Andika menatap Sekar dengan tenang, meskipun jelas terlihat dia sedikit gugup. "Saya tidak mengerti maksud Anda, Bu Sekar.” Jika boleh jujur sebenarnya Andika ingin sekali memanggil sayang kepada perempuan di hadapannya. “Penurunan yang terjadi diakibat oleh banyak faktor eksternal, salah satunya adalah perekonomian global yang sedang memburuk." Sekar mendengus, wajahnya memerah oleh amarah yang tertahan. "Jangan beri saya alasan klise seperti itu! Beberapa bulan lalu, saat kondisi ekonomi global juga tidak stabil, perusahaan ini masih menunjukkan kinerja yang sangat baik. Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Sekar menunggu jawaban, tetapi Andika hanya terdiam. Dia tahu, apa pun yang dia katakan saat ini hanya akan menjadi bahan amunisi untuk Sekar menyerangnya lebih keras. “Apakah ini rencanamu untuk memberikan perusahaan yang tidak sehat kepada Sean?" tanya Sekar lagi, setelah Andika tidak juga memberi jawaban. Andika menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekar, say
Ryan berdiri di sudut ruangan, tangan mengepal di sisi tubuhnya, menyaksikan dokter dan tim medis bekerja menangani Risda yang kembali histeris. Napasnya tertahan, matanya memerah, tetapi ia berusaha keras menahan air matanya. Suara jeritan ibunya beberapa saat lalu masih terngiang, membuat hatinya perih. Setelah beberapa waktu, obat yang diberikan mulai bekerja. Risda yang tadinya terus meronta perlahan menjadi tenang. Napasnya lebih teratur, dan akhirnya dia terlelap di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang penuh kelelahan menyiratkan pergulatan batin yang begitu berat. Dokter menghampiri Ryan, melepas sarung tangan medisnya dengan ekspresi serius namun penuh empati. "Kondisi seperti ini memang biasa terjadi, Ryan," ujar dokter, suaranya lembut tetapi tegas. "Ibumu mengalami trauma yang cukup mendalam. Kita harus sangat berhati-hati untuk menghindarkan dia dari hal-hal yang bisa memicu ingatan masa lalunya." Ryan mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. "Apa yang harus
Andika melangkah masuk ke ruang perawatan dengan raut wajah tenang, tapi ada bayangan cemas yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya langsung tertuju pada Risda yang masih terlelap, wajahnya pucat tapi tampak lebih damai dibanding sebelumnya.Ryan duduk di samping tempat tidur ibunya, menggenggam tangannya erat. Saat melihat Andika, tatapan Ryan berubah dingin, penuh dengan kebencian yang tidak disembunyikan.Andika menghela napas sebelum mendekat. “Bagaimana keadaan mamamu?” tanyanya dengan suara pelan, mencoba membuka pembicaraan.Ryan hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat. “Seperti yang Papa lihat.” Nada suaranya datar, tanpa emosi.Andika mendekat sedikit, tapi Ryan tidak memberikan ruang untuk kehangatan apa pun. “Aku dengar dia sempat histeris lagi. Apa penyebabnya?”Ryan mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari Risda. “Apa bedanya Papa tahu atau tidak? Ini bukan kali pertama Papa bersikap seolah peduli.” Kata-katanya tajam, hampir berbisik, berusaha meredam
Sean duduk di ruang kerjanya, layar laptopnya menampilkan video terbaru yang diunggah Lila. Kali ini, istrinya memaparkan tentang pentingnya dana darurat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan nada bicara yang tenang namun tegas, Lila menjelaskan konsep tersebut menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami.“Dana darurat itu seperti payung di tengah hujan,” ucap Lila dalam video, wajahnya terlihat bersinar dengan senyum yang membuat pesan itu terasa lebih meyakinkan. “Kita tidak pernah tahu kapan badai akan datang, tapi dengan dana darurat, kita punya perlindungan.”Sean tidak hanya fokus pada kata-katanya. Ia memperhatikan setiap detail. Gaya bicara Lila sangat natural, seolah-olah dia sedang berbicara langsung dengan orang-orang yang menonton. Ada sesuatu dalam caranya berkomunikasi yang membuat Sean tidak bisa mengalihkan perhatian.Namun, bukan hanya itu yang membuatnya terpaku. Sean juga memperhatikan latar belakang video. Sean tahu itu adalah apartemen yang beberapa waktu Lalu
Sean memasuki apartemen dengan langkah ringan, tangannya membawa kotak tripod yang masih tersegel rapi. Hari ini terasa lebih tenang baginya. Setelah hari yang melelahkan di kantor, dia lega karena telah memenuhi salah satu kebutuhan kecil Lila.Tetapi tampaknya Sean belum puas, rasanya dia ingin memukul kepalanya sendiri. Seharusnya tadi dia meminta salah satu stafnya untuk mengemas tripod itu lebih menarik. Dan mungkin dia bisa membeli bunga agar terlihat lebih romantis. Sean menggelengkan kepala, seolah bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal-hal manis seperti itu tidak pernah terlintas di kepalanya?Sesampainya di ruang keluarga, Sean mendapati istrinya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. Wajah Lila tampak serius, jemari lentiknya sibuk mengetik, mungkin tengah menyelesaikan naskah untuk konten berikutnya.Saking fokusnya, membuat Lila tidak menyadari kehadiran Sean. Hingga sampai tubuh gagah itu berdiri tegap di hadapannya."Hei," sapa Sean dengan lembut, mencoba
Sean mengira segalanya akan berjalan mulus, tetapi pesan dari Rangga memutarbalikkan segalanya. Rina dan Nadya, dua sahabat yang selama ini menjadi tempat Lila berbagi cerita, ternyata sudah mengundurkan diri dari Mahendra Securitas.Sean menatap layar ponselnya lama, mengulang membaca pesan dari Rangga seolah-olah ada sesuatu yang terlewatkan.“Ada apa?” tanya Lila saat melihat perubahan drastis ekspresi wajah suaminya.Sean tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian istrinya. Ia mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Lila yang chubby dengan lembut."Sebentar, ya," ucap Sean lalu bangkit dari sofa.Sean mencoba menjaga sikap agar Lila tidak menyadari kegelisahannya. Dengan langkah pelan, dia menjauh ke sudut ruangan yang lebih tenang dan segera menelepon Rangga.Ponselnya segera ditempelkan ke telinga, panggilan cepat dilayangkan kepada Rangga. "Halo, Rangga," ucapnya dengan nada rendah namun tegas. "Kamu yakin mereka sudah resign?""Ya, Mas. Katanya tidak lama setelah Mbak Lila r
Jika sebelumnya Rangga mengatakan kepada Sean takut khilaf jika menemui Nadya di malam hari, tetapi pada kenyataannya malam itu juga Rangga mencari alamat tempat tinggal Nadya.Sudah tentu hal ini dia lakukan bukan semata-mata karena perintah dari sang bos, tetapi karena dia memiliki misi sendiri untuk bertemu dengan Nadya.Tidak bisa dipungkiri, jika Sejak pertemuan pertama dengan sahabat Lila itu Rangga merasakan getaran di dalam hatinya.Memang sebelumnya Rangga ingin mengejar cinta Lila, tetapi dengan kehamilan dan rujuknya Lila dengan Sean, Rangga sadar jika dia harus mundur dan mengikhlaskan Lila untuk bahagia bersama bosnya tersebut. Mengabaikan rasa lelah setelah seharian bekerja, Rangga menyusuri jalanan kota dengan fokus pada alamat yang dia dapatkan. Lampu-lampu jalanan yang temaram menemaninya menuju sebuah tempat kost tiga lantai yang sederhana.Mobil Rangga berhenti di depan bangunan dengan cat yang mulai memudar. Rangga memandangi sekeliling, memastikan tempat itu cuku
“Kata Pak Sean, Bu Lila ngidam ingin berkumpul dengan teman-temannya. Tapi ternyata nomormu dan dan nomor Rina tidak bisa dihubungi. Jadinya Pak Sean kelimpungan, bukan takut anaknya ngeces, tapi lebih takut kalau disuruh tidur di luar.”Rangga memberi penjelasan tetap dengan gaya bicaranya yang penuh canda. Sementara itu, Nadya menyipitkan matanya, tidak yakin. Dia merasa Rangga hanya mengada-ada.“Ngidam kumpul teman-teman? Kamu yakin? Kayaknya aneh.”Rangga mengangkat bahu. “Aku cuma penyampai pesan, Mbak. Tapi Pak Sean terlihat sangat serius dengan hal ini. Bahkan dia siap membayar Mbak Nadya hanya agar mau bertemu dengan Bu Lila.”“Berapa?” tanya Nadya sambil membeliakkan matanya. Tetapi tidak butuh waktu lama, Nadya terlihat kembali biasa, dia sadar bahwa pertemanan tidak bisa diukur dengan materi“Jika Lila memang ingin bertemu denganku, tidak perlu bayar, aku bersedia,” ucap Nadya terdengar tulus.“Syukurla.” Wajah Rangga terlihat lega, sampai-sampai senyum tipis terukir di bi
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa
Suara rintik hujan menenggelamkan desah dan erang di dalam kamar mewah. Di atas ranjang king size Sean dan Lila memburu kenikmatan bersama, sebelum putra mereka terbangun nanti.Setelah hampir satu jam, akhirnya keduanya terkapar setelah mencapai puncak bersama. Sean dan Lila tidak langsung tidur, tapi melanjutkan dengan berbincang ringan tentang rencana ke depan untuk rumah tangga mereka.Lila bersandar di dada Sean, tubuh polos mereka terbungkus selimut hangat. Aroma hujan yang samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.“Lila.” Sean memulai dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan. “Aku tahu, mungkin kamu kadang tidak setuju dengan keinginanku supaya kamu lebih banyak di rumah, fokus sama anak-anak.”Lila mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sean yang terlihat menerawang ke langit-langit. “Aku hanya ingin memastikan Brilian tumbuh dalam keluarga yang utuh, tidak seperti aku dulu.”Sean mengeratkan pelukannya, menghela napas panjang sebelum melanj