Sean memandang tangga dengan napas tertahan, perutnya seakan diikat rasa cemas. Lila, dengan perut besarnya, telah berlari menaikinya tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.Sean tahu jika dia harus segera menyusul untuk menyelesaikan masalah. Tetapi ada rasa takut, jika saat dia mengejar Lila menjadi panik dan terpeleset. Akhirnya Sean memutuskan tetap memperhatikan setiap langkah Lila sambil berdoa untuk keselamatan anak dan istrinya.Setelah beberapa saat, ketika rumah kembali sunyi dan yakin Lila sudah masuk ke kamar, Sean akhirnya melangkah naik. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu kamar mereka yang terkunci. Ia mengetuk perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedang kacau.“Lila,” panggil Sean pelan. “Boleh aku masuk? Kita harus bicara.”Tidak ada jawaban dari dalam kamar, hanya keheningan yang terasa menyesakkan. Sean mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lila, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tolong buka pintunya.”
Rangga menjalankan perintah Sean dengan baik. Tidak butuh waktu yang lama acara tersebut sudah siap.Dengan langkah tegas, Sean melangkah menuju tempat konferensi pers yang telah dipenuhi wartawan. Cahaya lampu kamera berkedip-kedip, menyorot wajahnya yang tegas hingga mampu menutupi segala beban. Sean tidak menunjukkan keraguan, dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan keluarganya.Setelah mengambil tempat yang telah dipersiapkan, Sean mengambil mikrofon. Ruangan yang semula dipenuhi suara bisik-bisik langsung hening. Sean menatap para wartawan dengan mata penuh ketegasan, lalu menghela napas panjang sebelum memulai.“Saya mengundang kalian semua ke sini hari ini untuk menjelaskan beberapa hal yang selama ini menjadi tanda tanya di publik,” Sean memulai. Suaranya mantap, meski ada sedikit getar yang tertahan.“Saya ingin dengan tegas menyatakan bahwa hubungan saya dengan Miranda Manuella telah berakhir. Hubungan tersebut
"Sial!" gumam Andreas pelan, tetapi tidak bisa menutupi amarah dan kebenciannya. "Apakah kau sudah melihat video yang diposting temannya Lila? Video itu benar-benar mampu menarik simpati publik dan memojokkan dirimu. Andreas berdiri gelisah, mondar-mandir di depan Miranda yang duduk di sofa. Wajah Miranda tampak lelah, dengan riasan yang mulai memudar, namun matanya masih tajam memandang sang papa yang terus meluapkan kegelisahannya. “Pelantikan tinggal hitungan hari!” seru Andreas, suaranya memantul di ruangan. “Jika dia dilantik, semua koneksi kita di pemerintahan akan musnah. Bisnis kita bisa hancur, Miranda! Hancur!” Miranda mendesah, menyandarkan punggungnya ke sofa. “Aku tahu itu, Pa. Tapi berteriak-teriak di sini tidak akan menyelesaikan masalah.” Andreas berhenti melangkah, menatap Miranda dengan wajah penuh amarah. “Kamu tidak mengerti tekanan yang sedang kita hadapi. Jika masalah hukum ini muncul ke permukaan, kita bisa kehilangan semuanya, rumah ini, perusahaan, bahkan
Sean duduk di kursinya dengan ekspresi yang sulit ditebak, layar laptop di depannya menampilkan video yang diunggah Nadya di media sosial.Sebelumnya Sean tidak pernah peduli dengan platform semacam itu, tapi kali ini dia tak bisa mengalihkan perhatian. Nadya berbicara dengan nada tenang namun penuh emosi, menjelaskan kisah yang selama ini tidak pernah Sean ketahui.“Saya bertemu dengan Lila di Mahendra Securitas. Beberapa teman pria mencoba mendekatinya, tapi dengan jujur dia mengatakan status jandanya,” ujar Nadya dalam video itu.Sean mengepalkan tangannya dengan kuat seolah ingin menyalurkan amarah yang tidak dia ketahui penyebabnya.“Aneh, kejujurannya tidak mendapat apresiasi tetapi justru stigma buruk sebagai seorang janda. Di tempat kerja, banyak yang berbisik di belakangnya.” Nadya menundukkan kepala, seolah berat untuk mengungkap kebenaran. Karena mengingatnya, membuat Nadya merasa bersalah menjadi salah satu dari bagian mereka.“Apa lagi saat mengetahui Lila sedang hamil. M
Sean menatap Lila dengan tatapan putus asa. "Tolong, Lila. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Beri aku satu kesempatan lagi." Lila menggeleng perlahan, suaranya penuh luka yang terpendam lama. "Dua tahun pernikahan kita adalah kesempatan bagi kamu untuk belajar mencintaiku. Tapi selama dua tahun itu, yang kamu lakukan hanyalah hidup dalam bayang-bayang Miranda. Kamu begitu dingin, seolah aku tidak ada di matamu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana kamu terus mengabaikanku." Sean terdiam, kata-kata Lila terdengar seperti sedang menguliti semua kesalahannya. "Maaf.” Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Sean, seolah semua kata yang ada di otaknya raib dari memorinya. "Sebenarnya ada banyak kesempatan yang kau miliki, tetapi ternyata kau selalu menyia-nyiakannya." Suara Lila terdengar tegas. "Saat kau memutuskan rujuk, harusnya kau sadar, itu adalah kesempatan terakhir yang kau miliki. Saat itu aku berharap kamu sud
Lila memegang erat piagam yang baru saja dia ambil. Namanya jelas tertera, Sean Anugrah Mahendra. Sebuah nama yang asing bagi dirinya, sangat berbeda dengan nama lengkap suaminya yang selama ini dia ketahui. Kening Lila berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah ini Sean yang sama? Atau dua orang yang berbeda. Seolah lupa dengan tujuan awal mendatangi Gudang, Lila justru mencari petunjuk lain untuk mengetahui nama lengkap suami yang sebenarnya. Lila membuka beberapa kardus yang tertutup rapi, setelah menemukan beberapa piagam penghargaan untuk olimpiade sains nasional dan beberapa turnamen basket antar sekolah, akhirnya Lila menemukan beberapa foto lama. Dengan hati-hati, dia mengambilnya dan mengamati lebih dekat foto lama yang telah usang. Dalam foto itu, terlihat seorang wanita yang langsung dia kenali sebagai ibu Sean, memeluk seorang anak laki-laki kecil yang juga jelas adalah Sean di masa kecilnya. Namun, pria dewasa yang berdiri di samping mereka membuat Lila tertegun.
Dengan langkah anggun, Sekar masuk ke ruang kerja Sean tanpa menunggu undangan. Wajahnya dihiasi senyum ramah yang kontras dengan atmosfer tegang di ruangan itu. "Mama kangen, sudah lama sekali kamu tidak mampir ke rumah," ucap Sekar sambil duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Rangga. "Sesibuk apa kalian sampai tidak pernah mengunjungi mama?" Sean hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai upaya menahan diri daripada rasa hangat. "Seperti yang Mama lihat," jawab Sean singkat. Sekar mengabaikan nada datar itu dan melanjutkan, "Mama kangen, Sean. Kangen Lila juga. Sejak kalian rujuk, kalian belum pernah datang ke rumah? Apa kehamilannya berjalan lancar?" Sean menatap ibunya, matanya penuh kehati-hatian. "Lila baik-baik saja," katanya, mencoba mengakhiri pembicaraan. Namun, Sekar tampaknya tidak mudah menyerah. "Ajak dia ke rumah, Sean. Mama ingin menghabiskan waktu dengan menantu mama," lanjut Sekar, kali ini dengan nada memohon. Sean hanya membalas dengan senyum ya
Sean menghembuskan napas kasar, suaranya terdengar seperti desah lelah yang menahan beban tak kasat mata. Dengan gerakan cepat, dia melonggarkan dasinya. Wajahnya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan, tatapan matanya redup, nyaris kosong.Sean merasakan Tuhan benar-benar sedang mengujinya dengan memberikan masalah secara bersamaan bahkan tanpa memberinya jeda, seolah tidak mau antri, datang satu per satu.Sean membimbing Lila untuk duduk bersamanya. Diraihnya tangan sang istri lalu digenggan dengan erat. “Penjelasan seperti apa yang kau inginkan?” tanyanya lirih, ada getar lembut yang sulit ditutupi.Lila menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. “Aku ingin tahu tentang Sean Anugrah Mahendra. Dan pria dewasa dalam foto keluarga itu. Siapa mereka sebenarnya?”Pertanyaan itu menghantam Sean seperti pukulan keras. Napasnya tertahan sesaat. Wajahnya berubah kaku, tapi ia tahu ini adalah batas akhirnya. Rahasia yang selama ini ia lindungi seperti benteng kokoh kini mulai
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa
Suara rintik hujan menenggelamkan desah dan erang di dalam kamar mewah. Di atas ranjang king size Sean dan Lila memburu kenikmatan bersama, sebelum putra mereka terbangun nanti.Setelah hampir satu jam, akhirnya keduanya terkapar setelah mencapai puncak bersama. Sean dan Lila tidak langsung tidur, tapi melanjutkan dengan berbincang ringan tentang rencana ke depan untuk rumah tangga mereka.Lila bersandar di dada Sean, tubuh polos mereka terbungkus selimut hangat. Aroma hujan yang samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.“Lila.” Sean memulai dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan. “Aku tahu, mungkin kamu kadang tidak setuju dengan keinginanku supaya kamu lebih banyak di rumah, fokus sama anak-anak.”Lila mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sean yang terlihat menerawang ke langit-langit. “Aku hanya ingin memastikan Brilian tumbuh dalam keluarga yang utuh, tidak seperti aku dulu.”Sean mengeratkan pelukannya, menghela napas panjang sebelum melanj