Sean tiba di kamar rawat Lila dengan langkah cepat, wajahnya tegang penuh kemarahan yang ditahan. Ia membuka pintu dengan sedikit terlalu keras, membuat Lila yang sedang berbaring terkejut. Sean mendekati brankarnya, tatapan tajam matanya langsung mengarah ke Lila."Siapa yang memesan jus lemon itu untukmu?" tanya Sean dengan nada tegas, tanpa basa-basi dan terdengar seperti sedang menginterogasi.Lila menatap Sean, bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba. “Rina,” jawab Lila pelan, jujur apa adanya.Suara Lila terdengar masih lemah. “Dia membawanya untukku. Aku biasa memesan jus lemon saat makan siang bersama. Ada apa, Sean?”Sean menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam emosinya, tetapi tetap tidak mampu menyembunyikan amarahnya. “Kau tahu apa yang membuatmu sampai terbaring di sini? Dan kita hampir saja kehilangan anak kita?”Lila menggeleng lemah, dengan sorot mata yang terlihat ketakutan dengan perubahan sikap Sean yang sepertinya mulai dikuasai oleh amarah.“Jus lemon yang di
Sean berjalan cepat menyusuri lorong bersama Rangga yang berusaha menenangkannya. "Aku harap Mas Sean tidak gegabah, mereka hanya perempuan. Kita tanya mereka dengan baik-baik, tidak perlu pakai kekerasan," ujar Rangga, berusaha menahan ketegangan di antara langkah mereka.Sean hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, rahangnya mengeras. Amarahnya tertahan, tetapi jelas terpancar dari caranya berjalan dan tatapan matanya yang tajam. Ketika mereka sampai di sebuah pintu besar di ujung lorong, Sean berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mendorong pintu itu dengan kuat.Di dalam ruangan, Rina dan Nadya duduk berdampingan di kursi kayu yang keras. Wajah mereka pucat, mata mereka penuh ketakutan. Saat pintu terbuka, mereka serempak menoleh. Rina menelan ludah, sementara Nadya menggenggam tangannya erat. Keduanya tampak bingung dan cemas.Sementara itu terlihat Selo Ardi dan beberapa anak buahnya yang berjaga di sana. Memastikan semua berjalan dengan lancar tanpa kendala yang berarti.S
Lila duduk di ruang pemeriksaan, wajahnya masih terlihat pucat tetapi senyum kecil menghiasi bibirnya. Keadaannya telah jauh membaik setelah mendapatkan perawatan intensif.Tetapi sebelum diizinkan pulang, Lila masih harus menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan kondisinya benar-benar stabil.Dokter Amira masuk ke ruangan dengan clipboard di tangannya. Senyumnya ramah seperti biasa, tetapi ia sedikit terkejut melihat seorang pria duduk di samping Lila.Sean itu berdiri, menjabat tangan Dokter Amira dengan sopan. “Perkenalkan saya Sean, suami Lila,” ujar Sean tegas, terdengar sangat tenang.Dokter Amira terdiam sejenak, matanya bergantian memandang Lila dan Sean. “Suami?” tanya Dokter Amira terlihat ragu. Seingatnya Lila pernah mengatakan kalau dirinya janda pada saat melakukan pemeriksaan.Lila tersenyum canggung, sementara Sean segera menjawab dengan santai, untuk menghilangkan rasa penasaran dan kecurigaan pada dokter yang sedang memeriksa istrinya.“Kami memutuskan untuk ru
Setelah hampir satu jam berkendara, mobil berbelok ke sebuah gerbang besar yang otomatis terbuka. Lila tercengang melihat apa yang ada di depan mereka. Sebuah rumah megah dengan arsitektur modern berdiri di tengah halaman luas yang dihiasi taman hijau yang rapi. Sebuah pemandangan yang selama ini hanya ada di mimpinya.Sean menghentikan mobil di depan pintu utama dan turun lebih dulu. Ia berjalan memutari mobil, membukakan pintu untuk Lila.“Selamat datang di rumah baru kita,” ucap Sean sambil mengulurkan tangan.Lila keluar dari mobil, matanya tak bisa lepas dari rumah itu. “Sean … ini rumah kita?” tanyanya pelan, seolah takut jawabannya hanya lelucon.Sean mengangguk, menatapnya penuh cinta. “Aku tahu kau selalu ingin tempat seperti ini. Tempat yang bisa kita sebut rumah, tempat anak kita tumbuh dengan bahagia.”Air mata menggenang di pelupuk mata Lila. “Sean … terima kasih,” bisiknya, lalu memeluk pria itu dengan erat.Sean pun membalas pelukan itu, merasakan kehangatan yang tidak
Ratusan komentar memenuhi unggahan terakhir Lila. Konten yang seharusnya mengedukasi Masyarakat pada saat perekonomian tidak pasti, justru menjadi ladang hujatan untuk dirinya. Mata Lila terpaku pada kata-kata penuh amarah dan kebencian.‘Dasar pelakor’‘Kau menghancurkan hidup Miranda’‘Tampang B aja rebut kekasih orang, paling modal selangkangan’Cacian itu datang seperti badai, membanjiri setiap kolom komentar dan pesan langsung. Lila menelan ludah, tangannya gemetar saat ia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.Ia membuka salah satu unggahan akun gosip yang viral. Di sana terpampang foto dirinya dan Sean, disertai narasi yang menyebutkan bahwa Sean adalah tunangan Miranda sebelum menikahi Lila. Komentar-komentar pedas dari netizen menyudutkannya tanpa ampun.Lila merasa dadanya sesak. Air matanya mulai menggenang, jatuh tanpa bisa ia tahan."Ini tidak benar," gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Lila menggulir layar, berharap menemukan sesuatu yang bi
“Apa yang terjadi pada Rina, Nad?” tanya Lila untuk menuntaskan rasa penasarannya. Perempuan hamil itu tidak ingin hatinya terus bertanya-tanya.Nadya terdengar ragu, tetapi akhirnya berbicara dengan cepat, seakan takut kehilangan keberanian. “Saat ini Rina ditahan polisi, Lil. Mereka menuduhnya Rina sebagai pelaku insiden jus lemon. Aku tahu kamu marah, tapi aku mohon dengarkan aku dulu.”Lila merasa penjelasn dari Nadya bukan hanya untuk dirinya saja, mengetahui suaminya masih berada di dekatnya dengan sengaja Lila mengeraskan suara ponselnya, agar Sean juga bisa mendengarkan percakapan tersebut, sehingga dia tidak perlu untuk mengulang penjelasan dari Nadya lagi.Dengan terpaksa turut mendengarkan ucapan Nadya. Dia pun segera duduk di samping Lila dan membawakan meraih ponsel untuk diletakkan di nakas. Baginya terlalu berbahaya untuk Lila terus memegang ponsel yang masih dalam keadaan diisi dayanya.Sementara itu, Nadya melanjutkan kalimatnya dengan suara yang bergetar. “Lila, aku
“Maaf jika tidak sempurna, tapi aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian,” ucap Sean sambil meraih tangan Lila. Suaranya terdengar dalam, serak, penuh penyesalan.Tetapi sepertinya kata-kata itu tidak memadamkan amarah yang menyala di mata Lila.“Aku tidak menuntut kesempurnaan, karena aku tahu kau tidak mungkin bisa memberikannya.” Lila menjeda kalimatnya menatap tajam ke arah mata Sean. “Tapi kau juga harus mengakui jika masalah yang menimpaku akhir-akhir ini justru ada karena kehadiranmu di hidupku.”Sean terkesiap. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Lila terasa seperti tamparan bolak-balik di pipinya.“Bukan seperti itu.” Sean menyanggah ucapan Lila. Dia merasa tidak terima dengan tuduhan tersebut. Hingga suaranya meninggi tanpa sadari. “Aku akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tapi masalah Ryan … itu tidak sesederhana yang kau pikirkan dan sangat rumit.”Nama Ryan. Hanya mendengarnya saja sudah cukup untuk membuat dada Sean terasa sesak. Ia mengepalkan t
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob
Sean menatap Lila dengan frustrasi yang memuncak, namun dia menahan diri agar tidak kehilangan kontrol. Sean tidak habis pikir, mengapa perempuan bisa begitu enteng mengucap kata cerai, dan begitu lantang menantang talak. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya sebelum berbicara lagi. "Lila, aku tidak tahu kenapa kamu terus menantangku seperti ini. Aku hanya sedang berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu dan anak kita." Lila mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, seolah tidak mempedulikan ucapan Sean. Tatap mata tajam Sean tidak absen dari wajah Lila. "Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuanku, jangan salahkan aku kalau aku akan mengurungmu sampai waktu yang tidak ditentukan. Bahkan untuk pemeriksaan kehamilan atau persalinan nanti, aku bisa mendatangkan dokter ke rumah. Aku serius, Lila. Jangan uji kesabaranku." Lila terdiam, wajahnya yang tadi dipenuhi emosi perlahan berubah menjadi ketegangan. Dia tahu Sean tidak main-main dengan a
Sean duduk di kursinya, mendengarkan Bella membacakan jadwal pertemuan dengan beberapa klien penting esok hari. Bella, seperti biasa, berbicara dengan tenang dan rinci, memastikan tidak ada detail yang terlewat.Namun, Sean terlihat gelisah. Berulang kali pandangannya melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Waktu terasa bergerak lambat, seolah menguji kesabarannya. Bella, yang menyadari Sean tidak fokus, berhenti sejenak, menatap bosnya dengan pandangan penuh tanya.“Maaf Pak, apakah ada yang salah? Haruskah saya menunda pertemuan ini?” tanya Bella hati-hati.Sean menggeleng pelan, menghela napas panjang. “Tidak, teruskan saja.”Bella mengangguk, melanjutkan pembahasannya dengan nada lebih singkat, memahami Sean tampaknya ingin segera menyelesaikan diskusi.Ketika jarum jam menunjukkan pukul lima sore, Sean berdiri tanpa menunggu Bella selesai. “Cukup untuk hari ini. Saya harus pergi,” ucap Sean sambil meraih jasnya.Bella menunduk sopan. “Baik, Pak Sean. Selamat sore.”Sean keluar
Sean mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mengembuskan napas panjang yang berat. Di depan pintu kamar itu, dia berdiri terpaku, seperti anak kecil yang ditinggalkan sendirian di tengah malam. Handle pintu terasa dingin di tangannya, tapi dia tahu pintu itu tak akan terbuka untuknya malam ini. “Aku pusing, La!” ucapnya lirih, hampir seperti gumaman yang hanya dia sendiri yang mendengarnya. Sebenarnya Sean bisa membukan pintu itu dengan kunci cadangan yang dia simpan agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan malam ini, tetapi akal sehatnya berbisik agar dia mengalah, memberi ruang kepada Lila untuk menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Sean menghembuskan napas secara kasar, menjauhkan tangannya dari handle pintu. Selama ini dia selalu menertawakan cerita-cerita tentang suami yang dihukum oleh istrinya tidur di luar kamar. Itu terdengar konyol, lelucon ringan di sela obrolan lelaki. Tetapi kini, saat dia harus mengalaminya sendiri, Sean merasa malam itu begitu mencekam. Se
“Aku tidak bisa menerima alasanmu Sean.” Suara Lila terdengar tenang namun penuh penegasan.Sean menggelengkan kepala, mencoba mengatur napas yang terasa berat. “Aku tahu aku salah, tapi aku mohon kau bisa memahami posisiku.”“Posisi yang mana?” Lila memandangnya dengan tatapan yang menusuk, membuat Sean semakin merasa bersalah. “Karena Ryan adalah adikmu, kau ingin mengorbankan Rina demi menutupi semua kesalahannya?”“Maafkan aku.” Sean menjawab lirih. “Aku sudah melepaskan Rina dari segala tuntutan. Lalu di mana salahnya?”“Kau belum membersihkan nama baiknya, Sean,” balas Lila dengan nada tajam. “Tuduhan yang kau berikan kepada Rina adalah kejahatan yang serius. Itu akan menghantui langkahnya di masa depan.”“Aku akan meminta maaf kepadanya, dan memberi kompensasi yang besar, kalau perlu aku akan membuat pernyataan public untuknya.”Lila menggeleng pelan, senyuman getir menghiasi wajahnya. “Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, Sean. Termasuk hubungan kita.”Sean terte
Sean menghembuskan napas kasar, suaranya terdengar seperti desah lelah yang menahan beban tak kasat mata. Dengan gerakan cepat, dia melonggarkan dasinya. Wajahnya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan, tatapan matanya redup, nyaris kosong.Sean merasakan Tuhan benar-benar sedang mengujinya dengan memberikan masalah secara bersamaan bahkan tanpa memberinya jeda, seolah tidak mau antri, datang satu per satu.Sean membimbing Lila untuk duduk bersamanya. Diraihnya tangan sang istri lalu digenggan dengan erat. “Penjelasan seperti apa yang kau inginkan?” tanyanya lirih, ada getar lembut yang sulit ditutupi.Lila menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. “Aku ingin tahu tentang Sean Anugrah Mahendra. Dan pria dewasa dalam foto keluarga itu. Siapa mereka sebenarnya?”Pertanyaan itu menghantam Sean seperti pukulan keras. Napasnya tertahan sesaat. Wajahnya berubah kaku, tapi ia tahu ini adalah batas akhirnya. Rahasia yang selama ini ia lindungi seperti benteng kokoh kini mulai
Dengan langkah anggun, Sekar masuk ke ruang kerja Sean tanpa menunggu undangan. Wajahnya dihiasi senyum ramah yang kontras dengan atmosfer tegang di ruangan itu. "Mama kangen, sudah lama sekali kamu tidak mampir ke rumah," ucap Sekar sambil duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Rangga. "Sesibuk apa kalian sampai tidak pernah mengunjungi mama?" Sean hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai upaya menahan diri daripada rasa hangat. "Seperti yang Mama lihat," jawab Sean singkat. Sekar mengabaikan nada datar itu dan melanjutkan, "Mama kangen, Sean. Kangen Lila juga. Sejak kalian rujuk, kalian belum pernah datang ke rumah? Apa kehamilannya berjalan lancar?" Sean menatap ibunya, matanya penuh kehati-hatian. "Lila baik-baik saja," katanya, mencoba mengakhiri pembicaraan. Namun, Sekar tampaknya tidak mudah menyerah. "Ajak dia ke rumah, Sean. Mama ingin menghabiskan waktu dengan menantu mama," lanjut Sekar, kali ini dengan nada memohon. Sean hanya membalas dengan senyum ya
Lila memegang erat piagam yang baru saja dia ambil. Namanya jelas tertera, Sean Anugrah Mahendra. Sebuah nama yang asing bagi dirinya, sangat berbeda dengan nama lengkap suaminya yang selama ini dia ketahui. Kening Lila berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah ini Sean yang sama? Atau dua orang yang berbeda. Seolah lupa dengan tujuan awal mendatangi Gudang, Lila justru mencari petunjuk lain untuk mengetahui nama lengkap suami yang sebenarnya. Lila membuka beberapa kardus yang tertutup rapi, setelah menemukan beberapa piagam penghargaan untuk olimpiade sains nasional dan beberapa turnamen basket antar sekolah, akhirnya Lila menemukan beberapa foto lama. Dengan hati-hati, dia mengambilnya dan mengamati lebih dekat foto lama yang telah usang. Dalam foto itu, terlihat seorang wanita yang langsung dia kenali sebagai ibu Sean, memeluk seorang anak laki-laki kecil yang juga jelas adalah Sean di masa kecilnya. Namun, pria dewasa yang berdiri di samping mereka membuat Lila tertegun.
Sean menatap Lila dengan tatapan putus asa. "Tolong, Lila. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Beri aku satu kesempatan lagi." Lila menggeleng perlahan, suaranya penuh luka yang terpendam lama. "Dua tahun pernikahan kita adalah kesempatan bagi kamu untuk belajar mencintaiku. Tapi selama dua tahun itu, yang kamu lakukan hanyalah hidup dalam bayang-bayang Miranda. Kamu begitu dingin, seolah aku tidak ada di matamu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana kamu terus mengabaikanku." Sean terdiam, kata-kata Lila terdengar seperti sedang menguliti semua kesalahannya. "Maaf.” Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Sean, seolah semua kata yang ada di otaknya raib dari memorinya. "Sebenarnya ada banyak kesempatan yang kau miliki, tetapi ternyata kau selalu menyia-nyiakannya." Suara Lila terdengar tegas. "Saat kau memutuskan rujuk, harusnya kau sadar, itu adalah kesempatan terakhir yang kau miliki. Saat itu aku berharap kamu sud
Sean duduk di kursinya dengan ekspresi yang sulit ditebak, layar laptop di depannya menampilkan video yang diunggah Nadya di media sosial.Sebelumnya Sean tidak pernah peduli dengan platform semacam itu, tapi kali ini dia tak bisa mengalihkan perhatian. Nadya berbicara dengan nada tenang namun penuh emosi, menjelaskan kisah yang selama ini tidak pernah Sean ketahui.“Saya bertemu dengan Lila di Mahendra Securitas. Beberapa teman pria mencoba mendekatinya, tapi dengan jujur dia mengatakan status jandanya,” ujar Nadya dalam video itu.Sean mengepalkan tangannya dengan kuat seolah ingin menyalurkan amarah yang tidak dia ketahui penyebabnya.“Aneh, kejujurannya tidak mendapat apresiasi tetapi justru stigma buruk sebagai seorang janda. Di tempat kerja, banyak yang berbisik di belakangnya.” Nadya menundukkan kepala, seolah berat untuk mengungkap kebenaran. Karena mengingatnya, membuat Nadya merasa bersalah menjadi salah satu dari bagian mereka.“Apa lagi saat mengetahui Lila sedang hamil. M