Sean duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen yang membutuhkan perhatian segera. Namun, fokusnya langsung teralihkan ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rangga menarik perhatiannya. Dengan cepat dia membuka pesan itu dan mendapati sebuah video yang dikirim oleh Rangga.Sean menekan tombol play, dan senyum kecil muncul di wajahnya. Dalam video itu, Lila terlihat ceria, duduk di taman bersama Nadya. Mereka tampak sedang merekam sesuatu, dengan tawa ringan sesekali terdengar. Sean memperhatikan dengan saksama, rasa lega menyelimuti hatinya.“Akhirnya … aku melihatmu bahagia,” gumam Sean sambil memutar video itu lagi.Namun, momen tenang itu terganggu oleh ketukan di pintu ruang kerjanya. “Masuk,” jawab Sean, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.Pintu terbuka, dan Bella, sekretarisnya, melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas di tangan. “Maaf mengganggu, Pak Sean,” ucapnya lembut.Sean segera meletakkan ponselnya di meja, mengatur ekspresi wajahnya
Selain ingin menikmati kebersamaan dengan Nadya, Rangga juga berhati-hati membawa mobil mewah milik Sean. Jangan sampai mobil itu lecet sedikit pun karena bisa-bisa gajinya setahun habis untuk biaya ganti rugi.Rangga menyetir dengan santai, sesekali melirik Nadya yang duduk di sampingnya. Suasana di dalam mobil mewah itu terasa nyaman, hingga tanpa sadar sejak tadi mereka membicarakan istri dari pemiliknya.“Mendengar Lila mengeluh, rasanya seperti kurang bersyukur,” ucap Nadya dengan tatap mata tertuju ke depan. “Banyak perempuan yang ingin berada di posisi Lila. Tapi memang dia terlihat tidak bahagia.”“Benarkah?” Rangga mengernyitkan dahinya, sepenglihatannya Sean sudah berusaha keras untuk membahagiakan istrinya tersebut.“Meskipun harus bekerja keras dan menghadapi pandangan buruk orang sekitar, tetapi Lila terlihat lebih bahagia, dia terlihat menikmati saat-saat menjadi dirinya sendiri.”Sejenak Rangga menatap wajah gadis di sampingnya, wajah yang begitu tenang dan penuh kemand
Larut malam, jam di ruang keluarga berdetak pelan namun terasa menghantam telinga Lila yang duduk gelisah di sofa. Televisi menyala tanpa suara, sekadar menjadi pengalih perhatian yang gagal.Dulu, jika Sean belum pulang, itu bukan hal yang aneh. Bahkan jika dia tidak pulang sama sekali, Lila tidak pernah memikirkannya lebih jauh. Tetapi kini, situasinya terasa sangat berbeda.Lila memegang ponselnya erat, menatap layar dengan harapan panggilan terakhirnya akan dijawab. Sudah berulang kali dia mencoba menghubungi Sean, tapi tidak ada jawaban. Nomor yang dia hubungi terus berdering sebelum akhirnya masuk ke kotak suara."Sean, di mana kamu?" gumam Lila yang terlihat sangat cemas.Pikirannya mulai berkecamuk. Mungkin Sean sedang di sebuah club malam, bersenang-senang seperti dulu. Atau, mungkin dia bersama Vicky, instruktur senam Lila yang terlihat terlalu ramah padanya. Atau Miranda, wanita dari masa lalu Sean yang pernah muncul kembali. Pikirannya semakin liar, menambah beban di dadan
Setelah berhasil meyakinkan Lila, Sean bergegas menuju ke rumah sakit. Kedekatan mereka bukan hanya sekadar bos dan bawahan, tetapi Sean sudah menganggap Rangga seperti adiknya sendiri.Sean merasa bersalah telah membiarkan Rangga membawa mobilnya. Padahal dia tahu, saat ini ada beberapa sengketa pribadi dan bisnis belum tertuntaskan.Setibanya di rumah sakit, Sean langsung menuju meja informasi, menanyakan lokasi Rangga dirawat. Perawat di meja depan menunjukkan arah ke ruang gawat darurat. Langkah Sean semakin cepat, hingga ia tiba di depan ruang tindakan.Dari balik kaca pintu, Sean melihat dokter dan perawat yang sibuk menangani Rangga. Sean mencoba melihat lebih jelas, tetapi pandangannya terhalang tirai medis. Seorang perawat keluar dari ruangan, dan Sean segera menghampirinya.“Bagaimana kondisi Rangga?” tanyanya cemas.Perawat itu menghela napas. “Pasien mengalami cedera cukup serius, tapi saat ini kami sedang berusaha menstabilkan keadaannya. Mohon bersabar, Pak.”Sean mengan
Langkah Nadya terasa berat saat dia memasuki rumah sakit. Aroma antiseptik menyengat memenuhi hidungnya, dan suasana sepi malam menambah kegelisahannya.Di ujung lorong, Nadya melihat Sean berdiri, berbicara dengan dokter. Tampak beberapa pria tegap dengan wajah serius dan waspada di sekitar Sean. Seolah menunjukkan jika ada situasi genting selain kondisi Rangga yang sampai saat ini belum dia ketahui.Nadya memberanikan diri mendekat. Meskipun dengan tubuh gemetar, dia harus tahu kondisi Rangga saat ini.Sean menoleh saat melihat ke arah Nadya. Untuk pertama kalinya, sahabat Lila itu melihat sisi berbeda dari pria yang selama ini dia anggap dingin dan kasar. Wajah Sean tampak penuh kekhawatiran, tetapi dia masih menyempatkan diri untuk menyambutnya.“Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam,” ucap Sean sambil menghembuskan napas kasar. Baginya kedatangan Nadya adalah masalah baru malam ini.“Bagaimana keadaan Rangga?” Tanpa terasa air mata Nadia menetes. “Tadi dia masih baik-baik
Rangga perlahan membuka matanya. Cahaya lampu rumah sakit yang menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya seperti tak bertenaga. Ia mendengar suara seseorang memanggil namanya.“Rangga, kamu sudah sadar?” Sean berdiri di samping tempat tidur, ekspresi wajahnya campuran antara lega dan cemas.Rangga mencoba menggerakkan kepalanya, menatap Sean. “Mobilnya ... mobilnya, Mas.” Suara Rangga lemah, hampir seperti bisikan.Sean tersenyum kecil, menepuk bahu Rangga dengan lembut. “Mobil nggak usah kamu pikirin. Semua sudah dicover asuransi. Yang penting sekarang kamu selamat.”Rangga mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kepalanya berdenyut saat ia memaksakan diri untuk berpikir. “Aku ... aku nggak ngerti. Mobil itu … mepet terus, Mas.”Sean mengangkat tangan, memberi isyarat agar Rangga tidak memaksakan diri. “Nanti kita bicarakan. Fokus saja buat sembuh dulu. Kamu perlu istirahat.”Sebelum Rangga bisa berkata lebih banyak, pintu kamar rumah sak
Di tengah kekhawatirannya terhadap Rangga dan kesibukan Sean yang terlihat semakin berat, Lila membuka ponselnya untuk mengalihkan pikiran. Betapa terkejutnya dia saat melihat pemberitahuan dari platform video yang menunjukkan peningkatan signifikan pada jumlah penonton dan komentar di video-videonya.Setelah ditelusuri, ternyata kabar pernikahan Miranda dengan seorang pengusaha muda, anak seorang jenderal polisi aktif, sedang menjadi sorotan di media sosial. Nama Lila pun ikut terseret dalam berbagai diskusi netizen.Miranda cantik sih, tapi Lila lebih elegan. Terlihat banget siapa yang punya inner beauty.Gila, Lila tuh kayak dewi, nggak perlu nikah sama anak pejabat juga tetap menang kelasnya.Namun, tak semua komentar mendukungnya. Ada juga yang membandingkan Lila secara sinis:Ya wajar Miranda move on cepat, siapa juga yang tahan sama cowok kayak Sean. Miranda sekarang menang banyak!Miranda benar-benar spek bidadari, lepas dari Sean langsung dapat pengusaha kaya lainnya. Ga tau,
Sean tidak membuang waktu. Dia mendekati meja dengan tatapan tajam, lalu mengeluarkan sebuah map tebal dari dalam jasnya. Tanpa berkata apa-apa, dia melemparkan map itu ke atas meja.Suara berkas-berkas yang mengenai meja menggema di ruang yang sunyi itu, membuat pria di hadapannya tersentak.“Lihat sendiri,” kata Sean dengan nada rendah, tetapi sarat dengan ancaman.Pria itu membuka map dengan tangan sedikit gemetar. Di dalamnya terdapat dokumen hasil penyelidikan Selo Ardi, foto mobil Sean yang ringsek tak berbentuk, foto-foto dari rekaman CCTV, plat nomor mobil, hingga aliran dana yang berasal dari rekening putranya. Membuat wajah pria itu berubah pucat seketika.Sean menatap Andika dengan tajam, kemarahannya terlihat jelas meskipun suaranya tetap terkendali. Ia mencondongkan tubuh ke depan, tangan mengepal di atas meja."Selama ini aku sudah cukup sabar," ucap Sean tegas. "Ryan sudah berkali-kali membuat masalah, tapi aku selalu menutup mata. Aku pikir kau, sebagai ayah, akan mamp
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P