Aku butuh kehangatan yang lain,” bisik Sean dengan suara lirih dan serak. “Aku pusing,” keluh Sean sambil melabuhkan kepalanya di ceruk leher Lila.“Aku hamil, Sean.” Lila merasa tidak siap mencoba mendorong tubuh tegap Sean.“Tapi masih bisa, kan?” Kalimat tanya ini justru terdengar mengiba, mengharap Lila mewujudkan keinginannya malam ini.Mulut Sean memang meminta izin dengan nada nelangsa, tetapi tanganny
Miranda duduk di sofa, wajahnya murung, menatap jendela dengan pandangan kosong. Hubungan asmaranya dengan Sean yang kandas, menyisakan luka yang mendalam. Meskipun dia memiliki tujuan lain dalam rencana pernikahannya dengan Sean, tetapi cintanya nyata, bukan palsu.Sementara itu, Andreas seolah tidak peduli dengan luka yang mendera hati putrinya. Pria paruh baya itu berdiri di depan Miranda dengan ekspresi terkejut bercampur amarah."Jadi … Sean membatalkan pertunangan kalian? Untuk rujuk dengan mantan istrinya?" Andreas bertanya, suaranya terdengar penuh ragu dan tidak percaya.Bagaimana mungkin putrinya yang cantik dan berprestasi tidak mampu memikat hati Sean. Bahkan harus kalah dari perempuan biasa yang berasal dari keluarga miskin.Miranda mengangguk pelan. "Ya. Dia memutuskan rujuk dengan Lila. Katanya dia ingin bertanggung jawab atas anak mereka."Andreas mengepalkan tinjunya, wajahnya memerah karena marah. "Aku pikir Sean mandul. Bukankah itu yang dia katakana padamu? Lalu ba
Sean menghela napas lega saat mendengar penjelasan Cyrus. Ruang kerjanya yang biasanya membawa kesibukan dan kepenatan kini terasa sedikit lebih ringan dengan kabar ini. Cyrus, pengacara baru yang dia pilih, tersenyum kecil melihat respons Sean.“Semua dokumen sudah saya siapkan. Hanya tinggal menjalani sidang untuk mendapatkan surat nikah kembali,” jelas Cyrus dengan nada tenang.Sean mengangguk, tampak serius, tetapi ada sedikit keraguan di matanya yang tak luput dari pengamatan Cyrus.“Kau yakin dengan pilihan ini?” Cyrus bertanya, sejenak tatap matanya tertuju ke arah Sean. “Saya tahu, masih ada yang membuatmu ragu. Jika kau memutuskan rujuk hanya demi anak, saat kau merasa tidak bahagia dengan hubungan ini … anak yang kembali jadi korbannya.”Sean terdiam, pandangannya menerawang sejenak sebelum menjawab. Meski Cyrus adalah pengacara barunya, tetapi saat membicarakan pernikahan, dia bertindak layaknya seorang sahabat yang tanpa segan memberi nasihat.“Dalam pernikahan, anak tidak
Di apartemen, Lila duduk santai di sofa sambil tertawa bersama Nadya dan Rina. Beberapa cup minuman kekinian dan camilan menutupi meja, menambah suasana hangat obrolan mereka.Meski Lila tidak memesan makanan dan minuman apa pun, Rina yang mengetahui apa yang disukai Lila selama kehamilannya, membawakan jus lemon yang selamanya menjadi minuman pilihan Lila. Bukan hanya karena menyegarkan, tetapi minuman itu membantu Lila menghilangkan rasa mual yang sering datang.“Sejak kamu resign, suasana kantor jadi nggak asik. Tahu nggak? Pak Ryan hampir setiap hari uring-uringan gara-gara laporan nggak beres,” ucap Nadya sambil tertawa kecil.Rina mengangguk setuju. “Bener! Pak Ryan sekarang lebih banyak diam, seperti nggak bersemangat.’”Lila hanya tersenyum, tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Dia pun tidak ingin menceritakan kejadian malam itu, saat Ryan memaksakan kehendaknya untuk menikahinya.Selama ini Ryan sudah banyak membantunya, Lila tidak ingin menjatuhkan reputasi mantan
Sean membuka pintu apartemen dengan tergesa, hampir saja pintu itu terhempas ke dinding. Napasnya memburu, dan tatapannya segera menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang telah memanggilnya dengan suara lemah di telepon.Dalam hitungan detik, dia menemukan Lila tergeletak di lantai ruang tamu, tubuhnya tampak lemas, dengan tangan masih memegangi perutnya yang terasa nyeri.“Lila!” Sean berseru, segera berlutut di samping tubuh istrinya.Wajah Lila pucat, dan napasnya pendek-pendek, terlihat tidak memiliki daya untuk berbicara. Sean merasakan hatinya berdebar cemas, sungguh tak sanggup menahan rasa takut akan kondisi Lila.Tanpa membuang waktu, Sean mengangkat tubuh Lila dengan hati-hati, lalu membawanya keluar menuju mobil. Sean berusaha tetap tenang, meski pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Lila terlihat begitu rapuh di dalam pelukannya. Dan Sean tidak bisa menghilangkan rasa bersalah karena merasa tidak bisa melindungi dan menjaga Lila dan calon anak mereka.Di dalam mobil, Se
Sean duduk diam di samping brankar Lila, tangannya menggenggam tangan Lila yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Dia menatapnya dengan penuh rasa bersalah dan khawatir, seolah berusaha menjaga ketenangan Lila dari segala gangguan.Pintu kamar perlahan terbuka, dan dokter yang menangani Lila melangkah masuk, diikuti oleh seorang asisten yang membawa berkas uji laboratorium. Sean segera berdiri, bersiap mendengar hasil pemeriksaan dengan harapan dan ketakutan bercampur menjadi satu."Pak Sean, kami telah menerima hasil uji laboratorium," ucap sang dokter, pelan tetapi terlihat sangat serius. "Dari sample darah yang kami uji, kami menemukan adanya kandungan zat berbahaya dalam yang bisa berakibat fatal pada kehamilan istri Anda."Sean tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksud dokter?"Sang dokter menghela napas dalam-dalam, meski terlihat berat dia tetap harus menyampaikan temuannya tersebut.“Kami menemukan zat yang biasa digunakan untuk menggugurkan
Lila perlahan membuka matanya, pandangannya masih kabur saat cahaya lampu ruangan menyambutnya. Tubuhnya terasa lemah, dan nyeri samar masih tersisa di perutnya. Saat fokus matanya mulai kembali, dia melihat Sean duduk di samping tempat tidur, kepalanya menunduk, dengan tangan menggenggam jemarinya.Hati Lila tersentuh. Dalam keheningan itu, dia melihat sisi Sean yang jarang terlihat, kesetiaannya yang tanpa kata. Perlahan, dia mengulurkan tangan lemah, menyentuh punggung tangan Sean dengan lembut.Sentuhan itu membuat Sean terbangun dari lamunannya. Dia mendongak, mata mereka bertemu. Sesaat pasangan suami istri itu hanyut dalam keheningan.“Kamu di sini?” Suara Lila nyaris berbisik, ada keharuan dalam nadanya. Dia tidak menduga Sean akan tetap menemaninya, di tengah kesibukannya atau mungkin urusannya dengan Miranda.Sean mengangguk pelan. “Aku akan selalu di sini untukmu … dan anak kita.”Air mata mengalir di pipi Lila. Meski hatinya masih penuh keraguan, kehadiran Sean malam ini m
Setelah beberapa hari menginap untuk memenuhi keinginan putri sulungnya, kini tiba waktunya bagi Waluya dan Inayah kembali. Ada kelegaan di hati mereka, saat Lila bisa memaafkan kesalahan mereka di masa lalu.Lila bukan hanya memaafkan, tetapi menganggap apa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah tantangan menjadi orang tua. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada Lila dan Sean di kemudian hari. Bagaiman mereka dituntut bersikap adil kepada anak-anak mereka.Tidak ada dendam atau pun kebencian. Jika suatu saat kesalahan ini diungkit kembali, hanya sebagai lembar catatan yang dijadikan sebagai pengingat semata.Lila berdiri di depan pintu utama, menatap mobil yang membawa kedua orang tuanya bergerak semakin menjauh. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak menangis.Sean berdiri di sampingnya, tangannya melingkar di pinggang Lila, memberikan kehangatan dan dukungan."Bapak dan ibu tidak pergi selamanya, Sayang," bisik Sean dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Ki
Impian Lila untuk bisa melepas rindu dengan penuh kebahagiaan justru dipenuhi drama yang menyesakkan dada. Bukan karena dia benci atau menyimpan dendam kepada Delisa, tetapi tidak bisa dipungkiri jika ucapan Brilian sangat menyakitkan.Suasana yang semula hangat seketika berubah saat nama Delisa disebut. Brilian yang sebelumnya mulai menerima kenyataan bahwa adik-adiknya laki-laki, kini kembali teringat akan sesuatu, sesuatu yang pernah dijanjikan oleh Delisa kepadanya.Sean dan Lila saling bertatapan, menyadari perubahan ekspresi putra mereka."Brilian?" panggil Sean dengan penuh kehati-hatian.Brilian tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya terlihat berkabut. Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Dulu Tante Delisa bilang… cuma dia yang bisa kasih aku adik perempuan."Hening.Lila merasakan dadanya mencengkeram. Sementara Sean mengejang, rahangnya mengeras seketika."Apa maksudmu, Nak?" tanya Waluya dengan dahi berkerut.Brilian mena
"Bapak, Ibu." suara Lila bergetar antara terkejut dan bahagia. Ia tidak tahu kapan mereka datang, tapi melihat mereka ada di sini membuat hatinya begitu hangat.Tanpa pikir panjang, Lila menoleh ke arah Sean, matanya berbinar penuh rasa syukur. Dia yakin semua ini pasti karena suaminya.Saking bahagianya, tanpa sadar Lila memeluk dan mencium sang suami dengan penuh kehangatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah memenuhi permintaannya.Baru setelahnya, Lila menyadari bahwa semua orang di ruang makan menyaksikan kemesraan mereka. Orang tuanya tersenyum penuh arti, sementara Brilian yang duduk di kursinya malah menutupi wajah dengan kedua tangan."Aduh, Papa Mama! Aku lagi makan!" protesnya dengan wajah memerah.Lila terkekeh malu, sementara Sean justru tertawa bangga. "Biarin, Brilian. Papa cuma dapat sedikit jatah perhatian dari Mama kamu sekarang, jadi harus dimanfaatkan," ucap Sean dengan santai, menggoda putranya.“Ayo!” Sean menggandeng tangan Lila, mengantarnya menuju ke ked
Sean tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan istrinya. “Apa pun hasilnya, aku hanya ingin kamu dan bayi-bayi kita sehat. Itu yang paling penting.”Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang, membiarkan harapan itu tetap ada, namun tanpa terlalu terikat padanya.Lila menatap Sean penuh haru. Di dalam hatinya, ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Seorang gadis sederhana yang tumbuh dalam keluarga biasa, kini berada di sisi pria sebaik Sean. Ia tidak hanya menikahi laki-laki yang mencintainya dengan tulus, tetapi juga seseorang yang selalu menjadikannya prioritas dalam hidupnya.Namun, kenyataan yang lucu adalah bahwa di dalam keluarga Wismoyojati, Sean justru menjadi yang paling ‘miskin’. Bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam kepemilikan aset. Sekar, dengan ketegasan dan kecermatannya, sudah membagi saham perusahaan tanpa memanjakan putranya sendiri.Sekar masih memegang kendali dengan lima puluh persen saham, memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang bena
Sean yang sejak tadi mendengar dengan saksama langsung menggenggam tangan Lila, merasakan kecemasan yang mulai mengalir dari istrinya.“Tapi kondisi Lila dan bayi sehat, kan, Dok?” tanya Sean memastikan bahwa tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lebih jauh.Dokter Amira mengangguk. “Benar. Semua hasil pemeriksaan sejauh ini sangat baik. Berat bayi dalam rentang normal, tekanan darah Lila juga stabil, tidak ada indikasi komplikasi. Yang perlu kita perhatikan adalah menjaga agar semuanya tetap seperti ini sampai waktu persalinan tiba.”Lila menunduk sejenak, mencerna semua yang dikatakan oleh dokter. Ia mengerti, tetapi di dalam hatinya, ada sedikit kekecewaan.Bukan tentang adu nyali merasakan proses persalinan normal seperti kebanyakan ibu lainnya, tetapi Lila memiliki sejarah buuk dengan persalinan secara caesar.“Jadi, yang paling penting sekarang adalah memastikan Lila tidak terlalu lelah, tetap menjaga pola makan, dan menghindari stres.” Dokter Amira melanjutkan kalimatnya deng
Sekar berdiri di tengah ruangan, tatap matanya menyapu seluruh karyawan Mahendra Securitas yang telah berkumpul. Suaranya tegas namun tetap bersahabat saat dia melontarkan pertanyaan."Apakah kalian mengenal Marina Adriana?"Sejenak suasana hening, lalu beberapa karyawan lama saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan mantap. Nama itu bukanlah nama asing bagi mereka. Rina, begitu mereka biasa memanggilnya, adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Mahendra Securitas.Sekar tersenyum kecil, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, "Nah, kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan suaminya."Sekar menoleh ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya. "Yang berdiri di sampingku ini adalah Ryan Aditya Mahendra, suami dari Marina Adriana. Dan mulai hari ini, dia yang akan menggantikan posisi Lila sebagai pemimpin di Mahendra Securitas."Tawa meriah langsung memenuhi ruangan. Tidak hanya karena cara Sekar memperkenalkan Ryan, tetapi juga karena Ryan sendiri bukanlah
Lila menghela napas panjang sambil merapikan meja kerjanya. Semua dokumen penting sudah disortir, file-file tersusun rapi, dan barang pribadinya mulai dikemasi. Esok hari, Ryan sudah akan menggantikan posisinya.Saat itu, pintu ruangannya diketuk. Lila menoleh dan melihat Ryan berdiri di ambang pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum Lila melempar senyum dan memberi isyarat agar adik iparnya itu masuk.Di hadapan banyak orang, mereka bisa bersikap biasa saja. Profesional, seperti dua rekan kerja yang hanya berbagi tanggung jawab. Namun, saat hanya berdua, kecanggungan itu muncul begitu saja.Ryan berjalan mendekat, melihat meja yang hampir kosong. “Jadi, ini hari terakhirmu di sini,” ucap Ryan yang mencoba bersikap santai kala berhadapan dengan Lila.Lila mengangguk. “Ya. Besok semua yang ada di sini sudah menjadi tanggung jawabmu.”Ryan menatap sekeliling. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Bukan tentang masa lalu dirinya yang sudah pernah berada di posisi Lila, tetapi tenta
Anggap saja nekat, Sekar kembali melakukan pertemuan dengan Tetapi pertemuan mereka tidak seprivate pertemuan-pertemuan terdahulu. Mereja hanya melakukan pertemuan sambil makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ryan.Wajah Sekar tetap tampak serius seperti biasanya, mencerminkan kegelisahan yang sudah ia tahan sejak pagi. Senyum sumir terukir di bibir Sekar saat Ryan duduk tepat di hadapannya.“Kau sudah urus pengunduran dirimu?” tanya Sekar tanpa basa-basi.Ryan mengangkat kepala, melihat Sekar yang tampak terburu-buru. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Tinggal menunggu serah terima saja. Masih ada beberapa tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”Sekar menatapnya lekat, seakan memastikan bahwa Ryan benar-benar serius dengan keputusannya.“Tapi aku pastikan awal bulan nanti aku sudah bisa ke Mahendra Securitas,” lanjut Ryan dengan nada meyakinkan.Seketika ketegangan di wajah Sekar mereda. Ada kelegaan di matanya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu
Sean menyendiri di ruang kerja, bukan karena banyaknya pekerjaan yang belum dia selesaikan, tetapi ada beban pikiran lain yang sulit dia singkirkan. Dan dia tidak ingin Lila mengetahuinya.Sekar yang sedang mengambil air minum di dapur melihat lampu ruang kerja putranya belum juga padam. Hal itu membuatnya penasaran hingga ingin melihat dan mengetahui apa yang sedang dilakukan putranya saat tengah malam begini.Sekar berjalan pelan menuju ruang kerja Sean. Ia melihat putranya duduk di belakang meja, bahunya sedikit membungkuk, tatapan matanya kosong menatap layar laptop yang bahkan belum menyala.“Sean?” panggil Sekar lembut.Sean mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “Ma?”Sekar melangkah masuk, menaruh gelas air yang dibawanya di meja. “Kamu belum tidur?”Sean menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Belum ngantuk.”Sekar mengamati wajah putranya yang terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang mengganggu