Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Lila masih terpaku di posisinya, air mata mengalir tanpa bisa dia kontrol. Rasanya, seluruh tubuhnya lumpuh, tidak sanggup melangkah pergi dari kenyataan yang baru saja dia temukan.Suara gemericik air di kamar mandi berhenti. Lalu, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Sean yang melangkah keluar sambil mengeringkan tangannya.“Lila?” Suara Sean terdengar terkejut.Sean berhenti di ambang pintu, melihat istrinya berdiri kaku di depan meja kerjanya, dengan mata sembab dan pipi basah. Pandangan Sean beralih ke laptopnya yang masih terbuka, lalu kembali ke wajah Lila. Wajah Sean seketika berubah tegang, menyadari telah melakukan sebuah keteledoran.“Kenapa kamu di sini?” tanya Sean dengan suara yang terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang bercampur dengan kegugupan.Lila mendongak perlahan, matanya yang memerah menatap Sean dengan luka yang begitu nyata. “Apa maksud semua ini, Sean?” tanya Lila dengan suara parau, tangannya menunjuk layar laptop yang masih menyala.Sean tidak me
Sean memandang tangga dengan napas tertahan, perutnya seakan diikat rasa cemas. Lila, dengan perut besarnya, telah berlari menaikinya tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.Sean tahu jika dia harus segera menyusul untuk menyelesaikan masalah. Tetapi ada rasa takut, jika saat dia mengejar Lila menjadi panik dan terpeleset. Akhirnya Sean memutuskan tetap memperhatikan setiap langkah Lila sambil berdoa untuk keselamatan anak dan istrinya.Setelah beberapa saat, ketika rumah kembali sunyi dan yakin Lila sudah masuk ke kamar, Sean akhirnya melangkah naik. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu kamar mereka yang terkunci. Ia mengetuk perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedang kacau.“Lila,” panggil Sean pelan. “Boleh aku masuk? Kita harus bicara.”Tidak ada jawaban dari dalam kamar, hanya keheningan yang terasa menyesakkan. Sean mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lila, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tolong buka pintunya.”
Rangga menjalankan perintah Sean dengan baik. Tidak butuh waktu yang lama acara tersebut sudah siap.Dengan langkah tegas, Sean melangkah menuju tempat konferensi pers yang telah dipenuhi wartawan. Cahaya lampu kamera berkedip-kedip, menyorot wajahnya yang tegas hingga mampu menutupi segala beban. Sean tidak menunjukkan keraguan, dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan keluarganya.Setelah mengambil tempat yang telah dipersiapkan, Sean mengambil mikrofon. Ruangan yang semula dipenuhi suara bisik-bisik langsung hening. Sean menatap para wartawan dengan mata penuh ketegasan, lalu menghela napas panjang sebelum memulai.“Saya mengundang kalian semua ke sini hari ini untuk menjelaskan beberapa hal yang selama ini menjadi tanda tanya di publik,” Sean memulai. Suaranya mantap, meski ada sedikit getar yang tertahan.“Saya ingin dengan tegas menyatakan bahwa hubungan saya dengan Miranda Manuella telah berakhir. Hubungan tersebut
"Sial!" gumam Andreas pelan, tetapi tidak bisa menutupi amarah dan kebenciannya. "Apakah kau sudah melihat video yang diposting temannya Lila? Video itu benar-benar mampu menarik simpati publik dan memojokkan dirimu. Andreas berdiri gelisah, mondar-mandir di depan Miranda yang duduk di sofa. Wajah Miranda tampak lelah, dengan riasan yang mulai memudar, namun matanya masih tajam memandang sang papa yang terus meluapkan kegelisahannya. “Pelantikan tinggal hitungan hari!” seru Andreas, suaranya memantul di ruangan. “Jika dia dilantik, semua koneksi kita di pemerintahan akan musnah. Bisnis kita bisa hancur, Miranda! Hancur!” Miranda mendesah, menyandarkan punggungnya ke sofa. “Aku tahu itu, Pa. Tapi berteriak-teriak di sini tidak akan menyelesaikan masalah.” Andreas berhenti melangkah, menatap Miranda dengan wajah penuh amarah. “Kamu tidak mengerti tekanan yang sedang kita hadapi. Jika masalah hukum ini muncul ke permukaan, kita bisa kehilangan semuanya, rumah ini, perusahaan, bahkan
Sean duduk di kursinya dengan ekspresi yang sulit ditebak, layar laptop di depannya menampilkan video yang diunggah Nadya di media sosial.Sebelumnya Sean tidak pernah peduli dengan platform semacam itu, tapi kali ini dia tak bisa mengalihkan perhatian. Nadya berbicara dengan nada tenang namun penuh emosi, menjelaskan kisah yang selama ini tidak pernah Sean ketahui.“Saya bertemu dengan Lila di Mahendra Securitas. Beberapa teman pria mencoba mendekatinya, tapi dengan jujur dia mengatakan status jandanya,” ujar Nadya dalam video itu.Sean mengepalkan tangannya dengan kuat seolah ingin menyalurkan amarah yang tidak dia ketahui penyebabnya.“Aneh, kejujurannya tidak mendapat apresiasi tetapi justru stigma buruk sebagai seorang janda. Di tempat kerja, banyak yang berbisik di belakangnya.” Nadya menundukkan kepala, seolah berat untuk mengungkap kebenaran. Karena mengingatnya, membuat Nadya merasa bersalah menjadi salah satu dari bagian mereka.“Apa lagi saat mengetahui Lila sedang hamil. M
Sean menatap Lila dengan tatapan putus asa. "Tolong, Lila. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Beri aku satu kesempatan lagi." Lila menggeleng perlahan, suaranya penuh luka yang terpendam lama. "Dua tahun pernikahan kita adalah kesempatan bagi kamu untuk belajar mencintaiku. Tapi selama dua tahun itu, yang kamu lakukan hanyalah hidup dalam bayang-bayang Miranda. Kamu begitu dingin, seolah aku tidak ada di matamu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana kamu terus mengabaikanku." Sean terdiam, kata-kata Lila terdengar seperti sedang menguliti semua kesalahannya. "Maaf.” Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Sean, seolah semua kata yang ada di otaknya raib dari memorinya. "Sebenarnya ada banyak kesempatan yang kau miliki, tetapi ternyata kau selalu menyia-nyiakannya." Suara Lila terdengar tegas. "Saat kau memutuskan rujuk, harusnya kau sadar, itu adalah kesempatan terakhir yang kau miliki. Saat itu aku berharap kamu sud
Di kamar kosnya, Delisa mondar-mandir dengan gelisah. Tangannya terus menggenggam ponselnya, Delisa ingin menghubungi ibunya tetapi ternyata beberapa hari terakhir ponsel selalu dibawa bapaknya, sehingga dia tidak bisa berkeluh kesah atas masalah yang sedang dia hadapi saat ini.Hati Delisa berdebar kencang, bukan karena antusiasme, tetapi karena rasa panik yang mulai merayap."Bodoh... Kenapa aku tadi begitu ceroboh?" gumamnya sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur.Matanya menatap langit-langit dengan kosong, sementara pikirannya terus berputar pada kejadian sore tadi.Ia tidak berpikir panjang ketika ingin ikut serta saat Lila dan Sean pergi bersama. Rasa cemburu dan iri yang selama ini ia pendam membuatnya kehilangan akal. Selama ini, ia bisa bertindak mendekati Sean tanpa sepengetahuan Lila, dan Sean pun memilih diam.Tetapi tadi … tadi ia hampir merusak semuanya.Delisa mengepalkan tangannya. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia lebih pantas berada di sisi Sean dibandingkan Li
Setelah Brilian tertidur pulas, napasnya teratur dan wajah kecilnya terlihat damai, Lila tetap duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Tanpa sadar, air matanya menetes, mengalir perlahan di pipinya. Ia mengusap cepat, seolah ingin menghapus rasa sakit yang tak bisa dihindari.Dengan langkah pelan, Lila meninggalkan kamar Brilian, hatinya penuh sesak. Ia berdiri di sudut ruang keluarga, menahan isak yang ingin pecah.Sean merapikan selimut Brilian, memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Lalu dia menyusul Lila, menemukan istrinya berdiri membelakangi pintu. Tanpa berkata apa pun, Sean mendekat dan memeluk Lila dari belakang, merapatkan tubuhnya, mencoba menjadi pelindung dari rasa sakit yang tak terlihat.Lila menggigil pelan, lalu perlahan membalikkan tubuhnya. Wajahnya basah oleh air mata. Ia menatap mata Sean, penuh luka yang tak bisa diucapkan. Tanpa bisa ditahan lagi, Lila menumpahkan seluruh kesedihannya dalam pelukan Sean, menangis sesenggukan.Sean memeluk erat,
Tampaknya Lila harus bersabar untuk mendapat jawaban dari Sean, karena suaminya itu mengatakan akan membicarakan hal tersebut di rumah. Lila tidak memaksa karena mereka sedang dalam perjalanan.Setibanya di rumah, Sean dan Lila harus menghadapi Sekar yang terlihat sangat antusias untuk mengetahui hasil pemeriksaan Lila. Perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar untuk menimang cucu keduanya.“Bagaimana hasil pemeriksaannya tadi?” tanya Sekar sambil menuntun Lila menuju ke ruang keluarga. Dia mengabaikan Sean yang berjalan di belakang mereka.Lila menoleh ke belakang, seolah meminta bantuan sang suami untuk memberikan penjelasan. Meskipun bukan masalah yang sulit diatasi, tetapi Lila tidak ingin membuat ibu mertuanya kecewa jika mengetahui dirinya mengalami anemia dan harus menunda program kehamilannya sementara waktu.“Semua baik-baik saja, Ma. Hanya mungkin karena saat ini Lila masih banyak pekerjaan yang menumpuk, karena Nadya sebentar lagi akan cuti melahirkan, jadi kami memutuskan
Dokter Amira menutup alat pemeriksaannya dengan hati-hati, lalu mengambil catatan medis Lila. Ia tersenyum tipis, mencoba meredakan kecemasan yang tergambar jelas di wajah Lila dan Sean.“Tenang, tidak ada masalah serius,” ujar Dokter Amira pelan. “Hanya saja, Lila mengalami anemia ringan. Ini cukup umum terjadi, terutama setelah persalinan caesar sebelumnya.”Sean menghela napas lega, tetapi tetap menatap dokter dengan penuh perhatian. “Apa yang harus kami lakukan, Dok?”“Yang terpenting adalah mengatur pola makan. Lila perlu mengonsumsi lebih banyak makanan yang kaya zat besi seperti daging merah tanpa lemak, hati ayam, sayuran hijau seperti bayam dan brokoli, serta kacang-kacangan. Lengkapi dengan vitamin C agar penyerapan zat besi lebih optimal.” Dokter Amira menuliskan beberapa catatan di kertas resep.“Apakah ini akan memengaruhi program hamil nanti?” tanya Lila, suaranya pelan.“Tidak, asalkan anemia ini teratasi sebelum kehamilan. Jika dibiarkan, bisa membuat Lila cepat lelah
Di klinik yang bernuansa hangat dan tenang, Lila dan Sean duduk berdampingan di ruang tunggu. Tak butuh waktu lama, setelah seorang pasien keluar dari ruang praktik, nama Lila segera dipanggil.Sean berdiri lebih dulu, lalu meraih tangan Lila dengan lembut, seolah-olah menggandeng harta paling berharga dalam hidupnya.Saat mereka memasuki ruangan, Dokter Amira yang duduk di balik mejanya tersenyum lebar. Matanya berbinar begitu melihat Lila.“Wah, Lila! Aku hampir nggak mengenalimu. Semakin cantik saja,” seru Dokter Amira, berdiri untuk menyambut mereka.Lila tersipu, sementara Sean melemparkan pandangan penuh kebanggaan ke arah istrinya.“Tubuhmu tetap terjaga dengan baik. Pasti karena pengorbanan Sean, ya? Aku dengar dia yang memutuskan untuk KB, bukan kamu. Itu tandanya dia benar-benar sayang sama kamu.”Ucapan itu membuat Sean tertawa kecil, lalu meremas pelan tangan Lila. Bagi Sean apa yang dia lakukan bukanlah pengorbanan yang layak dibanggakan. Toh dia masih bisa menikmatinya,
Sore itu, sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gedung Mahendra Securitas. Pintu mobil terbuka, dan Sean melangkah keluar dengan langkah mantap. Setelan jasnya rapi, kemeja putih tanpa cela berpadu dengan dasi berwarna gelap yang menambah aura kharismanya. Tatapan matanya tenang, penuh percaya diri, memancarkan pesona yang sulit diabaikan.Saat Sean memasuki lobi kantor, beberapa karyawan wanita tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Bisikan pelan terdengar di sudut-sudut ruangan.“Itu suaminya Bu Lila, kan?” bisik salah satu staf.“Iya, ya ampun, ganteng banget. Mereka pasangan serasi banget,” sahut yang lain sambil tersenyum kagum.Sean melangkah melewati mereka tanpa banyak bicara, hanya memberikan anggukan singkat yang membuat beberapa orang semakin terpesona. Aura dingin dan tenangnya justru menambah daya tariknya.Delisa, yang kebetulan sedang berada di salah satu sudut ruangan, melihat semua pemandangan itu dengan tatapan sulit diartikan. Senyum tipis menghiasi wa
Di kantor, Lila tampak gelisah. Tatapannya kosong meski layar laptop di depannya penuh dengan angka dan laporan. Pikirannya melayang, tak bisa fokus pada pekerjaan.Tadi, sebelum pulang, Inayah menemuinya dengan wajah sedih. Kata demi kata yang diucapkan sang ibu seolah sulit untuk Lila abaikan begitu saja."Kau tahu apa yang dilakukan ibu mertuamu saat kami mengantar Brili tadi? Tadi dia melabrak Ibu."Lila mengerutkan kening. "Melabrak? Kenapa?" Tentu Lila sangat terkejut, karena keduanya berangkat terlihat rukun dan akrab."Ibu juga kaget. Dia menuduh Delisa merayu Sean." Inayah menatap Lila, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan. "Tapi coba pikir, Li … apa masuk akal? Bisa saja justru Sean yang menggoda adikmu."Lila terdiam, dadanya sesak. Kata-kata Inayah menancap tajam di pikirannya, memunculkan keraguan yang berusaha dia tepis."Sean nggak mungkin begitu, Bu," bisiknya, tapi suaranya terdengar ragu.Inayah menepuk tangan Lila lembut. "Ibu cuma ingin kamu waspada. Jangan
Lila berdiri di depan pintu, matanya sedikit berkaca-kaca saat memelik tubuh sang ayah."Jaga dirimu baik-baik, Nak," ucap Waluya membisikkan doa serta nasihat yang selalu ia berikan sejak Lila kecil. "Jangan lupa berdoa. Tetap rendah hati, jadilah ibu dan istri yang baik. Jangan lupa tetap hormati ibu mertuamu!”“Ya, Pak,” jawab Lila lirih sambil menahan air mata.Lila mengangguk, menggenggam tangan ayahnya untuk terakhir kali sebelum memasuki mobil. Waluya menurunkan kaca jendela, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum hangat.Sementara itu, Inayah hanya diam. Wajahnya muram, pikirannya masih dipenuhi dengan ancaman Sekar di kafe tadi. Ia bahkan tak memberikan pesan apa pun untuk Lila, sesuatu yang membuat putrinya sedikit heran.Setelah mobil mereka tak terlihat lagi, Lila menghela napas dan berbalik menuju rumah. "Aku ke kamar dulu, bersiap ke kantor," ucap Lila kepada Sean dan Sekar sebelum melangkah menaiki tangga.Sean hanya mengangguk sambil melirik jam tangannya. "Aku juga
Pagi itu, meja makan keluarga Wismoyojati penuh dengan aroma hangat dari nasi goreng, omelet, dan teh hangat. Lila memastikan segala sesuatu tersaji dengan baik untuk kedua orang tuanya sebelum mereka pulang.“Kakek beneran mau pulang hari ini?” tanya Brilian seolah belum sembuh rasa rindunya kepada sang kakek.Waluya mengangguk sambil mengambil sepotong roti. “Iya, Nak. Ayam-ayam kakek nanti tidak ada yang memberi makan,” jawabnya sambil menatap Brilian yang sedang menikmati susu hangatnya.“Mengapa orang dewasa lebih sayang pekerjaannya daripada anaknya, Oma?”Semua yang berada di ruang makan tertawa mendengar pertanyaan polos dari Brilian. Bagi bocah itu hanya, sang oma yang menyayanginya sepenuhnya, karena selalu ada untuknya.“Bukan begitu Brili,” ucap Sekar dengan lembut. “Orang dewasa bekerja untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-anak mereka. Dengan bekerja mereka bisa memberi makan, menyekolahkan, liburan bersama. Kalau mereka tidak bekerja, anak-anaknya akan kelaparan