Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Sean tiba di gerbang rumah Andika dengan amarah yang membara. Dia turun dari mobil tanpa menunggu Cyrus atau Selo, langsung mendekati petugas keamanan yang berjaga.“Saya ingin bertemu Ryan, sekarang juga!” sergah Sean dengan nada kasar, matanya tajam seperti pisau.Petugas keamanan tampak ragu. Ia mencoba bersikap profesional, tetapi gemetar melihat sorot mata Sean yang begitu mengintimidasi. “Maaf, Pak, saya harus melapor dulu ke dalam sebelum ….”Sean tidak memberinya kesempatan. Dengan satu dorongan kuat, gerbang terbuka, membuat petugas kehilangan keseimbangan. Tanpa memedulikan teriakan protes di belakangnya, Sean melangkah masuk dengan langkah lebar, diikuti beberapa orang yang datang bersamanya.Tekanan itu membuat petugas memilih diam, lebih baik menghindar dan mencari aman daripada menghadapi kemarahan yang jelas bukan untuknya.“Pak, ini tidak bisa sembarangan!” seru petugas dengan nada setengah hati.Tetapi Sean tak menggubris. Hanya ada satu hal di pikirannya, menemukan R
Meski sudah meminta Selo Ardi untuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Lila, tetapi Sean tetap melaporkan hilangnya Lila ke pihak kepolisian.Kini Sean sudah berada di kantor polisi, duduk di ruang pelaporan kepolisian dengan wajah tegang. Di sebelahnya, Cyrus, pengacara barunya, sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang mereka bawa. Mereka telah melampirkan semua yang diminta, foto terbaru Lila, identitas lengkap, hingga laporan kronologis kejadian.Namun, tanggapan dari pihak kepolisian terasa hambar dan normatif. Sangat tidak memuaskan bagi Sean yang sedang dilanda kepanikan yang sangat.“Kami akan mencatat laporan ini dan memulai penyelidikan,” ucap sang petugas dengan nada datar. “Tolong tunggu kabar berikutanya dari kami.”Sean mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak. “Istri saya hilang, dia sedang hamil, Pak. Dan Anda hanya meminta saya menunggu?W aktu adalah segalanya di sini. Setiap detik yang terbuang bisa memperbesar risiko!”Petugas itu menatap Sean deng
Sean mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya fokus menatap jalan yang seakan memanjang tanpa ada ujungnya. Hati Sean penuh kecemasan, bayangan Lila memenuhi pikirannya.Jemari Sean menggenggam setir dengan erat, mencoba menekan rasa panik yang terus menghantui.Lampu jalan yang melesat di kedua sisinya tak ia hiraukan. Setiap detik terasa begitu berharga, seakan jarak menuju mall tempat Lila berbelanja menjadi lebih panjang dari seharusnya.“Di mana kamu, Lil?” tanya Sean pelan sambil melirik ponsel yang berada di sampingnya, berharap sang istri segera menghubungi dan memberi kabar.Setibanya di mall, Sean langsung turun dari mobil tanpa memedulikan valet yang berlari mendekat. Di kantor keamanan gedung, dia melihat sopir pribadinya berdiri dengan wajah tegang.Sean menghampirinya dengan langkah cepat, kemarahannya tak lagi bisa ia tahan. Hingga akhirnya kepalan tangan Sean mendarat di tubuh pria tegap itu.“Bagaimana mungkin kau tidak tahu dia menghilang?” Suara Sean m
Bella terlihat sudah siap untuk pulang kantor. Namun sebelum meninggalkan gedung, dia menghampiri ruang kerja Sean terlebih dahulu, seolah ingin memastikan sesuatu. Dengan langkah ragu, dia mengetuk pintu dan masuk setelah mendengar izin.“Pak Sean, apakah benar Bapak akan lembur malam ini?” tanya Bella sambil berdiri di dekat pintu. “Jika ada yang bisa saya bantu, mungkin menyiapkan beberapa berkas atau pesan makan malam, tolong beri tahu saya.”Sean mengangkat wajahnya dari layar komputer, menatap Bella sekilas sebelum menjawab, “Tidak perlu. Semua sudah bisa saya tangani sendiri.”Bella tersenyum tipis, lalu berkata dengan hati-hati, “Mungkin Pak Sean bisa pertimbangkan makan malam dulu, agar tetap fit. Saya bisa pesan makanan favorit Pak Sean.”Sean menghela napas pendek, mengingat makan siang pesanan Bella sebelumnya yang membuatnya harus tetap waspada. Apalagi setelah ini dia akan sendirian di kantor, jika sampai Bella melanjutkan rencananya, tidak mudah bagi Sean untuk melepask
Lila melangkah di sepanjang lorong pusat perbelanjaan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Sejak kehamilannya, momen seperti ini jarang terjadi. Langkahnya ringan, seolah seluruh beban yang selama ini menghimpit telah terangkat. Di sampingnya, Bi Siti membawa beberapa kantong belanjaan sambil tertawa kecil, dipenuhi kegembiraan. Hanya sekedar menemani belanja saja Bi Siti mendapat banyak hadiah yang tidak terduga dari Lila. Wajah wanita paruh baya itu cerah, seperti tak percaya nasib baik hari ini. “Bi, pilih apa saja yang Bi Siti suka,” ucap Lila sambil menunjuk deretan toko di sekeliling mereka. Suaranya hangat, penuh ketulusan. “Ah, Mbak Lila, ini saja sudah terlalu banyak,” jawab Bi Siti. Namun, matanya berbinar-binar menatap tas dan baju baru yang telah dibelikan untuknya. Dalam hati, ia bersyukur karena majikannya begitu baik hati. Mereka terus berjalan, menikmati suasana pusat perbelanjaan yang ramai hingga lelah mulai melanda. Lila melirik jam tangannya. “Kita makan siang du
"Halo, Sayang," sapa Sean dengan nada lembut yang jarang Bella dengar. Bella langsung tahu bahwa panggilan itu untuk Lila, istrinya. Bella mencoba terlihat sibuk dengan catatannya, tetapi telinganya menangkap setiap kata. "Aku baru baca pesanmu," lanjut Sean. "Kamu mau keluar rumah untuk belanja? Apa saja yang belum terbeli?" Bella menahan napas. Bukan hanya jarang menunjukkan sisi lembut yang seperti itu di kantor, tetapi Sean juga tidak pernah menunjukkan perhatian kepada Lila sebelumnya. "Dengan siapa kamu pergi?" tanya Sean lagi, nadanya berubah sedikit tegang. Jawaban Lila tentu tidak terdengar oleh Bella, tetapi Sean menganggukkan kepala. "Bi Siti?" gumam Sean pelan. "Baiklah, tapi hati-hati, ya. Aku sebenarnya ingin menemani, tapi ..." Sean melirik jam tangannya, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi. "Kamu tahu jadwal kerjaku masih padat sampai hari cuti," lanjutnya dengan nada berat. "Sering-sering kasih kabar, ya? Kalau bisa, jangan terlalu lama di luar." Bella meliha
Sean melangkah masuk ke kantornya dengan langkah tegas seperti biasa, tetapi matanya segera menyapu ruangan resepsionis. Bella, sekretaris pribadinya yang selalu sigap menyambutnya di pagi hari, tidak terlihat di tempat. Alisnya berkerut. “Bella belum datang?” tanyanya pada salah satu staf yang sedang sibuk di meja depan. Staf itu mendongak dengan sedikit ragu, “Sepertinya belum, Pak. Saya belum melihatnya sejak pagi.” “Kalau Bella sudah datang, suruh dia langsung ke ruangan saya,” perintah Sean singkat, tetapi sarat otoritas. “Baik, Pak,” jawab Staf itu sambil mengangguk patuh. Sean melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Pikirannya berusaha mengabaikan ketidakhadiran Bella, lalu membenamkan diri dalam tumpukan berkas yang harus segera ditinjau dan ditandatangani. Pena di tangannya bergerak cepat, matanya tajam meneliti setiap detail dokumen. Sesekali dia menghela napas panjang, mencoba menjaga fokus. Setelah beberapa saat, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. S
Pagi itu, Sean tampak lebih tenang. Tetapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah justru bertingkah seperti anak kecil yang manja di hadapan Lila.Berdiri saling berhadapan, Sean menatap istrinya dengan senyum jahil. Pandangannya tidak pernah absen dari wajah Lila yang sibuk merapikan kemejanya.“Sean, jangan bergerak,” tegur Lila sambil berusaha memasang dasi suaminya. Namun, Sean malah menyelipkan kedua tangannya di pinggang Lila, menariknya mendekat dengan gaya bercanda.“Sean! Apa yang kau lakukan?” Lila mengerutkan dahi, mencoba menjaga fokusnya. Namun, Sean hanya terkekeh, wajahnya tampak puas.“Aku hanya ingin memeluk istriku. Salahkah aku?” goda Sean, matanya berbinar. Lila mendesah keras, mencoba melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.Saat Lila berhasil melonggarkan dasi yang terlipat, Sean tiba-tiba mencoba mencuri ciuman. Lila mendelik, lalu dengan refleks memukul dada Sean.“Sean! Jangan seperti ini, kau sudah terlambat!
Lila mendengus kasar, mengembuskan napas berat seperti mencoba menyingkirkan emosi yang menggelayut. Sorot matanya yang tajam kini meredup, menyisakan lelah yang tak tertahankan. Ia menatap Sean sekilas, namun dengan cepat memutus kontak mata.Tak ada gunanya, pikir Lila. pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa arah hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan. Pembicaraan mereka malam ini sepertinya tidak akan mencapai titik temu dengan mudah, akhirnya Lila memutuskan untuk mengabaikan Sean dan mengistirahatkan tubuhnya.Dengan sedikit kepayahan, Lila menggeser tubuhnya. Tangannya meraih selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang, lalu menariknya hingga menutupi tubuh. Ia membelakangi Sean, mengisyaratkan akhir dari percakapan“Lil!” Sean memanggil, suaranya menggema dalam kamar yang sunyi.Meskipun belum tidur, tetapi Lila tidak menyahut panggilan Sean. Napasnya terdengar berat, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluarEntah mengapa tiba-tiba Lila merasa ada gejolak amarah.