“Kata Pak Sean, Bu Lila ngidam ingin berkumpul dengan teman-temannya. Tapi ternyata nomormu dan dan nomor Rina tidak bisa dihubungi. Jadinya Pak Sean kelimpungan, bukan takut anaknya ngeces, tapi lebih takut kalau disuruh tidur di luar.”Rangga memberi penjelasan tetap dengan gaya bicaranya yang penuh canda. Sementara itu, Nadya menyipitkan matanya, tidak yakin. Dia merasa Rangga hanya mengada-ada.“Ngidam kumpul teman-teman? Kamu yakin? Kayaknya aneh.”Rangga mengangkat bahu. “Aku cuma penyampai pesan, Mbak. Tapi Pak Sean terlihat sangat serius dengan hal ini. Bahkan dia siap membayar Mbak Nadya hanya agar mau bertemu dengan Bu Lila.”“Berapa?” tanya Nadya sambil membeliakkan matanya. Tetapi tidak butuh waktu lama, Nadya terlihat kembali biasa, dia sadar bahwa pertemanan tidak bisa diukur dengan materi“Jika Lila memang ingin bertemu denganku, tidak perlu bayar, aku bersedia,” ucap Nadya terdengar tulus.“Syukurla.” Wajah Rangga terlihat lega, sampai-sampai senyum tipis terukir di bi
“Kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini,” ucap Vicky seolah mereka sudah lama kenal.Sean terdiam menatap Vicky dengan saksama, mencoba mengingat perempuan cantik di hadapannya. Tetapi setelah beberapa saat berlalu, Sean merasa yakin jika mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Sementara itu Lila, melihat Sean dan Vicky secara bergantian memiliki penilaian yang berbeda. Sikap Vicky yang terlihat begitu akrab seolah menunjukkan jika mereka sering bertemu. Sedangkan Sean yang sejak kedatangan Vicky masih terdiam, dengan tatap mata yang tidak lepas dari Vicky bahkan dengan mulut menganga, terlihat seperti pria yang sedang terpukau dengan kecantikan dan bentuk tubuh Vicky yang mempesona.“Dengan siapa, ya? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sean dengan santun dan ramah. Sean berhati-hati dalam bertindak, siapa tahu perempuan di hadapannya adalah istri atau anak dari salah satu kliennya.“Oh … saya Vicky,” jawab Vicky dengan segera sambil mengulurkan tangannya kepada Sean. “
“Sepertinya Pak Sean sangat mencintai istrinya,” ucap Vicky yang dari kejauhan masih tetap memperhatikan kebersamaan Lila dan Sean. Bella pun turut memperhatikan Lila dan Sean. Ada perasaan tidak terima dengan apa yang tertangkap oleh indera pengelihatannya. “Sean melakukan hal itu hanya untuk anak dalam kandungan Lila. Aku yakin setelah anak itu lahir, Pak Sean akan kembali ke stelan awal.” Bella menyanggah ucapan Vicky, dia terlihat sangat yakin mengucapkannya. Lama menjadi Sekretaris Sean membuat Bella merasa mengetahui banyak tentang bosnya tersebut. Untuk urusan pekerjaan, Sean memiliki ketergantungan kepadanya, hingga membuat mereka begitu dekat. Bahkan bisa dibilang Sean lebih banyak menghabiskan waktu dan lebih dekat dengannya daripada dengan Lila, istrinya. “Tapi aku memiliki sudut pandang yang berbeda. Banyak suami yang datang untuk antar jemput istri mereka di studioku, mereka terlihat perhatian, tapi aku aku bisa melihat banyak dari mereka yang terpaksa. Dan Sean … dia
Ryan mengemudikan mobilnya dengan wajah tegang. Kata-kata Adnan Adilla terus terngiang di kepalanya."Tidak ada celah kecuali membelinya ..." Kalimat itu bagai palu yang menghantam kepalanya berulang kali.Ryan menggenggam setir dengan erat, matanya terpaku ke jalan, tetapi pikirannya melayang jauh. Bagaimana mungkin dia menyerahkan Mahendra Securitas begitu saja pada Sean?Perusahaan itu adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun, bukan hadiah yang bisa diberikan begitu saja kepada seseorang yang tidak tahu perjuangannya.Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, mobil Ryan akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Bangunan itu terlihat suram, dengan dinding-dinding yang mulai retak dan cat yang terkelupas. Ryan turun dari mobilnya, mengunci pintu, dan melangkah dengan penuh keyakinan ke arah pintu depan.Pintu kayu itu berderit saat Ryan mendorongnya perlahan. Di dalam, suasana gelap dan pengap menyambutnya. Hanya ada beberapa lampu redup yang mener
Rangga menyusuri lorong kantor dengan langkah cepat namun santai, wajahnya terlihat ceria. Ia membawa kabar baik yang sudah tak sabar ingin disampaikan kepada Sean. Sesampainya di depan pintu ruang kerja Sean, dia mengetuk perlahan.“Masuk,” suara tegas Sean terdengar dari dalam.Rangga membuka pintu dan melangkah masuk. Sean, yang sedang duduk di kursinya sambil membaca dokumen, langsung mengangkat kepala. Melihat wajah cerah Rangga, Sean tahu bahwa kabar baik menanti.“Ada apa, Ngga? Happy banget, seperti baru dapat kenalan cewek,” canda Sean sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.Rangga tersenyum lebar. “Mas Sean tahu saja. Saya sudah bertemu dengan Nadya. Dan berita baiknya, dia bersedia untuk bertemu dengan Mbak Lila kapan saja.”Sean mengangguk puas, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Bagus sekali. Kau benar-benar bisa diandalkan, Rangga. Ini akan membuat Lila sangat senang.”“Senang bisa membantu, Mas,” jawab Rangga dengan nada bangga. “Jangan lupa bonusnya!” sambung Rangga
Setelah memastikan jika Nadya bersedia keluar hari ini, Rangga langsung menuju ke tempat kost sahabat Lila tersebut. Dia menunggu di dalam mobil, mengamati gerbang sederhana yang dikelilingi tanaman rambat.Tidak butuh waktu yang lama, Nadya keluar mengenakan pakaian santai, jeans longgar dan sweater putih bersih. Meski sederhana, penampilannya terlihat segar dan polos, memancarkan pesona yang sulit diabaikan, terutama bagi Rangga yang sudah lama sendiri.Rangga turun untuk membukakan pintu mobil. Nadya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Rangga yang di rasa sangat berlebihan.“Nggak ada yang marah nanti, Mbak?” tanya Rangga sesaat setelah duduk di seat tepat di belakang kemudi.“Nggak, lagi nganggur, setelah resign belum dapat kerja lagi. Jadi nggak ada bos yang akan memarahi.”Rangga membulatkan mulutnya. Meskipun tidak mendapat jawaban sesuai yang dia inginkan Rangga tetap menganggukkan kepalanya. Tetapi tampaknya Rangga ingin sebuah kepastian tentang status
Lila tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat Nadya benar-benar hadir di hadapannya. Dengan antusias, ia menggandeng tangan sahabatnya dan mengajaknya masuk ke rumah. Namun, Nadya terlihat tidak sepenuhnya fokus pada percakapan mereka. Matanya lebih sibuk menjelajahi setiap sudut rumah mewah itu, dari lantai marmer yang mengilap hingga lampu gantung kristal yang menjulang megah di ruang tamu.Rumah seperti ini tentu menjadi impian banyak orang. Tetapi Nadya melihat adanya gurat yang menggambarkan suasana hati Lila yang tidak bahagia.“Kau bahagia?” tanya Nadya terdengar lancang.Lila menghela napas panjang, lalu dia menyunggingkan senyum yang terlihat sangat terpaksa sambil menganggukkan kepalanya.“Kau bisa jujur kepadaku,” ucap Nadya lirih dengan tatap mata tajam sambil mengangguk lemah, seolah ingin meyakinkan sahabatnya.“Rumah ini membuatku seperti dipenjara,” jawab Lila sendu.Nadya menoleh, bingung dengan pernyataan itu. “Penjara? Maksudmu?”Lila mengangguk pelan. “Bayangka
Sean duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen yang membutuhkan perhatian segera. Namun, fokusnya langsung teralihkan ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rangga menarik perhatiannya. Dengan cepat dia membuka pesan itu dan mendapati sebuah video yang dikirim oleh Rangga.Sean menekan tombol play, dan senyum kecil muncul di wajahnya. Dalam video itu, Lila terlihat ceria, duduk di taman bersama Nadya. Mereka tampak sedang merekam sesuatu, dengan tawa ringan sesekali terdengar. Sean memperhatikan dengan saksama, rasa lega menyelimuti hatinya.“Akhirnya … aku melihatmu bahagia,” gumam Sean sambil memutar video itu lagi.Namun, momen tenang itu terganggu oleh ketukan di pintu ruang kerjanya. “Masuk,” jawab Sean, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.Pintu terbuka, dan Bella, sekretarisnya, melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas di tangan. “Maaf mengganggu, Pak Sean,” ucapnya lembut.Sean segera meletakkan ponselnya di meja, mengatur ekspresi wajahnya
Ryan menatap bayangannya di cermin, menyisir rambutnya dengan perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya tidak. Rina masih memenuhi benaknya.Sejak perpisahan mereka, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tetapi bayangan gadis itu selalu muncul, terutama di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, berdiri di depan cermin, menghadapi dirinya sendiri.Dengan helaan napas panjang, Ryan meraih ponselnya dari meja. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan."Rina, bisakah kita bertemu? Mungkin untuk yang terakhir kali."Ia menatap layar, mempertimbangkan apakah ini keputusan yang tepat. Namun sebelum bisa berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.Detik-detik berlalu terasa lambat. Ia menunggu dalam diam, berharap, tapi juga takut akan jawaban yang mungkin ia terima. Lalu, ponselnya bergetar."Baiklah, di mana?"Ryan merasakan dadanya sedikit lega, meski di baliknya ada kegelisahan. Ia segera mengetik balasan."Bagaimana kalau di Restor
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa