Setelah hampir satu jam berkendara, mobil berbelok ke sebuah gerbang besar yang otomatis terbuka. Lila tercengang melihat apa yang ada di depan mereka. Sebuah rumah megah dengan arsitektur modern berdiri di tengah halaman luas yang dihiasi taman hijau yang rapi. Sebuah pemandangan yang selama ini hanya ada di mimpinya.Sean menghentikan mobil di depan pintu utama dan turun lebih dulu. Ia berjalan memutari mobil, membukakan pintu untuk Lila.“Selamat datang di rumah baru kita,” ucap Sean sambil mengulurkan tangan.Lila keluar dari mobil, matanya tak bisa lepas dari rumah itu. “Sean … ini rumah kita?” tanyanya pelan, seolah takut jawabannya hanya lelucon.Sean mengangguk, menatapnya penuh cinta. “Aku tahu kau selalu ingin tempat seperti ini. Tempat yang bisa kita sebut rumah, tempat anak kita tumbuh dengan bahagia.”Air mata menggenang di pelupuk mata Lila. “Sean … terima kasih,” bisiknya, lalu memeluk pria itu dengan erat.Sean pun membalas pelukan itu, merasakan kehangatan yang tidak
Ratusan komentar memenuhi unggahan terakhir Lila. Konten yang seharusnya mengedukasi Masyarakat pada saat perekonomian tidak pasti, justru menjadi ladang hujatan untuk dirinya. Mata Lila terpaku pada kata-kata penuh amarah dan kebencian.‘Dasar pelakor’‘Kau menghancurkan hidup Miranda’‘Tampang B aja rebut kekasih orang, paling modal selangkangan’Cacian itu datang seperti badai, membanjiri setiap kolom komentar dan pesan langsung. Lila menelan ludah, tangannya gemetar saat ia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.Ia membuka salah satu unggahan akun gosip yang viral. Di sana terpampang foto dirinya dan Sean, disertai narasi yang menyebutkan bahwa Sean adalah tunangan Miranda sebelum menikahi Lila. Komentar-komentar pedas dari netizen menyudutkannya tanpa ampun.Lila merasa dadanya sesak. Air matanya mulai menggenang, jatuh tanpa bisa ia tahan."Ini tidak benar," gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Lila menggulir layar, berharap menemukan sesuatu yang bi
“Apa yang terjadi pada Rina, Nad?” tanya Lila untuk menuntaskan rasa penasarannya. Perempuan hamil itu tidak ingin hatinya terus bertanya-tanya.Nadya terdengar ragu, tetapi akhirnya berbicara dengan cepat, seakan takut kehilangan keberanian. “Saat ini Rina ditahan polisi, Lil. Mereka menuduhnya Rina sebagai pelaku insiden jus lemon. Aku tahu kamu marah, tapi aku mohon dengarkan aku dulu.”Lila merasa penjelasn dari Nadya bukan hanya untuk dirinya saja, mengetahui suaminya masih berada di dekatnya dengan sengaja Lila mengeraskan suara ponselnya, agar Sean juga bisa mendengarkan percakapan tersebut, sehingga dia tidak perlu untuk mengulang penjelasan dari Nadya lagi.Dengan terpaksa turut mendengarkan ucapan Nadya. Dia pun segera duduk di samping Lila dan membawakan meraih ponsel untuk diletakkan di nakas. Baginya terlalu berbahaya untuk Lila terus memegang ponsel yang masih dalam keadaan diisi dayanya.Sementara itu, Nadya melanjutkan kalimatnya dengan suara yang bergetar. “Lila, aku
“Maaf jika tidak sempurna, tapi aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian,” ucap Sean sambil meraih tangan Lila. Suaranya terdengar dalam, serak, penuh penyesalan.Tetapi sepertinya kata-kata itu tidak memadamkan amarah yang menyala di mata Lila.“Aku tidak menuntut kesempurnaan, karena aku tahu kau tidak mungkin bisa memberikannya.” Lila menjeda kalimatnya menatap tajam ke arah mata Sean. “Tapi kau juga harus mengakui jika masalah yang menimpaku akhir-akhir ini justru ada karena kehadiranmu di hidupku.”Sean terkesiap. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Lila terasa seperti tamparan bolak-balik di pipinya.“Bukan seperti itu.” Sean menyanggah ucapan Lila. Dia merasa tidak terima dengan tuduhan tersebut. Hingga suaranya meninggi tanpa sadari. “Aku akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tapi masalah Ryan … itu tidak sesederhana yang kau pikirkan dan sangat rumit.”Nama Ryan. Hanya mendengarnya saja sudah cukup untuk membuat dada Sean terasa sesak. Ia mengepalkan t
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
Meski sudah meminta Selo Ardi untuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Lila, tetapi Sean tetap melaporkan hilangnya Lila ke pihak kepolisian.Kini Sean sudah berada di kantor polisi, duduk di ruang pelaporan kepolisian dengan wajah tegang. Di sebelahnya, Cyrus, pengacara barunya, sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang mereka bawa. Mereka telah melampirkan semua yang diminta, foto terbaru Lila, identitas lengkap, hingga laporan kronologis kejadian.Namun, tanggapan dari pihak kepolisian terasa hambar dan normatif. Sangat tidak memuaskan bagi Sean yang sedang dilanda kepanikan yang sangat.“Kami akan mencatat laporan ini dan memulai penyelidikan,” ucap sang petugas dengan nada datar. “Tolong tunggu kabar berikutanya dari kami.”Sean mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak. “Istri saya hilang, dia sedang hamil, Pak. Dan Anda hanya meminta saya menunggu?W aktu adalah segalanya di sini. Setiap detik yang terbuang bisa memperbesar risiko!”Petugas itu menatap Sean deng
Sean mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya fokus menatap jalan yang seakan memanjang tanpa ada ujungnya. Hati Sean penuh kecemasan, bayangan Lila memenuhi pikirannya.Jemari Sean menggenggam setir dengan erat, mencoba menekan rasa panik yang terus menghantui.Lampu jalan yang melesat di kedua sisinya tak ia hiraukan. Setiap detik terasa begitu berharga, seakan jarak menuju mall tempat Lila berbelanja menjadi lebih panjang dari seharusnya.“Di mana kamu, Lil?” tanya Sean pelan sambil melirik ponsel yang berada di sampingnya, berharap sang istri segera menghubungi dan memberi kabar.Setibanya di mall, Sean langsung turun dari mobil tanpa memedulikan valet yang berlari mendekat. Di kantor keamanan gedung, dia melihat sopir pribadinya berdiri dengan wajah tegang.Sean menghampirinya dengan langkah cepat, kemarahannya tak lagi bisa ia tahan. Hingga akhirnya kepalan tangan Sean mendarat di tubuh pria tegap itu.“Bagaimana mungkin kau tidak tahu dia menghilang?” Suara Sean m
Bella terlihat sudah siap untuk pulang kantor. Namun sebelum meninggalkan gedung, dia menghampiri ruang kerja Sean terlebih dahulu, seolah ingin memastikan sesuatu. Dengan langkah ragu, dia mengetuk pintu dan masuk setelah mendengar izin.“Pak Sean, apakah benar Bapak akan lembur malam ini?” tanya Bella sambil berdiri di dekat pintu. “Jika ada yang bisa saya bantu, mungkin menyiapkan beberapa berkas atau pesan makan malam, tolong beri tahu saya.”Sean mengangkat wajahnya dari layar komputer, menatap Bella sekilas sebelum menjawab, “Tidak perlu. Semua sudah bisa saya tangani sendiri.”Bella tersenyum tipis, lalu berkata dengan hati-hati, “Mungkin Pak Sean bisa pertimbangkan makan malam dulu, agar tetap fit. Saya bisa pesan makanan favorit Pak Sean.”Sean menghela napas pendek, mengingat makan siang pesanan Bella sebelumnya yang membuatnya harus tetap waspada. Apalagi setelah ini dia akan sendirian di kantor, jika sampai Bella melanjutkan rencananya, tidak mudah bagi Sean untuk melepask
Lila melangkah di sepanjang lorong pusat perbelanjaan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Sejak kehamilannya, momen seperti ini jarang terjadi. Langkahnya ringan, seolah seluruh beban yang selama ini menghimpit telah terangkat. Di sampingnya, Bi Siti membawa beberapa kantong belanjaan sambil tertawa kecil, dipenuhi kegembiraan. Hanya sekedar menemani belanja saja Bi Siti mendapat banyak hadiah yang tidak terduga dari Lila. Wajah wanita paruh baya itu cerah, seperti tak percaya nasib baik hari ini. “Bi, pilih apa saja yang Bi Siti suka,” ucap Lila sambil menunjuk deretan toko di sekeliling mereka. Suaranya hangat, penuh ketulusan. “Ah, Mbak Lila, ini saja sudah terlalu banyak,” jawab Bi Siti. Namun, matanya berbinar-binar menatap tas dan baju baru yang telah dibelikan untuknya. Dalam hati, ia bersyukur karena majikannya begitu baik hati. Mereka terus berjalan, menikmati suasana pusat perbelanjaan yang ramai hingga lelah mulai melanda. Lila melirik jam tangannya. “Kita makan siang du
"Halo, Sayang," sapa Sean dengan nada lembut yang jarang Bella dengar. Bella langsung tahu bahwa panggilan itu untuk Lila, istrinya. Bella mencoba terlihat sibuk dengan catatannya, tetapi telinganya menangkap setiap kata. "Aku baru baca pesanmu," lanjut Sean. "Kamu mau keluar rumah untuk belanja? Apa saja yang belum terbeli?" Bella menahan napas. Bukan hanya jarang menunjukkan sisi lembut yang seperti itu di kantor, tetapi Sean juga tidak pernah menunjukkan perhatian kepada Lila sebelumnya. "Dengan siapa kamu pergi?" tanya Sean lagi, nadanya berubah sedikit tegang. Jawaban Lila tentu tidak terdengar oleh Bella, tetapi Sean menganggukkan kepala. "Bi Siti?" gumam Sean pelan. "Baiklah, tapi hati-hati, ya. Aku sebenarnya ingin menemani, tapi ..." Sean melirik jam tangannya, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi. "Kamu tahu jadwal kerjaku masih padat sampai hari cuti," lanjutnya dengan nada berat. "Sering-sering kasih kabar, ya? Kalau bisa, jangan terlalu lama di luar." Bella meliha
Sean melangkah masuk ke kantornya dengan langkah tegas seperti biasa, tetapi matanya segera menyapu ruangan resepsionis. Bella, sekretaris pribadinya yang selalu sigap menyambutnya di pagi hari, tidak terlihat di tempat. Alisnya berkerut. “Bella belum datang?” tanyanya pada salah satu staf yang sedang sibuk di meja depan. Staf itu mendongak dengan sedikit ragu, “Sepertinya belum, Pak. Saya belum melihatnya sejak pagi.” “Kalau Bella sudah datang, suruh dia langsung ke ruangan saya,” perintah Sean singkat, tetapi sarat otoritas. “Baik, Pak,” jawab Staf itu sambil mengangguk patuh. Sean melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Pikirannya berusaha mengabaikan ketidakhadiran Bella, lalu membenamkan diri dalam tumpukan berkas yang harus segera ditinjau dan ditandatangani. Pena di tangannya bergerak cepat, matanya tajam meneliti setiap detail dokumen. Sesekali dia menghela napas panjang, mencoba menjaga fokus. Setelah beberapa saat, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. S
Pagi itu, Sean tampak lebih tenang. Tetapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah justru bertingkah seperti anak kecil yang manja di hadapan Lila.Berdiri saling berhadapan, Sean menatap istrinya dengan senyum jahil. Pandangannya tidak pernah absen dari wajah Lila yang sibuk merapikan kemejanya.“Sean, jangan bergerak,” tegur Lila sambil berusaha memasang dasi suaminya. Namun, Sean malah menyelipkan kedua tangannya di pinggang Lila, menariknya mendekat dengan gaya bercanda.“Sean! Apa yang kau lakukan?” Lila mengerutkan dahi, mencoba menjaga fokusnya. Namun, Sean hanya terkekeh, wajahnya tampak puas.“Aku hanya ingin memeluk istriku. Salahkah aku?” goda Sean, matanya berbinar. Lila mendesah keras, mencoba melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.Saat Lila berhasil melonggarkan dasi yang terlipat, Sean tiba-tiba mencoba mencuri ciuman. Lila mendelik, lalu dengan refleks memukul dada Sean.“Sean! Jangan seperti ini, kau sudah terlambat!
Lila mendengus kasar, mengembuskan napas berat seperti mencoba menyingkirkan emosi yang menggelayut. Sorot matanya yang tajam kini meredup, menyisakan lelah yang tak tertahankan. Ia menatap Sean sekilas, namun dengan cepat memutus kontak mata.Tak ada gunanya, pikir Lila. pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa arah hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan. Pembicaraan mereka malam ini sepertinya tidak akan mencapai titik temu dengan mudah, akhirnya Lila memutuskan untuk mengabaikan Sean dan mengistirahatkan tubuhnya.Dengan sedikit kepayahan, Lila menggeser tubuhnya. Tangannya meraih selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang, lalu menariknya hingga menutupi tubuh. Ia membelakangi Sean, mengisyaratkan akhir dari percakapan“Lil!” Sean memanggil, suaranya menggema dalam kamar yang sunyi.Meskipun belum tidur, tetapi Lila tidak menyahut panggilan Sean. Napasnya terdengar berat, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluarEntah mengapa tiba-tiba Lila merasa ada gejolak amarah.
Lila menatap Sean dengan sorot mata yang penuh tanya, tetapi juga lelah. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, membawanya pada labirin yang penuh dengan misteri keluarga Sean."Kenapa kau menanyakan itu padaku? Aku hanya menantu, Sean. Aku bahkan tidak tahu banyak tentang masa lalu keluargamu. Itu urusan kalian. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam."Sean menggeleng pelan. "Karena mama membutuhkan dirimu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.”Lila mengusap perutnya yang mulai membuncit. Gerakannya lembut, seperti sedang melindungi sesuatu yang paling berharga di dunia. Sean menyusul, meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Sentuhan itu hangat, tapi juga penuh dengan kekhawatiran.Bayi kecil mereka, yang bahkan belum sempat melihat dunia, sudah harus terlibat dalam pusaran ambisi dan perebutan harta.Pikiran Lila berputar pada Mahendra Securitas, perusahaan yang dulu ia kenal dengan baik. Sebagai mantan karyawan, ia tahu betul betapa besar nilai as