Selain ingin menikmati kebersamaan dengan Nadya, Rangga juga berhati-hati membawa mobil mewah milik Sean. Jangan sampai mobil itu lecet sedikit pun karena bisa-bisa gajinya setahun habis untuk biaya ganti rugi.Rangga menyetir dengan santai, sesekali melirik Nadya yang duduk di sampingnya. Suasana di dalam mobil mewah itu terasa nyaman, hingga tanpa sadar sejak tadi mereka membicarakan istri dari pemiliknya.“Mendengar Lila mengeluh, rasanya seperti kurang bersyukur,” ucap Nadya dengan tatap mata tertuju ke depan. “Banyak perempuan yang ingin berada di posisi Lila. Tapi memang dia terlihat tidak bahagia.”“Benarkah?” Rangga mengernyitkan dahinya, sepenglihatannya Sean sudah berusaha keras untuk membahagiakan istrinya tersebut.“Meskipun harus bekerja keras dan menghadapi pandangan buruk orang sekitar, tetapi Lila terlihat lebih bahagia, dia terlihat menikmati saat-saat menjadi dirinya sendiri.”Sejenak Rangga menatap wajah gadis di sampingnya, wajah yang begitu tenang dan penuh kemand
Larut malam, jam di ruang keluarga berdetak pelan namun terasa menghantam telinga Lila yang duduk gelisah di sofa. Televisi menyala tanpa suara, sekadar menjadi pengalih perhatian yang gagal.Dulu, jika Sean belum pulang, itu bukan hal yang aneh. Bahkan jika dia tidak pulang sama sekali, Lila tidak pernah memikirkannya lebih jauh. Tetapi kini, situasinya terasa sangat berbeda.Lila memegang ponselnya erat, menatap layar dengan harapan panggilan terakhirnya akan dijawab. Sudah berulang kali dia mencoba menghubungi Sean, tapi tidak ada jawaban. Nomor yang dia hubungi terus berdering sebelum akhirnya masuk ke kotak suara."Sean, di mana kamu?" gumam Lila yang terlihat sangat cemas.Pikirannya mulai berkecamuk. Mungkin Sean sedang di sebuah club malam, bersenang-senang seperti dulu. Atau, mungkin dia bersama Vicky, instruktur senam Lila yang terlihat terlalu ramah padanya. Atau Miranda, wanita dari masa lalu Sean yang pernah muncul kembali. Pikirannya semakin liar, menambah beban di dadan
Setelah berhasil meyakinkan Lila, Sean bergegas menuju ke rumah sakit. Kedekatan mereka bukan hanya sekadar bos dan bawahan, tetapi Sean sudah menganggap Rangga seperti adiknya sendiri.Sean merasa bersalah telah membiarkan Rangga membawa mobilnya. Padahal dia tahu, saat ini ada beberapa sengketa pribadi dan bisnis belum tertuntaskan.Setibanya di rumah sakit, Sean langsung menuju meja informasi, menanyakan lokasi Rangga dirawat. Perawat di meja depan menunjukkan arah ke ruang gawat darurat. Langkah Sean semakin cepat, hingga ia tiba di depan ruang tindakan.Dari balik kaca pintu, Sean melihat dokter dan perawat yang sibuk menangani Rangga. Sean mencoba melihat lebih jelas, tetapi pandangannya terhalang tirai medis. Seorang perawat keluar dari ruangan, dan Sean segera menghampirinya.“Bagaimana kondisi Rangga?” tanyanya cemas.Perawat itu menghela napas. “Pasien mengalami cedera cukup serius, tapi saat ini kami sedang berusaha menstabilkan keadaannya. Mohon bersabar, Pak.”Sean mengan
Langkah Nadya terasa berat saat dia memasuki rumah sakit. Aroma antiseptik menyengat memenuhi hidungnya, dan suasana sepi malam menambah kegelisahannya.Di ujung lorong, Nadya melihat Sean berdiri, berbicara dengan dokter. Tampak beberapa pria tegap dengan wajah serius dan waspada di sekitar Sean. Seolah menunjukkan jika ada situasi genting selain kondisi Rangga yang sampai saat ini belum dia ketahui.Nadya memberanikan diri mendekat. Meskipun dengan tubuh gemetar, dia harus tahu kondisi Rangga saat ini.Sean menoleh saat melihat ke arah Nadya. Untuk pertama kalinya, sahabat Lila itu melihat sisi berbeda dari pria yang selama ini dia anggap dingin dan kasar. Wajah Sean tampak penuh kekhawatiran, tetapi dia masih menyempatkan diri untuk menyambutnya.“Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam,” ucap Sean sambil menghembuskan napas kasar. Baginya kedatangan Nadya adalah masalah baru malam ini.“Bagaimana keadaan Rangga?” Tanpa terasa air mata Nadia menetes. “Tadi dia masih baik-baik
Rangga perlahan membuka matanya. Cahaya lampu rumah sakit yang menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya seperti tak bertenaga. Ia mendengar suara seseorang memanggil namanya.“Rangga, kamu sudah sadar?” Sean berdiri di samping tempat tidur, ekspresi wajahnya campuran antara lega dan cemas.Rangga mencoba menggerakkan kepalanya, menatap Sean. “Mobilnya ... mobilnya, Mas.” Suara Rangga lemah, hampir seperti bisikan.Sean tersenyum kecil, menepuk bahu Rangga dengan lembut. “Mobil nggak usah kamu pikirin. Semua sudah dicover asuransi. Yang penting sekarang kamu selamat.”Rangga mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kepalanya berdenyut saat ia memaksakan diri untuk berpikir. “Aku ... aku nggak ngerti. Mobil itu … mepet terus, Mas.”Sean mengangkat tangan, memberi isyarat agar Rangga tidak memaksakan diri. “Nanti kita bicarakan. Fokus saja buat sembuh dulu. Kamu perlu istirahat.”Sebelum Rangga bisa berkata lebih banyak, pintu kamar rumah sak
Di tengah kekhawatirannya terhadap Rangga dan kesibukan Sean yang terlihat semakin berat, Lila membuka ponselnya untuk mengalihkan pikiran. Betapa terkejutnya dia saat melihat pemberitahuan dari platform video yang menunjukkan peningkatan signifikan pada jumlah penonton dan komentar di video-videonya.Setelah ditelusuri, ternyata kabar pernikahan Miranda dengan seorang pengusaha muda, anak seorang jenderal polisi aktif, sedang menjadi sorotan di media sosial. Nama Lila pun ikut terseret dalam berbagai diskusi netizen.Miranda cantik sih, tapi Lila lebih elegan. Terlihat banget siapa yang punya inner beauty.Gila, Lila tuh kayak dewi, nggak perlu nikah sama anak pejabat juga tetap menang kelasnya.Namun, tak semua komentar mendukungnya. Ada juga yang membandingkan Lila secara sinis:Ya wajar Miranda move on cepat, siapa juga yang tahan sama cowok kayak Sean. Miranda sekarang menang banyak!Miranda benar-benar spek bidadari, lepas dari Sean langsung dapat pengusaha kaya lainnya. Ga tau,
Sean tidak membuang waktu. Dia mendekati meja dengan tatapan tajam, lalu mengeluarkan sebuah map tebal dari dalam jasnya. Tanpa berkata apa-apa, dia melemparkan map itu ke atas meja.Suara berkas-berkas yang mengenai meja menggema di ruang yang sunyi itu, membuat pria di hadapannya tersentak.“Lihat sendiri,” kata Sean dengan nada rendah, tetapi sarat dengan ancaman.Pria itu membuka map dengan tangan sedikit gemetar. Di dalamnya terdapat dokumen hasil penyelidikan Selo Ardi, foto mobil Sean yang ringsek tak berbentuk, foto-foto dari rekaman CCTV, plat nomor mobil, hingga aliran dana yang berasal dari rekening putranya. Membuat wajah pria itu berubah pucat seketika.Sean menatap Andika dengan tajam, kemarahannya terlihat jelas meskipun suaranya tetap terkendali. Ia mencondongkan tubuh ke depan, tangan mengepal di atas meja."Selama ini aku sudah cukup sabar," ucap Sean tegas. "Ryan sudah berkali-kali membuat masalah, tapi aku selalu menutup mata. Aku pikir kau, sebagai ayah, akan mamp
Lila berdiri mematung di dekat tempat tidur, matanya masih terpaku pada ponsel Sean yang tergeletak di meja. Kata-kata ‘tempat biasa’ terus terngiang-ngiang di kepalanya. Seolah menunjukkan jika selama ini Sean masih menjalin hubungan dengan Miranda, dan mereka masih sering bertemu di belakangnya. Pikiran Lila penuh dengan kecurigaan yang sulit ditepis, kecurigaan yang menyesakkan dada. Sean keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Dia mengusap rambutnya yang masih basah sambil tersenyum kecil pada Lila, tidak menyadari perubahan sikap istrinya. “Kangen Baby,” ucap Sean sambil memeluk Lila dari belakang. Bukan menyambut, tetapi Lila justru berusaha melepaskan belitan tangan Sean. Lila memutar tubuhnya, lalu sejenak mereka saling beradu pandang. “Ada apa?” tanya Sean kala melihat ekspresi dingin Lila. Lila tidak langsung menjawab. Dia menghela napas dalam-dalam seolah ingin menenangkan diri, lalu berkata dengan nada ketus, “Ada pesan dari Miranda.” Sean terdiam
Ryan menatap bayangannya di cermin, menyisir rambutnya dengan perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya tidak. Rina masih memenuhi benaknya.Sejak perpisahan mereka, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tetapi bayangan gadis itu selalu muncul, terutama di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, berdiri di depan cermin, menghadapi dirinya sendiri.Dengan helaan napas panjang, Ryan meraih ponselnya dari meja. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan."Rina, bisakah kita bertemu? Mungkin untuk yang terakhir kali."Ia menatap layar, mempertimbangkan apakah ini keputusan yang tepat. Namun sebelum bisa berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.Detik-detik berlalu terasa lambat. Ia menunggu dalam diam, berharap, tapi juga takut akan jawaban yang mungkin ia terima. Lalu, ponselnya bergetar."Baiklah, di mana?"Ryan merasakan dadanya sedikit lega, meski di baliknya ada kegelisahan. Ia segera mengetik balasan."Bagaimana kalau di Restor
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa