Sean melirik Lila yang duduk di sampingnya. Diamnya perempuan yang berstatus istri itu terasa seperti dinding tebal yang memisahkan mereka.Di balik kemudi, Sean mencoba mencairkan suasana dengan bertanya, "Sudah lama tidak ke luar rumah, apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?"Lila tidak langsung menjawab. Dia hanya memalingkan wajah ke jendela, memperhatikan pemandangan bahu jalan yang terus bergerak. Dalam hatinya, Lila merasa marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin hanya dengan dekapan Sean tadi dia bisa luluh? Padahal, dia ingin sekali menunjukkan sikap tegas. Tapi tubuhnya seperti menolak. Pikiran Lila berkecamuk, mencari cara untuk kembali mendapatkan kendali atas hidupnya, cara agar dia bisa merasakan kebebasan lagi.Sean menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi karena tidak dihiraukan. Dia mencoba lagi. "Mungkin setelah ini kita bisa makan sesuatu yang kamu suka. Apa ada yang kamu inginkan?"Namun, Lila tetap diam. Sean menghela napas, merasa semakin sulit menjangkau
Saat mobil memasuki area parkir Diamond Restaurant, Lila mengerutkan kening. "Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Lila yang terlihat terkejut.Sean tersenyum kecil sambil mematikan mesin mobil. "Aku sudah mereservasi tempat untuk makan malam. Kupikir kita butuh waktu berdua untuk berbicara lebih santai."Mata Lila melebar. Seketika itu juga, perasaan hangat menjalari hatinya. Dia mengenali tempat ini sebagai restoran favoritnya, juga tempat di mana takdir mempertemukan mereka kembali setelah perceraian mereka."Kenapa di sini?" gumamnya pelan, masih terkejut.Sean membuka pintu mobil untuk Lila dan mengulurkan tangannya. "Karena aku tahu tempat ini spesial bagimu. Juga bagiku," jawabnya sambil menatap mata Lila dengan lembut.Lila menelan ludah, mencoba menyembunyikan perasaan bahagia yang membuncah. Bukan hanya makan malam yang diinginkan oleh Lila. Sebagai seorang istri tentu hidupnya tidak bebas lagi, dia butuh izin untuk sekedar keluar agar tidak ada salah paham dan juga demi kea
Pandangan Sean dan Miranda bertemu. Ada keheningan yang rumit di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak.Miranda tampak salah tingkah, jelas tidak menyangka akan bertemu Sean di tempat itu. Semantara pria di sampingnya melingkarkan tangan di pinggang Miranda, memberi isyarat kepemilikan.Sean mengalihkan pandangan dan mengangguk kecil, sekadar menyapa tanpa kata. Miranda membalasnya dengan senyum kaku. Tidak ada ucapan, hanya gestur canggung yang terasa lebih berbicara dari apa pun.Lila memperhatikan interaksi itu dengan wajah datar, tetapi ia merasakan perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya. Melihat bagaimana Sean menatap Miranda dengan begitu intens, membuat Lila ingin melepaskan belitan tangannya. Tetapi dengan sigap Sena segera memeganginya saat merasa belitan itu mulai mengendur.“Sudah malam, kita harus segera pulang,” ucap Sean singkat, sambil membimbing langkah Lila menuju ke mobil mereka.Setelah berjarak cukup jauh dari Miranda dan pasangannya, Lila tiba-tiba melep
Lila duduk di depan meja rias, menatap cermin dengan ekspresi gelisah. Tisu basah di tangannya mulai pudar warnanya, penuh dengan sisa makeup yang dia hapus perlahan. Namun, bukan pantulan wajahnya di cermin yang menarik perhatian Lila, melainkan layar ponsel yang sejak tadi menyita perhatiannya.Jari-jarinya kembali menyentuh ikon panggil, berharap kali ini ada jawaban di ujung sana. Nada sambung terdengar, tapi hanya beberapa detik sebelum langsung terputus. Ia mencoba lagi, namun hasilnya sama. Perasaan panik mulai merayap ke dalam dirinya."Kenapa tidak diangkat?" gumam Lila dengan suara pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibir, menahan rasa frustrasi yang semakin memuncak. Dalam benaknya, berjuta alasan muncul, mencoba menjelaskan kenapa panggilannya tidak diterima.Lila membuka aplikasi pesan, mencoba mengirim teks, tapi sebuah notifikasi muncul ‘Pesan tidak terkirim’. Kening Lila berkerut, dan dia mencoba hal lain, menelusuri kontaknya. Mata Lila
Lila terdiam, matanya membeliak lebar. Kata-kata Sean menggantung di udara, seolah mengguncang kamar mereka dengan gelombang emosi yang sulit diungkapkan.“Singapura? Transplantasi ginjal?” tanya Lila dengan suara bergetar, campuran antara kebingungan dan harapan yang tiba-tiba menyala.Sean tidak langsung menjawab. Dia hanya meraih tangan Lila dengan lembut, menggenggamnya erat seolah ingin menyampaikan kekuatan melalui sentuhan.“Ya, Lila,” ucap Sean akhirnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan. “Aku tahu betapa kamu menyayangi Bapak. Karena itu, aku tidak mau menunggu lebih lama. Saat ini Bapak sudah berada di rumah sakit terbaik di Singapura. Tim dokter di sana siap melakukan transplantasi ginjal begitu semua persiapannya selesai.”Air mata menggenang di mata Lila, tetapi kali ini bukan karena kesedihan yang selama ini menghantuinya. Perempuan hamil itu menatap wajah suaminya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, antara terkejut, lega, dan rasa syukur yang begitu mendalam.“Se
Dalam keheningan yang penuh makna, Sean hanya bisa menatap tangan Lila yang kecil dan lembut dalam genggamannya. Dia mengusap punggung tangan itu dengan perlahan, seperti mencoba menyampaikan sesuatu yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.Ada gejolak membara dalam dirinya yang sebenarnya sudah tidak bisa dia bendung lagi. Tetapi Sean tidak memiliki keberanian seperti sebelumnya, dia seolah menunggu, berharap ada celah kecil dari Lila yang memberinya tanda, sekadar isyarat bahwa hubungan mereka saat ini baik-baik saja.“Kangen,” ucap Lila tiba-tiba dengan suara lirih, hampir seperti bisikan, memecah keheningan yang menenggelamkan mereka.Sean tersentak. Kata itu menggema di telinganya, menyalakan harapan yang perlahan mulai memudar. Dia tersenyum kecil, senyum yang mengandung kebahagiaan sekaligus kerinduan yang tertahan.Dengan perlahan, Sean mendekatkan wajahnya. Hatinya berdebar kencang, dia ingin melabuhkan satu kecupan, menyatukan kehangatan yang selama ini terasa menjauh.
Waktu terus bergerak, dan malam berganti pagi. Suasana rumah Sean dan Lila terasa hangat, seolah semua ketegangan yang pernah ada telah menguap begitu saja. Lila berdiri di depan Sean, tangannya dengan luwes memasangkan dasi pada kemeja suaminya. Sebuah kebiasaan baru dalam rumah tangga mereka. Wajah Sean terlihat serius, tetapi tatap matanya tidak lepas dari raut wajah cantik istrinya yang kini terlihat begitu menenangkan. Sean menyesali telah menyia-nyiakan dua tahun pernikahan mereka dahulu. Membuang waktu demi egonya. Pada dua tahun pernikahan mereka dulu, Sean dan Lila bertemu di pagi hari sudah dalam keadaan rapi dan siap untuk menjalani aktivitas masing-masing. Tidak ada komunikasi yang berarti, hingga membuat pernikahan mereka terasa hambar.“Bagaimana, terlalu kencang?” tanya Lila sambil merapikan dasi itu dengan hati-hati.Sean tersenyum kecil, menatap wajah Lila yang begitu dekat dengannya. “Tidak. Pas sekali.” Tangan Sean terulur, dengan lembut membelai pipi cubby Lila.
Di ruang kerja yang terorganisir rapi, Rangga duduk di hadapan Sean, menyerahkan laporan proyek luar kota yang baru saja dia selesaikan. “Semua sudah selesai dengan baik, Mas. Tim lokal sangat kooperatif, dan masalah teknis sudah ditangani,” lapor Rangga dengan nada penuh percaya diri. Sean hanya mengangguk pelan sambil menatap dokumen di tangannya. “Baik. Bagus sekali,” jawabnya singkat, tanpa mengangkat pandangannya dari laporan. Rangga menunggu reaksi lebih, mungkin pujian sedikit pujian atau mungkin perintah untuk tugas yang lain. Meski raga Sean berada di ruang kerjanya, tetapi tampaknya hati dan pikirannya sedang berada di tempat yang lain Rangga memiringkan kepalanya sedikit, mencoba membaca ekspresi bosnya. Biasanya, Sean akan memberikan komentar detail atau setidaknya terlihat puas dengan hasil kerja tim. Namun, hari ini berbeda. Wajah Sean tampak lebih muram, seolah ada beban yang mengganggu pikirannya. “Ada masalah, Mas? Mbak Lila? Atau … Miranda?” cecar Rangga seolah
Sekar tidak bisa diam saja dengan menghilangnya Lila. Lila dan anaknya harus selamat, bukan hanya untuk bisa mendapatkan kembali asset keluarganya dan Mehendra Securitas, tetapi karena anak yang dikandung Lila adalah cucunya, darah dagingnya. Sekar menatap Theo dengan mata penuh tekanan. Di ruang kerjanya yang sunyi, dia duduk tegap, tangan meremas sisi kursi dengan kuat. Theo berdiri di hadapannya, wajahnya serius, siap menerima perintah. "Aku ingin kau menemukan Lila. Segera. Dan kau harus lebih dulu dari Sean." Suara Sekar dingin dan tajam. Theo mengangguk, baginya ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, terutama di hadapan Sean yang sekarang menggunakan jasa Selo Ardi untuk urusan keamanan. "Adakah petunjuk lain yang bisa saya gunakan? Selain Pak Andika dan Ryan, adakah orang lain yang bisa dicurigai?" tanya Theo, mencoba menggali informasi lebih sebelum melangkah. Sekar terdiam. Pikirannya berputar cepat, menyisir setiap kemungkinan. Siapa yang mungkin terlibat? U
Sean berdiri di ambang pintu rumah mewah yang ditempati Sekar. Wajahnya penuh kegelisahan, tetapi tubuhnya tetap tegap seperti biasa. Tekadnya bulat untuk mencari tahu apa pun yang bisa membantunya menemukan Lila. Kala pelayan membuka pintu, Sean langsung masuk, melewati ruang tamu menuju ruang kerja di mana Sekar duduk dengan anggun, membaca dokumen-dokumen penting. “Mama,” panggil Sean, suaranya tegas tetapi mengandung nada cemas. Sekar mengangkat wajahnya, menatap anaknya dengan sorot mata dingin tetapi penuh perhatian. “Sean? Apa yang terjadi? Kau terlihat sangat kacau, Lila sudah melahirkan?” Sean menarik napas panjang, menahan letupan emosinya. “Lila hilang, Ma. Aku perlu tahu, apakah dia ada di sini? Apakah Mama tahu sesuatu tentang keberadaannya?” Sekar tertegun, jemarinya berhenti membolak-balik halaman dokumen. “Lila hilang?” Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tidak biasa. “Bagaimana bisa?” Sean menjelaskan secara singkat, termasuk kesaksian Bi Siti yang menyebut
Pagi buta, Sean sudah berada di rumah sakit. Wajahnya lelah, tetapi tatap matanya masih menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. Di depan ruang perawatan Bi Siti, Selo Ardi bersama beberapa orang kepercayaannya berdiri dengan setia, menunggu perkembangan. Mereka menyambut Sean dengan anggukan singkat, paham bahwa situasinya semakin mendesak. Sean langsung masuk ke ruang perawatan Bi Siti. Rangga pun tampak di sana, meskipun kesehatannya belum pulih sepenuhnya, tetapi dari pakaian yang dia kenakan, tampaknya dia sudah siap untuk bekerja hari ini. Sementara itu Bi Siti, yang terbaring lemah di tempat tidur, menoleh perlahan. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyiratkan rasa bersalah. Sean duduk di kursi di sebelahnya, mencoba menahan emosi. "Bi, aku butuh kau jujur sekarang. Tolong, katakan apa yang sebenarnya terjadi." “Waktu saya nunggu Mbak Lila di toilet, tiba-tiba ada yang menyekap saya dari belakang. Saya tidak bisa melawan, tenaganya kuat banget,” ucap Bi Siti yang masih terlih
“Ryan!” Risda, yang berdiri di belakang Ryan, berteriak kencang, "Hentikan!" Dia segera berdiri di depan putranya, berusaha melindunginya.Sean menunjuk Ryan dengan tangan gemetar. "Katakan … di mana kau menyembunyikan istriku.”Risda menggelengkan kepala, berharap Sean tidak lagi memukul Ryan. Air mata Risda jatuh bercucuran saat melihat darah segar yang keluar dari mulut putra semata wayangnyaRyan sadar dirinya telah banyak melakukan kesalahan kepada Sean. Tetapi dia sama sekali tidak menduga jika kemarahan Sean karena Lila."Aku benar-benar tidak tahu, Sean," ucap Ryan lirih sambil menahan sakit akibat pukulan Sean"Jangan bohong lagi, Ryan!" seru Sean, suaranya bergetar penuh amarah. Ia mendekati Ryan, matanya menyala dengan kemarahan yang tak bisa dibendung. "Aku tahu kau ada hubungannya dengan hilangnya Lila. Berhenti berpura-pura!"Ryan menelan ludah, berusaha mengendalikan napasnya yang mulai memburu. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa-apa soal Lila!" ucap Ryan tegas, meski n
Sean tiba di gerbang rumah Andika dengan amarah yang membara. Dia turun dari mobil tanpa menunggu Cyrus atau Selo, langsung mendekati petugas keamanan yang berjaga.“Saya ingin bertemu Ryan, sekarang juga!” sergah Sean dengan nada kasar, matanya tajam seperti pisau.Petugas keamanan tampak ragu. Ia mencoba bersikap profesional, tetapi gemetar melihat sorot mata Sean yang begitu mengintimidasi. “Maaf, Pak, saya harus melapor dulu ke dalam sebelum ….”Sean tidak memberinya kesempatan. Dengan satu dorongan kuat, gerbang terbuka, membuat petugas kehilangan keseimbangan. Tanpa memedulikan teriakan protes di belakangnya, Sean melangkah masuk dengan langkah lebar, diikuti beberapa orang yang datang bersamanya.Tekanan itu membuat petugas memilih diam, lebih baik menghindar dan mencari aman daripada menghadapi kemarahan yang jelas bukan untuknya.“Pak, ini tidak bisa sembarangan!” seru petugas dengan nada setengah hati.Tetapi Sean tak menggubris. Hanya ada satu hal di pikirannya, menemukan R
Meski sudah meminta Selo Ardi untuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Lila, tetapi Sean tetap melaporkan hilangnya Lila ke pihak kepolisian.Kini Sean sudah berada di kantor polisi, duduk di ruang pelaporan kepolisian dengan wajah tegang. Di sebelahnya, Cyrus, pengacara barunya, sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang mereka bawa. Mereka telah melampirkan semua yang diminta, foto terbaru Lila, identitas lengkap, hingga laporan kronologis kejadian.Namun, tanggapan dari pihak kepolisian terasa hambar dan normatif. Sangat tidak memuaskan bagi Sean yang sedang dilanda kepanikan yang sangat.“Kami akan mencatat laporan ini dan memulai penyelidikan,” ucap sang petugas dengan nada datar. “Tolong tunggu kabar berikutanya dari kami.”Sean mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak. “Istri saya hilang, dia sedang hamil, Pak. Dan Anda hanya meminta saya menunggu?W aktu adalah segalanya di sini. Setiap detik yang terbuang bisa memperbesar risiko!”Petugas itu menatap Sean deng
Sean mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya fokus menatap jalan yang seakan memanjang tanpa ada ujungnya. Hati Sean penuh kecemasan, bayangan Lila memenuhi pikirannya.Jemari Sean menggenggam setir dengan erat, mencoba menekan rasa panik yang terus menghantui.Lampu jalan yang melesat di kedua sisinya tak ia hiraukan. Setiap detik terasa begitu berharga, seakan jarak menuju mall tempat Lila berbelanja menjadi lebih panjang dari seharusnya.“Di mana kamu, Lil?” tanya Sean pelan sambil melirik ponsel yang berada di sampingnya, berharap sang istri segera menghubungi dan memberi kabar.Setibanya di mall, Sean langsung turun dari mobil tanpa memedulikan valet yang berlari mendekat. Di kantor keamanan gedung, dia melihat sopir pribadinya berdiri dengan wajah tegang.Sean menghampirinya dengan langkah cepat, kemarahannya tak lagi bisa ia tahan. Hingga akhirnya kepalan tangan Sean mendarat di tubuh pria tegap itu.“Bagaimana mungkin kau tidak tahu dia menghilang?” Suara Sean m
Bella terlihat sudah siap untuk pulang kantor. Namun sebelum meninggalkan gedung, dia menghampiri ruang kerja Sean terlebih dahulu, seolah ingin memastikan sesuatu. Dengan langkah ragu, dia mengetuk pintu dan masuk setelah mendengar izin.“Pak Sean, apakah benar Bapak akan lembur malam ini?” tanya Bella sambil berdiri di dekat pintu. “Jika ada yang bisa saya bantu, mungkin menyiapkan beberapa berkas atau pesan makan malam, tolong beri tahu saya.”Sean mengangkat wajahnya dari layar komputer, menatap Bella sekilas sebelum menjawab, “Tidak perlu. Semua sudah bisa saya tangani sendiri.”Bella tersenyum tipis, lalu berkata dengan hati-hati, “Mungkin Pak Sean bisa pertimbangkan makan malam dulu, agar tetap fit. Saya bisa pesan makanan favorit Pak Sean.”Sean menghela napas pendek, mengingat makan siang pesanan Bella sebelumnya yang membuatnya harus tetap waspada. Apalagi setelah ini dia akan sendirian di kantor, jika sampai Bella melanjutkan rencananya, tidak mudah bagi Sean untuk melepask
Lila melangkah di sepanjang lorong pusat perbelanjaan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Sejak kehamilannya, momen seperti ini jarang terjadi. Langkahnya ringan, seolah seluruh beban yang selama ini menghimpit telah terangkat. Di sampingnya, Bi Siti membawa beberapa kantong belanjaan sambil tertawa kecil, dipenuhi kegembiraan. Hanya sekedar menemani belanja saja Bi Siti mendapat banyak hadiah yang tidak terduga dari Lila. Wajah wanita paruh baya itu cerah, seperti tak percaya nasib baik hari ini. “Bi, pilih apa saja yang Bi Siti suka,” ucap Lila sambil menunjuk deretan toko di sekeliling mereka. Suaranya hangat, penuh ketulusan. “Ah, Mbak Lila, ini saja sudah terlalu banyak,” jawab Bi Siti. Namun, matanya berbinar-binar menatap tas dan baju baru yang telah dibelikan untuknya. Dalam hati, ia bersyukur karena majikannya begitu baik hati. Mereka terus berjalan, menikmati suasana pusat perbelanjaan yang ramai hingga lelah mulai melanda. Lila melirik jam tangannya. “Kita makan siang du