Seperti biasa, setiap awal bulan Sekar akan menerima laporan keuangan dari Mahendra Securitas. Perempuan paruh baya itu duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop dengan ekspresi serius. Laporan keuangan dan kinerja Mahendra Securitas terpampang jelas di depan matanya. Semua grafik menunjukkan penurunan, dari laba bersih hingga pertumbuhan investasi klien. Angka-angka itu berbicara dengan keras, seolah memberikan pesan yang jelas, ada sesuatu yang salah. Sekar mengambil laporan cetak yang berada di meja, membacanya sekali lagi dengan alis berkerut. Tidak ada alasan signifikan yang menjelaskan semua penurunan ini, setidaknya bukan yang tercantum dalam laporan. Sekar merasa ada yang disembunyikan atau mungkin sesuatu yang tidak diawasi dengan baik. Sekar menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dengan sangat terpaksa, Sekar harus menekan nama kontak yang paling dia hindari ‘Andika’. “Saya perlu bicara dengan Anda sekarang,” ucap Sekar sesaat setelah panggilan terhubung,
Andika menatap Sekar dengan tenang, meskipun jelas terlihat dia sedikit gugup. "Saya tidak mengerti maksud Anda, Bu Sekar.” Jika boleh jujur sebenarnya Andika ingin sekali memanggil sayang kepada perempuan di hadapannya. “Penurunan yang terjadi diakibat oleh banyak faktor eksternal, salah satunya adalah perekonomian global yang sedang memburuk." Sekar mendengus, wajahnya memerah oleh amarah yang tertahan. "Jangan beri saya alasan klise seperti itu! Beberapa bulan lalu, saat kondisi ekonomi global juga tidak stabil, perusahaan ini masih menunjukkan kinerja yang sangat baik. Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Sekar menunggu jawaban, tetapi Andika hanya terdiam. Dia tahu, apa pun yang dia katakan saat ini hanya akan menjadi bahan amunisi untuk Sekar menyerangnya lebih keras. “Apakah ini rencanamu untuk memberikan perusahaan yang tidak sehat kepada Sean?" tanya Sekar lagi, setelah Andika tidak juga memberi jawaban. Andika menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekar, say
Ryan berdiri di sudut ruangan, tangan mengepal di sisi tubuhnya, menyaksikan dokter dan tim medis bekerja menangani Risda yang kembali histeris. Napasnya tertahan, matanya memerah, tetapi ia berusaha keras menahan air matanya. Suara jeritan ibunya beberapa saat lalu masih terngiang, membuat hatinya perih. Setelah beberapa waktu, obat yang diberikan mulai bekerja. Risda yang tadinya terus meronta perlahan menjadi tenang. Napasnya lebih teratur, dan akhirnya dia terlelap di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang penuh kelelahan menyiratkan pergulatan batin yang begitu berat. Dokter menghampiri Ryan, melepas sarung tangan medisnya dengan ekspresi serius namun penuh empati. "Kondisi seperti ini memang biasa terjadi, Ryan," ujar dokter, suaranya lembut tetapi tegas. "Ibumu mengalami trauma yang cukup mendalam. Kita harus sangat berhati-hati untuk menghindarkan dia dari hal-hal yang bisa memicu ingatan masa lalunya." Ryan mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. "Apa yang harus
Andika melangkah masuk ke ruang perawatan dengan raut wajah tenang, tapi ada bayangan cemas yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya langsung tertuju pada Risda yang masih terlelap, wajahnya pucat tapi tampak lebih damai dibanding sebelumnya.Ryan duduk di samping tempat tidur ibunya, menggenggam tangannya erat. Saat melihat Andika, tatapan Ryan berubah dingin, penuh dengan kebencian yang tidak disembunyikan.Andika menghela napas sebelum mendekat. “Bagaimana keadaan mamamu?” tanyanya dengan suara pelan, mencoba membuka pembicaraan.Ryan hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat. “Seperti yang Papa lihat.” Nada suaranya datar, tanpa emosi.Andika mendekat sedikit, tapi Ryan tidak memberikan ruang untuk kehangatan apa pun. “Aku dengar dia sempat histeris lagi. Apa penyebabnya?”Ryan mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari Risda. “Apa bedanya Papa tahu atau tidak? Ini bukan kali pertama Papa bersikap seolah peduli.” Kata-katanya tajam, hampir berbisik, berusaha meredam
Sean duduk di ruang kerjanya, layar laptopnya menampilkan video terbaru yang diunggah Lila. Kali ini, istrinya memaparkan tentang pentingnya dana darurat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan nada bicara yang tenang namun tegas, Lila menjelaskan konsep tersebut menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami.“Dana darurat itu seperti payung di tengah hujan,” ucap Lila dalam video, wajahnya terlihat bersinar dengan senyum yang membuat pesan itu terasa lebih meyakinkan. “Kita tidak pernah tahu kapan badai akan datang, tapi dengan dana darurat, kita punya perlindungan.”Sean tidak hanya fokus pada kata-katanya. Ia memperhatikan setiap detail. Gaya bicara Lila sangat natural, seolah-olah dia sedang berbicara langsung dengan orang-orang yang menonton. Ada sesuatu dalam caranya berkomunikasi yang membuat Sean tidak bisa mengalihkan perhatian.Namun, bukan hanya itu yang membuatnya terpaku. Sean juga memperhatikan latar belakang video. Sean tahu itu adalah apartemen yang beberapa waktu Lalu
Sean memasuki apartemen dengan langkah ringan, tangannya membawa kotak tripod yang masih tersegel rapi. Hari ini terasa lebih tenang baginya. Setelah hari yang melelahkan di kantor, dia lega karena telah memenuhi salah satu kebutuhan kecil Lila.Tetapi tampaknya Sean belum puas, rasanya dia ingin memukul kepalanya sendiri. Seharusnya tadi dia meminta salah satu stafnya untuk mengemas tripod itu lebih menarik. Dan mungkin dia bisa membeli bunga agar terlihat lebih romantis. Sean menggelengkan kepala, seolah bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal-hal manis seperti itu tidak pernah terlintas di kepalanya?Sesampainya di ruang keluarga, Sean mendapati istrinya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. Wajah Lila tampak serius, jemari lentiknya sibuk mengetik, mungkin tengah menyelesaikan naskah untuk konten berikutnya.Saking fokusnya, membuat Lila tidak menyadari kehadiran Sean. Hingga sampai tubuh gagah itu berdiri tegap di hadapannya."Hei," sapa Sean dengan lembut, mencoba
Sean mengira segalanya akan berjalan mulus, tetapi pesan dari Rangga memutarbalikkan segalanya. Rina dan Nadya, dua sahabat yang selama ini menjadi tempat Lila berbagi cerita, ternyata sudah mengundurkan diri dari Mahendra Securitas.Sean menatap layar ponselnya lama, mengulang membaca pesan dari Rangga seolah-olah ada sesuatu yang terlewatkan.“Ada apa?” tanya Lila saat melihat perubahan drastis ekspresi wajah suaminya.Sean tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian istrinya. Ia mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Lila yang chubby dengan lembut."Sebentar, ya," ucap Sean lalu bangkit dari sofa.Sean mencoba menjaga sikap agar Lila tidak menyadari kegelisahannya. Dengan langkah pelan, dia menjauh ke sudut ruangan yang lebih tenang dan segera menelepon Rangga.Ponselnya segera ditempelkan ke telinga, panggilan cepat dilayangkan kepada Rangga. "Halo, Rangga," ucapnya dengan nada rendah namun tegas. "Kamu yakin mereka sudah resign?""Ya, Mas. Katanya tidak lama setelah Mbak Lila r
Jika sebelumnya Rangga mengatakan kepada Sean takut khilaf jika menemui Nadya di malam hari, tetapi pada kenyataannya malam itu juga Rangga mencari alamat tempat tinggal Nadya.Sudah tentu hal ini dia lakukan bukan semata-mata karena perintah dari sang bos, tetapi karena dia memiliki misi sendiri untuk bertemu dengan Nadya.Tidak bisa dipungkiri, jika Sejak pertemuan pertama dengan sahabat Lila itu Rangga merasakan getaran di dalam hatinya.Memang sebelumnya Rangga ingin mengejar cinta Lila, tetapi dengan kehamilan dan rujuknya Lila dengan Sean, Rangga sadar jika dia harus mundur dan mengikhlaskan Lila untuk bahagia bersama bosnya tersebut. Mengabaikan rasa lelah setelah seharian bekerja, Rangga menyusuri jalanan kota dengan fokus pada alamat yang dia dapatkan. Lampu-lampu jalanan yang temaram menemaninya menuju sebuah tempat kost tiga lantai yang sederhana.Mobil Rangga berhenti di depan bangunan dengan cat yang mulai memudar. Rangga memandangi sekeliling, memastikan tempat itu cuku
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P