“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
“Sepertinya Pak Sean sangat mencintai istrinya,” ucap Vicky yang dari kejauhan masih tetap memperhatikan kebersamaan Lila dan Sean. Bella pun turut memperhatikan Lila dan Sean. Ada perasaan tidak terima dengan apa yang tertangkap oleh indera pengelihatannya. “Sean melakukan hal itu hanya untuk anak dalam kandungan Lila. Aku yakin setelah anak itu lahir, Pak Sean akan kembali ke stelan awal.” Bella menyanggah ucapan Vicky, dia terlihat sangat yakin mengucapkannya. Lama menjadi Sekretaris Sean membuat Bella merasa mengetahui banyak tentang bosnya tersebut. Untuk urusan pekerjaan, Sean memiliki ketergantungan kepadanya, hingga membuat mereka begitu dekat. Bahkan bisa dibilang Sean lebih banyak menghabiskan waktu dan lebih dekat dengannya daripada dengan Lila, istrinya. “Tapi aku memiliki sudut pandang yang berbeda. Banyak suami yang datang untuk antar jemput istri mereka di studioku, mereka terlihat perhatian, tapi aku aku bisa melihat banyak dari mereka yang terpaksa. Dan Sean … dia
“Kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini,” ucap Vicky seolah mereka sudah lama kenal.Sean terdiam menatap Vicky dengan saksama, mencoba mengingat perempuan cantik di hadapannya. Tetapi setelah beberapa saat berlalu, Sean merasa yakin jika mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Sementara itu Lila, melihat Sean dan Vicky secara bergantian memiliki penilaian yang berbeda. Sikap Vicky yang terlihat begitu akrab seolah menunjukkan jika mereka sering bertemu. Sedangkan Sean yang sejak kedatangan Vicky masih terdiam, dengan tatap mata yang tidak lepas dari Vicky bahkan dengan mulut menganga, terlihat seperti pria yang sedang terpukau dengan kecantikan dan bentuk tubuh Vicky yang mempesona.“Dengan siapa, ya? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Sean dengan santun dan ramah. Sean berhati-hati dalam bertindak, siapa tahu perempuan di hadapannya adalah istri atau anak dari salah satu kliennya.“Oh … saya Vicky,” jawab Vicky dengan segera sambil mengulurkan tangannya kepada Sean. “
“Kata Pak Sean, Bu Lila ngidam ingin berkumpul dengan teman-temannya. Tapi ternyata nomormu dan dan nomor Rina tidak bisa dihubungi. Jadinya Pak Sean kelimpungan, bukan takut anaknya ngeces, tapi lebih takut kalau disuruh tidur di luar.”Rangga memberi penjelasan tetap dengan gaya bicaranya yang penuh canda. Sementara itu, Nadya menyipitkan matanya, tidak yakin. Dia merasa Rangga hanya mengada-ada.“Ngidam kumpul teman-teman? Kamu yakin? Kayaknya aneh.”Rangga mengangkat bahu. “Aku cuma penyampai pesan, Mbak. Tapi Pak Sean terlihat sangat serius dengan hal ini. Bahkan dia siap membayar Mbak Nadya hanya agar mau bertemu dengan Bu Lila.”“Berapa?” tanya Nadya sambil membeliakkan matanya. Tetapi tidak butuh waktu lama, Nadya terlihat kembali biasa, dia sadar bahwa pertemanan tidak bisa diukur dengan materi“Jika Lila memang ingin bertemu denganku, tidak perlu bayar, aku bersedia,” ucap Nadya terdengar tulus.“Syukurla.” Wajah Rangga terlihat lega, sampai-sampai senyum tipis terukir di bi
Jika sebelumnya Rangga mengatakan kepada Sean takut khilaf jika menemui Nadya di malam hari, tetapi pada kenyataannya malam itu juga Rangga mencari alamat tempat tinggal Nadya.Sudah tentu hal ini dia lakukan bukan semata-mata karena perintah dari sang bos, tetapi karena dia memiliki misi sendiri untuk bertemu dengan Nadya.Tidak bisa dipungkiri, jika Sejak pertemuan pertama dengan sahabat Lila itu Rangga merasakan getaran di dalam hatinya.Memang sebelumnya Rangga ingin mengejar cinta Lila, tetapi dengan kehamilan dan rujuknya Lila dengan Sean, Rangga sadar jika dia harus mundur dan mengikhlaskan Lila untuk bahagia bersama bosnya tersebut. Mengabaikan rasa lelah setelah seharian bekerja, Rangga menyusuri jalanan kota dengan fokus pada alamat yang dia dapatkan. Lampu-lampu jalanan yang temaram menemaninya menuju sebuah tempat kost tiga lantai yang sederhana.Mobil Rangga berhenti di depan bangunan dengan cat yang mulai memudar. Rangga memandangi sekeliling, memastikan tempat itu cuku
Sean mengira segalanya akan berjalan mulus, tetapi pesan dari Rangga memutarbalikkan segalanya. Rina dan Nadya, dua sahabat yang selama ini menjadi tempat Lila berbagi cerita, ternyata sudah mengundurkan diri dari Mahendra Securitas.Sean menatap layar ponselnya lama, mengulang membaca pesan dari Rangga seolah-olah ada sesuatu yang terlewatkan.“Ada apa?” tanya Lila saat melihat perubahan drastis ekspresi wajah suaminya.Sean tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian istrinya. Ia mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Lila yang chubby dengan lembut."Sebentar, ya," ucap Sean lalu bangkit dari sofa.Sean mencoba menjaga sikap agar Lila tidak menyadari kegelisahannya. Dengan langkah pelan, dia menjauh ke sudut ruangan yang lebih tenang dan segera menelepon Rangga.Ponselnya segera ditempelkan ke telinga, panggilan cepat dilayangkan kepada Rangga. "Halo, Rangga," ucapnya dengan nada rendah namun tegas. "Kamu yakin mereka sudah resign?""Ya, Mas. Katanya tidak lama setelah Mbak Lila r
Sean memasuki apartemen dengan langkah ringan, tangannya membawa kotak tripod yang masih tersegel rapi. Hari ini terasa lebih tenang baginya. Setelah hari yang melelahkan di kantor, dia lega karena telah memenuhi salah satu kebutuhan kecil Lila.Tetapi tampaknya Sean belum puas, rasanya dia ingin memukul kepalanya sendiri. Seharusnya tadi dia meminta salah satu stafnya untuk mengemas tripod itu lebih menarik. Dan mungkin dia bisa membeli bunga agar terlihat lebih romantis. Sean menggelengkan kepala, seolah bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal-hal manis seperti itu tidak pernah terlintas di kepalanya?Sesampainya di ruang keluarga, Sean mendapati istrinya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. Wajah Lila tampak serius, jemari lentiknya sibuk mengetik, mungkin tengah menyelesaikan naskah untuk konten berikutnya.Saking fokusnya, membuat Lila tidak menyadari kehadiran Sean. Hingga sampai tubuh gagah itu berdiri tegap di hadapannya."Hei," sapa Sean dengan lembut, mencoba
Sean duduk di ruang kerjanya, layar laptopnya menampilkan video terbaru yang diunggah Lila. Kali ini, istrinya memaparkan tentang pentingnya dana darurat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan nada bicara yang tenang namun tegas, Lila menjelaskan konsep tersebut menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami.“Dana darurat itu seperti payung di tengah hujan,” ucap Lila dalam video, wajahnya terlihat bersinar dengan senyum yang membuat pesan itu terasa lebih meyakinkan. “Kita tidak pernah tahu kapan badai akan datang, tapi dengan dana darurat, kita punya perlindungan.”Sean tidak hanya fokus pada kata-katanya. Ia memperhatikan setiap detail. Gaya bicara Lila sangat natural, seolah-olah dia sedang berbicara langsung dengan orang-orang yang menonton. Ada sesuatu dalam caranya berkomunikasi yang membuat Sean tidak bisa mengalihkan perhatian.Namun, bukan hanya itu yang membuatnya terpaku. Sean juga memperhatikan latar belakang video. Sean tahu itu adalah apartemen yang beberapa waktu Lalu
Andika melangkah masuk ke ruang perawatan dengan raut wajah tenang, tapi ada bayangan cemas yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya langsung tertuju pada Risda yang masih terlelap, wajahnya pucat tapi tampak lebih damai dibanding sebelumnya.Ryan duduk di samping tempat tidur ibunya, menggenggam tangannya erat. Saat melihat Andika, tatapan Ryan berubah dingin, penuh dengan kebencian yang tidak disembunyikan.Andika menghela napas sebelum mendekat. “Bagaimana keadaan mamamu?” tanyanya dengan suara pelan, mencoba membuka pembicaraan.Ryan hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat. “Seperti yang Papa lihat.” Nada suaranya datar, tanpa emosi.Andika mendekat sedikit, tapi Ryan tidak memberikan ruang untuk kehangatan apa pun. “Aku dengar dia sempat histeris lagi. Apa penyebabnya?”Ryan mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari Risda. “Apa bedanya Papa tahu atau tidak? Ini bukan kali pertama Papa bersikap seolah peduli.” Kata-katanya tajam, hampir berbisik, berusaha meredam
Ryan berdiri di sudut ruangan, tangan mengepal di sisi tubuhnya, menyaksikan dokter dan tim medis bekerja menangani Risda yang kembali histeris. Napasnya tertahan, matanya memerah, tetapi ia berusaha keras menahan air matanya. Suara jeritan ibunya beberapa saat lalu masih terngiang, membuat hatinya perih. Setelah beberapa waktu, obat yang diberikan mulai bekerja. Risda yang tadinya terus meronta perlahan menjadi tenang. Napasnya lebih teratur, dan akhirnya dia terlelap di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang penuh kelelahan menyiratkan pergulatan batin yang begitu berat. Dokter menghampiri Ryan, melepas sarung tangan medisnya dengan ekspresi serius namun penuh empati. "Kondisi seperti ini memang biasa terjadi, Ryan," ujar dokter, suaranya lembut tetapi tegas. "Ibumu mengalami trauma yang cukup mendalam. Kita harus sangat berhati-hati untuk menghindarkan dia dari hal-hal yang bisa memicu ingatan masa lalunya." Ryan mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. "Apa yang harus