Sean menatap Lila dengan frustrasi yang memuncak, namun dia menahan diri agar tidak kehilangan kontrol. Sean tidak habis pikir, mengapa perempuan bisa begitu enteng mengucap kata cerai, dan begitu lantang menantang talak. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya sebelum berbicara lagi. "Lila, aku tidak tahu kenapa kamu terus menantangku seperti ini. Aku hanya sedang berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu dan anak kita." Lila mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, seolah tidak mempedulikan ucapan Sean. Tatap mata tajam Sean tidak absen dari wajah Lila. "Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuanku, jangan salahkan aku kalau aku akan mengurungmu sampai waktu yang tidak ditentukan. Bahkan untuk pemeriksaan kehamilan atau persalinan nanti, aku bisa mendatangkan dokter ke rumah. Aku serius, Lila. Jangan uji kesabaranku." Lila terdiam, wajahnya yang tadi dipenuhi emosi perlahan berubah menjadi ketegangan. Dia tahu Sean tidak main-main dengan a
Sean melirik Lila yang duduk di sampingnya. Diamnya perempuan yang berstatus istri itu terasa seperti dinding tebal yang memisahkan mereka.Di balik kemudi, Sean mencoba mencairkan suasana dengan bertanya, "Sudah lama tidak ke luar rumah, apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?"Lila tidak langsung menjawab. Dia hanya memalingkan wajah ke jendela, memperhatikan pemandangan bahu jalan yang terus bergerak. Dalam hatinya, Lila merasa marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin hanya dengan dekapan Sean tadi dia bisa luluh? Padahal, dia ingin sekali menunjukkan sikap tegas. Tapi tubuhnya seperti menolak. Pikiran Lila berkecamuk, mencari cara untuk kembali mendapatkan kendali atas hidupnya, cara agar dia bisa merasakan kebebasan lagi.Sean menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi karena tidak dihiraukan. Dia mencoba lagi. "Mungkin setelah ini kita bisa makan sesuatu yang kamu suka. Apa ada yang kamu inginkan?"Namun, Lila tetap diam. Sean menghela napas, merasa semakin sulit menjangkau
Saat mobil memasuki area parkir Diamond Restaurant, Lila mengerutkan kening. "Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Lila yang terlihat terkejut.Sean tersenyum kecil sambil mematikan mesin mobil. "Aku sudah mereservasi tempat untuk makan malam. Kupikir kita butuh waktu berdua untuk berbicara lebih santai."Mata Lila melebar. Seketika itu juga, perasaan hangat menjalari hatinya. Dia mengenali tempat ini sebagai restoran favoritnya, juga tempat di mana takdir mempertemukan mereka kembali setelah perceraian mereka."Kenapa di sini?" gumamnya pelan, masih terkejut.Sean membuka pintu mobil untuk Lila dan mengulurkan tangannya. "Karena aku tahu tempat ini spesial bagimu. Juga bagiku," jawabnya sambil menatap mata Lila dengan lembut.Lila menelan ludah, mencoba menyembunyikan perasaan bahagia yang membuncah. Bukan hanya makan malam yang diinginkan oleh Lila. Sebagai seorang istri tentu hidupnya tidak bebas lagi, dia butuh izin untuk sekedar keluar agar tidak ada salah paham dan juga demi kea
Pandangan Sean dan Miranda bertemu. Ada keheningan yang rumit di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak.Miranda tampak salah tingkah, jelas tidak menyangka akan bertemu Sean di tempat itu. Semantara pria di sampingnya melingkarkan tangan di pinggang Miranda, memberi isyarat kepemilikan.Sean mengalihkan pandangan dan mengangguk kecil, sekadar menyapa tanpa kata. Miranda membalasnya dengan senyum kaku. Tidak ada ucapan, hanya gestur canggung yang terasa lebih berbicara dari apa pun.Lila memperhatikan interaksi itu dengan wajah datar, tetapi ia merasakan perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya. Melihat bagaimana Sean menatap Miranda dengan begitu intens, membuat Lila ingin melepaskan belitan tangannya. Tetapi dengan sigap Sena segera memeganginya saat merasa belitan itu mulai mengendur.“Sudah malam, kita harus segera pulang,” ucap Sean singkat, sambil membimbing langkah Lila menuju ke mobil mereka.Setelah berjarak cukup jauh dari Miranda dan pasangannya, Lila tiba-tiba melep
Lila duduk di depan meja rias, menatap cermin dengan ekspresi gelisah. Tisu basah di tangannya mulai pudar warnanya, penuh dengan sisa makeup yang dia hapus perlahan. Namun, bukan pantulan wajahnya di cermin yang menarik perhatian Lila, melainkan layar ponsel yang sejak tadi menyita perhatiannya.Jari-jarinya kembali menyentuh ikon panggil, berharap kali ini ada jawaban di ujung sana. Nada sambung terdengar, tapi hanya beberapa detik sebelum langsung terputus. Ia mencoba lagi, namun hasilnya sama. Perasaan panik mulai merayap ke dalam dirinya."Kenapa tidak diangkat?" gumam Lila dengan suara pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibir, menahan rasa frustrasi yang semakin memuncak. Dalam benaknya, berjuta alasan muncul, mencoba menjelaskan kenapa panggilannya tidak diterima.Lila membuka aplikasi pesan, mencoba mengirim teks, tapi sebuah notifikasi muncul ‘Pesan tidak terkirim’. Kening Lila berkerut, dan dia mencoba hal lain, menelusuri kontaknya. Mata Lila
Lila terdiam, matanya membeliak lebar. Kata-kata Sean menggantung di udara, seolah mengguncang kamar mereka dengan gelombang emosi yang sulit diungkapkan.“Singapura? Transplantasi ginjal?” tanya Lila dengan suara bergetar, campuran antara kebingungan dan harapan yang tiba-tiba menyala.Sean tidak langsung menjawab. Dia hanya meraih tangan Lila dengan lembut, menggenggamnya erat seolah ingin menyampaikan kekuatan melalui sentuhan.“Ya, Lila,” ucap Sean akhirnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan. “Aku tahu betapa kamu menyayangi Bapak. Karena itu, aku tidak mau menunggu lebih lama. Saat ini Bapak sudah berada di rumah sakit terbaik di Singapura. Tim dokter di sana siap melakukan transplantasi ginjal begitu semua persiapannya selesai.”Air mata menggenang di mata Lila, tetapi kali ini bukan karena kesedihan yang selama ini menghantuinya. Perempuan hamil itu menatap wajah suaminya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, antara terkejut, lega, dan rasa syukur yang begitu mendalam.“Se
Dalam keheningan yang penuh makna, Sean hanya bisa menatap tangan Lila yang kecil dan lembut dalam genggamannya. Dia mengusap punggung tangan itu dengan perlahan, seperti mencoba menyampaikan sesuatu yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.Ada gejolak membara dalam dirinya yang sebenarnya sudah tidak bisa dia bendung lagi. Tetapi Sean tidak memiliki keberanian seperti sebelumnya, dia seolah menunggu, berharap ada celah kecil dari Lila yang memberinya tanda, sekadar isyarat bahwa hubungan mereka saat ini baik-baik saja.“Kangen,” ucap Lila tiba-tiba dengan suara lirih, hampir seperti bisikan, memecah keheningan yang menenggelamkan mereka.Sean tersentak. Kata itu menggema di telinganya, menyalakan harapan yang perlahan mulai memudar. Dia tersenyum kecil, senyum yang mengandung kebahagiaan sekaligus kerinduan yang tertahan.Dengan perlahan, Sean mendekatkan wajahnya. Hatinya berdebar kencang, dia ingin melabuhkan satu kecupan, menyatukan kehangatan yang selama ini terasa menjauh.
Waktu terus bergerak, dan malam berganti pagi. Suasana rumah Sean dan Lila terasa hangat, seolah semua ketegangan yang pernah ada telah menguap begitu saja. Lila berdiri di depan Sean, tangannya dengan luwes memasangkan dasi pada kemeja suaminya. Sebuah kebiasaan baru dalam rumah tangga mereka. Wajah Sean terlihat serius, tetapi tatap matanya tidak lepas dari raut wajah cantik istrinya yang kini terlihat begitu menenangkan. Sean menyesali telah menyia-nyiakan dua tahun pernikahan mereka dahulu. Membuang waktu demi egonya. Pada dua tahun pernikahan mereka dulu, Sean dan Lila bertemu di pagi hari sudah dalam keadaan rapi dan siap untuk menjalani aktivitas masing-masing. Tidak ada komunikasi yang berarti, hingga membuat pernikahan mereka terasa hambar.“Bagaimana, terlalu kencang?” tanya Lila sambil merapikan dasi itu dengan hati-hati.Sean tersenyum kecil, menatap wajah Lila yang begitu dekat dengannya. “Tidak. Pas sekali.” Tangan Sean terulur, dengan lembut membelai pipi cubby Lila.
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa
Suara rintik hujan menenggelamkan desah dan erang di dalam kamar mewah. Di atas ranjang king size Sean dan Lila memburu kenikmatan bersama, sebelum putra mereka terbangun nanti.Setelah hampir satu jam, akhirnya keduanya terkapar setelah mencapai puncak bersama. Sean dan Lila tidak langsung tidur, tapi melanjutkan dengan berbincang ringan tentang rencana ke depan untuk rumah tangga mereka.Lila bersandar di dada Sean, tubuh polos mereka terbungkus selimut hangat. Aroma hujan yang samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.“Lila.” Sean memulai dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan. “Aku tahu, mungkin kamu kadang tidak setuju dengan keinginanku supaya kamu lebih banyak di rumah, fokus sama anak-anak.”Lila mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sean yang terlihat menerawang ke langit-langit. “Aku hanya ingin memastikan Brilian tumbuh dalam keluarga yang utuh, tidak seperti aku dulu.”Sean mengeratkan pelukannya, menghela napas panjang sebelum melanj