“Aku tidak bisa menerima alasanmu Sean.” Suara Lila terdengar tenang namun penuh penegasan.Sean menggelengkan kepala, mencoba mengatur napas yang terasa berat. “Aku tahu aku salah, tapi aku mohon kau bisa memahami posisiku.”“Posisi yang mana?” Lila memandangnya dengan tatapan yang menusuk, membuat Sean semakin merasa bersalah. “Karena Ryan adalah adikmu, kau ingin mengorbankan Rina demi menutupi semua kesalahannya?”“Maafkan aku.” Sean menjawab lirih. “Aku sudah melepaskan Rina dari segala tuntutan. Lalu di mana salahnya?”“Kau belum membersihkan nama baiknya, Sean,” balas Lila dengan nada tajam. “Tuduhan yang kau berikan kepada Rina adalah kejahatan yang serius. Itu akan menghantui langkahnya di masa depan.”“Aku akan meminta maaf kepadanya, dan memberi kompensasi yang besar, kalau perlu aku akan membuat pernyataan public untuknya.”Lila menggeleng pelan, senyuman getir menghiasi wajahnya. “Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, Sean. Termasuk hubungan kita.”Sean terte
Sean mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mengembuskan napas panjang yang berat. Di depan pintu kamar itu, dia berdiri terpaku, seperti anak kecil yang ditinggalkan sendirian di tengah malam. Handle pintu terasa dingin di tangannya, tapi dia tahu pintu itu tak akan terbuka untuknya malam ini. “Aku pusing, La!” ucapnya lirih, hampir seperti gumaman yang hanya dia sendiri yang mendengarnya. Sebenarnya Sean bisa membukan pintu itu dengan kunci cadangan yang dia simpan agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan malam ini, tetapi akal sehatnya berbisik agar dia mengalah, memberi ruang kepada Lila untuk menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Sean menghembuskan napas secara kasar, menjauhkan tangannya dari handle pintu. Selama ini dia selalu menertawakan cerita-cerita tentang suami yang dihukum oleh istrinya tidur di luar kamar. Itu terdengar konyol, lelucon ringan di sela obrolan lelaki. Tetapi kini, saat dia harus mengalaminya sendiri, Sean merasa malam itu begitu mencekam. Se
Sean duduk di kursinya, mendengarkan Bella membacakan jadwal pertemuan dengan beberapa klien penting esok hari. Bella, seperti biasa, berbicara dengan tenang dan rinci, memastikan tidak ada detail yang terlewat.Namun, Sean terlihat gelisah. Berulang kali pandangannya melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Waktu terasa bergerak lambat, seolah menguji kesabarannya. Bella, yang menyadari Sean tidak fokus, berhenti sejenak, menatap bosnya dengan pandangan penuh tanya.“Maaf Pak, apakah ada yang salah? Haruskah saya menunda pertemuan ini?” tanya Bella hati-hati.Sean menggeleng pelan, menghela napas panjang. “Tidak, teruskan saja.”Bella mengangguk, melanjutkan pembahasannya dengan nada lebih singkat, memahami Sean tampaknya ingin segera menyelesaikan diskusi.Ketika jarum jam menunjukkan pukul lima sore, Sean berdiri tanpa menunggu Bella selesai. “Cukup untuk hari ini. Saya harus pergi,” ucap Sean sambil meraih jasnya.Bella menunduk sopan. “Baik, Pak Sean. Selamat sore.”Sean keluar
Sean menatap Lila dengan frustrasi yang memuncak, namun dia menahan diri agar tidak kehilangan kontrol. Sean tidak habis pikir, mengapa perempuan bisa begitu enteng mengucap kata cerai, dan begitu lantang menantang talak. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya sebelum berbicara lagi. "Lila, aku tidak tahu kenapa kamu terus menantangku seperti ini. Aku hanya sedang berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu dan anak kita." Lila mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, seolah tidak mempedulikan ucapan Sean. Tatap mata tajam Sean tidak absen dari wajah Lila. "Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuanku, jangan salahkan aku kalau aku akan mengurungmu sampai waktu yang tidak ditentukan. Bahkan untuk pemeriksaan kehamilan atau persalinan nanti, aku bisa mendatangkan dokter ke rumah. Aku serius, Lila. Jangan uji kesabaranku." Lila terdiam, wajahnya yang tadi dipenuhi emosi perlahan berubah menjadi ketegangan. Dia tahu Sean tidak main-main dengan a
Sean melirik Lila yang duduk di sampingnya. Diamnya perempuan yang berstatus istri itu terasa seperti dinding tebal yang memisahkan mereka.Di balik kemudi, Sean mencoba mencairkan suasana dengan bertanya, "Sudah lama tidak ke luar rumah, apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?"Lila tidak langsung menjawab. Dia hanya memalingkan wajah ke jendela, memperhatikan pemandangan bahu jalan yang terus bergerak. Dalam hatinya, Lila merasa marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin hanya dengan dekapan Sean tadi dia bisa luluh? Padahal, dia ingin sekali menunjukkan sikap tegas. Tapi tubuhnya seperti menolak. Pikiran Lila berkecamuk, mencari cara untuk kembali mendapatkan kendali atas hidupnya, cara agar dia bisa merasakan kebebasan lagi.Sean menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi karena tidak dihiraukan. Dia mencoba lagi. "Mungkin setelah ini kita bisa makan sesuatu yang kamu suka. Apa ada yang kamu inginkan?"Namun, Lila tetap diam. Sean menghela napas, merasa semakin sulit menjangkau
Saat mobil memasuki area parkir Diamond Restaurant, Lila mengerutkan kening. "Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Lila yang terlihat terkejut.Sean tersenyum kecil sambil mematikan mesin mobil. "Aku sudah mereservasi tempat untuk makan malam. Kupikir kita butuh waktu berdua untuk berbicara lebih santai."Mata Lila melebar. Seketika itu juga, perasaan hangat menjalari hatinya. Dia mengenali tempat ini sebagai restoran favoritnya, juga tempat di mana takdir mempertemukan mereka kembali setelah perceraian mereka."Kenapa di sini?" gumamnya pelan, masih terkejut.Sean membuka pintu mobil untuk Lila dan mengulurkan tangannya. "Karena aku tahu tempat ini spesial bagimu. Juga bagiku," jawabnya sambil menatap mata Lila dengan lembut.Lila menelan ludah, mencoba menyembunyikan perasaan bahagia yang membuncah. Bukan hanya makan malam yang diinginkan oleh Lila. Sebagai seorang istri tentu hidupnya tidak bebas lagi, dia butuh izin untuk sekedar keluar agar tidak ada salah paham dan juga demi kea
Pandangan Sean dan Miranda bertemu. Ada keheningan yang rumit di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak.Miranda tampak salah tingkah, jelas tidak menyangka akan bertemu Sean di tempat itu. Semantara pria di sampingnya melingkarkan tangan di pinggang Miranda, memberi isyarat kepemilikan.Sean mengalihkan pandangan dan mengangguk kecil, sekadar menyapa tanpa kata. Miranda membalasnya dengan senyum kaku. Tidak ada ucapan, hanya gestur canggung yang terasa lebih berbicara dari apa pun.Lila memperhatikan interaksi itu dengan wajah datar, tetapi ia merasakan perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya. Melihat bagaimana Sean menatap Miranda dengan begitu intens, membuat Lila ingin melepaskan belitan tangannya. Tetapi dengan sigap Sena segera memeganginya saat merasa belitan itu mulai mengendur.“Sudah malam, kita harus segera pulang,” ucap Sean singkat, sambil membimbing langkah Lila menuju ke mobil mereka.Setelah berjarak cukup jauh dari Miranda dan pasangannya, Lila tiba-tiba melep
Lila duduk di depan meja rias, menatap cermin dengan ekspresi gelisah. Tisu basah di tangannya mulai pudar warnanya, penuh dengan sisa makeup yang dia hapus perlahan. Namun, bukan pantulan wajahnya di cermin yang menarik perhatian Lila, melainkan layar ponsel yang sejak tadi menyita perhatiannya.Jari-jarinya kembali menyentuh ikon panggil, berharap kali ini ada jawaban di ujung sana. Nada sambung terdengar, tapi hanya beberapa detik sebelum langsung terputus. Ia mencoba lagi, namun hasilnya sama. Perasaan panik mulai merayap ke dalam dirinya."Kenapa tidak diangkat?" gumam Lila dengan suara pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibir, menahan rasa frustrasi yang semakin memuncak. Dalam benaknya, berjuta alasan muncul, mencoba menjelaskan kenapa panggilannya tidak diterima.Lila membuka aplikasi pesan, mencoba mengirim teks, tapi sebuah notifikasi muncul ‘Pesan tidak terkirim’. Kening Lila berkerut, dan dia mencoba hal lain, menelusuri kontaknya. Mata Lila
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P