Rangga menyusuri lorong kantor dengan langkah cepat namun santai, wajahnya terlihat ceria. Ia membawa kabar baik yang sudah tak sabar ingin disampaikan kepada Sean. Sesampainya di depan pintu ruang kerja Sean, dia mengetuk perlahan.“Masuk,” suara tegas Sean terdengar dari dalam.Rangga membuka pintu dan melangkah masuk. Sean, yang sedang duduk di kursinya sambil membaca dokumen, langsung mengangkat kepala. Melihat wajah cerah Rangga, Sean tahu bahwa kabar baik menanti.“Ada apa, Ngga? Happy banget, seperti baru dapat kenalan cewek,” canda Sean sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.Rangga tersenyum lebar. “Mas Sean tahu saja. Saya sudah bertemu dengan Nadya. Dan berita baiknya, dia bersedia untuk bertemu dengan Mbak Lila kapan saja.”Sean mengangguk puas, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Bagus sekali. Kau benar-benar bisa diandalkan, Rangga. Ini akan membuat Lila sangat senang.”“Senang bisa membantu, Mas,” jawab Rangga dengan nada bangga. “Jangan lupa bonusnya!” sambung Rangga
Setelah memastikan jika Nadya bersedia keluar hari ini, Rangga langsung menuju ke tempat kost sahabat Lila tersebut. Dia menunggu di dalam mobil, mengamati gerbang sederhana yang dikelilingi tanaman rambat.Tidak butuh waktu yang lama, Nadya keluar mengenakan pakaian santai, jeans longgar dan sweater putih bersih. Meski sederhana, penampilannya terlihat segar dan polos, memancarkan pesona yang sulit diabaikan, terutama bagi Rangga yang sudah lama sendiri.Rangga turun untuk membukakan pintu mobil. Nadya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Rangga yang di rasa sangat berlebihan.“Nggak ada yang marah nanti, Mbak?” tanya Rangga sesaat setelah duduk di seat tepat di belakang kemudi.“Nggak, lagi nganggur, setelah resign belum dapat kerja lagi. Jadi nggak ada bos yang akan memarahi.”Rangga membulatkan mulutnya. Meskipun tidak mendapat jawaban sesuai yang dia inginkan Rangga tetap menganggukkan kepalanya. Tetapi tampaknya Rangga ingin sebuah kepastian tentang status
Lila tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat Nadya benar-benar hadir di hadapannya. Dengan antusias, ia menggandeng tangan sahabatnya dan mengajaknya masuk ke rumah. Namun, Nadya terlihat tidak sepenuhnya fokus pada percakapan mereka. Matanya lebih sibuk menjelajahi setiap sudut rumah mewah itu, dari lantai marmer yang mengilap hingga lampu gantung kristal yang menjulang megah di ruang tamu.Rumah seperti ini tentu menjadi impian banyak orang. Tetapi Nadya melihat adanya gurat yang menggambarkan suasana hati Lila yang tidak bahagia.“Kau bahagia?” tanya Nadya terdengar lancang.Lila menghela napas panjang, lalu dia menyunggingkan senyum yang terlihat sangat terpaksa sambil menganggukkan kepalanya.“Kau bisa jujur kepadaku,” ucap Nadya lirih dengan tatap mata tajam sambil mengangguk lemah, seolah ingin meyakinkan sahabatnya.“Rumah ini membuatku seperti dipenjara,” jawab Lila sendu.Nadya menoleh, bingung dengan pernyataan itu. “Penjara? Maksudmu?”Lila mengangguk pelan. “Bayangka
Sean duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen yang membutuhkan perhatian segera. Namun, fokusnya langsung teralihkan ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rangga menarik perhatiannya. Dengan cepat dia membuka pesan itu dan mendapati sebuah video yang dikirim oleh Rangga.Sean menekan tombol play, dan senyum kecil muncul di wajahnya. Dalam video itu, Lila terlihat ceria, duduk di taman bersama Nadya. Mereka tampak sedang merekam sesuatu, dengan tawa ringan sesekali terdengar. Sean memperhatikan dengan saksama, rasa lega menyelimuti hatinya.“Akhirnya … aku melihatmu bahagia,” gumam Sean sambil memutar video itu lagi.Namun, momen tenang itu terganggu oleh ketukan di pintu ruang kerjanya. “Masuk,” jawab Sean, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.Pintu terbuka, dan Bella, sekretarisnya, melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas di tangan. “Maaf mengganggu, Pak Sean,” ucapnya lembut.Sean segera meletakkan ponselnya di meja, mengatur ekspresi wajahnya
Selain ingin menikmati kebersamaan dengan Nadya, Rangga juga berhati-hati membawa mobil mewah milik Sean. Jangan sampai mobil itu lecet sedikit pun karena bisa-bisa gajinya setahun habis untuk biaya ganti rugi.Rangga menyetir dengan santai, sesekali melirik Nadya yang duduk di sampingnya. Suasana di dalam mobil mewah itu terasa nyaman, hingga tanpa sadar sejak tadi mereka membicarakan istri dari pemiliknya.“Mendengar Lila mengeluh, rasanya seperti kurang bersyukur,” ucap Nadya dengan tatap mata tertuju ke depan. “Banyak perempuan yang ingin berada di posisi Lila. Tapi memang dia terlihat tidak bahagia.”“Benarkah?” Rangga mengernyitkan dahinya, sepenglihatannya Sean sudah berusaha keras untuk membahagiakan istrinya tersebut.“Meskipun harus bekerja keras dan menghadapi pandangan buruk orang sekitar, tetapi Lila terlihat lebih bahagia, dia terlihat menikmati saat-saat menjadi dirinya sendiri.”Sejenak Rangga menatap wajah gadis di sampingnya, wajah yang begitu tenang dan penuh kemand
Larut malam, jam di ruang keluarga berdetak pelan namun terasa menghantam telinga Lila yang duduk gelisah di sofa. Televisi menyala tanpa suara, sekadar menjadi pengalih perhatian yang gagal.Dulu, jika Sean belum pulang, itu bukan hal yang aneh. Bahkan jika dia tidak pulang sama sekali, Lila tidak pernah memikirkannya lebih jauh. Tetapi kini, situasinya terasa sangat berbeda.Lila memegang ponselnya erat, menatap layar dengan harapan panggilan terakhirnya akan dijawab. Sudah berulang kali dia mencoba menghubungi Sean, tapi tidak ada jawaban. Nomor yang dia hubungi terus berdering sebelum akhirnya masuk ke kotak suara."Sean, di mana kamu?" gumam Lila yang terlihat sangat cemas.Pikirannya mulai berkecamuk. Mungkin Sean sedang di sebuah club malam, bersenang-senang seperti dulu. Atau, mungkin dia bersama Vicky, instruktur senam Lila yang terlihat terlalu ramah padanya. Atau Miranda, wanita dari masa lalu Sean yang pernah muncul kembali. Pikirannya semakin liar, menambah beban di dadan
Setelah berhasil meyakinkan Lila, Sean bergegas menuju ke rumah sakit. Kedekatan mereka bukan hanya sekadar bos dan bawahan, tetapi Sean sudah menganggap Rangga seperti adiknya sendiri.Sean merasa bersalah telah membiarkan Rangga membawa mobilnya. Padahal dia tahu, saat ini ada beberapa sengketa pribadi dan bisnis belum tertuntaskan.Setibanya di rumah sakit, Sean langsung menuju meja informasi, menanyakan lokasi Rangga dirawat. Perawat di meja depan menunjukkan arah ke ruang gawat darurat. Langkah Sean semakin cepat, hingga ia tiba di depan ruang tindakan.Dari balik kaca pintu, Sean melihat dokter dan perawat yang sibuk menangani Rangga. Sean mencoba melihat lebih jelas, tetapi pandangannya terhalang tirai medis. Seorang perawat keluar dari ruangan, dan Sean segera menghampirinya.“Bagaimana kondisi Rangga?” tanyanya cemas.Perawat itu menghela napas. “Pasien mengalami cedera cukup serius, tapi saat ini kami sedang berusaha menstabilkan keadaannya. Mohon bersabar, Pak.”Sean mengan
Langkah Nadya terasa berat saat dia memasuki rumah sakit. Aroma antiseptik menyengat memenuhi hidungnya, dan suasana sepi malam menambah kegelisahannya.Di ujung lorong, Nadya melihat Sean berdiri, berbicara dengan dokter. Tampak beberapa pria tegap dengan wajah serius dan waspada di sekitar Sean. Seolah menunjukkan jika ada situasi genting selain kondisi Rangga yang sampai saat ini belum dia ketahui.Nadya memberanikan diri mendekat. Meskipun dengan tubuh gemetar, dia harus tahu kondisi Rangga saat ini.Sean menoleh saat melihat ke arah Nadya. Untuk pertama kalinya, sahabat Lila itu melihat sisi berbeda dari pria yang selama ini dia anggap dingin dan kasar. Wajah Sean tampak penuh kekhawatiran, tetapi dia masih menyempatkan diri untuk menyambutnya.“Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam,” ucap Sean sambil menghembuskan napas kasar. Baginya kedatangan Nadya adalah masalah baru malam ini.“Bagaimana keadaan Rangga?” Tanpa terasa air mata Nadia menetes. “Tadi dia masih baik-baik
Lila duduk di kursi belakang mobil dengan cermin kecil di tangannya. Tangannya sibuk merapikan bedak di wajah dan membetulkan lipstik yang sedikit memudar. Di luar, jalanan yang padat perlahan membawa mereka menuju studio tempat podcast Mellisa Tyson. Sekilas, dia melirik jam di dashboard mobil, waktu semakin dekat, dan kegugupan mulai merayap di hatinya.“Aku takut salah ngomong,” Lila bergumam sambil meletakkan cermin kecil ke dalam tasnya. Nadya, yang duduk di sebelahnya, menoleh dan tersenyum menenangkan.“Lila, kamu sudah sering berbicara di depan kamera. Ingat semua video yang kamu buat? Kamu tahu apa yang harus kamu katakan,” ujar Nadya sambil menepuk lembut bahu sahabatnya.“Tapi ini berbeda. Pendengar mereka jauh lebih luas, dan aku ...,” Lila berhenti, mencoba merangkai kata. Nadya memotong dengan tawa kecil.“Kamu akan baik-baik saja. Percayalah, mereka mengundangmu karena mereka tahu kamu punya sesuatu yang menarik untuk dibagikan. Fokus saja pada apa yang kamu tahu dan ap
Sebagai seorang pebisnis, Sean sadar nama istrinya saat ini sedang banyak dibicarakan di berbagai media online sehubungan dengan rencana pernikahan Miranda. Sepertinya banyak pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka.Sean menatap wajah Lila dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Di hadapannya, istrinya yang sedang hamil besar tampak begitu bersemangat, seolah tak terpengaruh oleh rasa letih trimester terakhir kehamilan.Namun, bagi Sean, semangat itu justru menjadi alasan utama kekhawatirannya. Ia menghela napas panjang, mencoba memilah dan memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.“Aku rasa ini kesempatan yang baik untuk karirku,” ucap Lila dengan suara mantap, sambil mengelus lembut perutnya yang membuncit.“Karir?” Sean mengulang, matanya menyipit sedikit, mencari makna di balik kata itu. Di dalam hatinya, ia berharap Lila akan mengubah arah pembicaraan.“Menjadi konten kreator?” tanya Sean terlihat ragu-ragu.Lila menggeleng pelan, seny
Apa yang bisa diharapkan dari seorang lelaki yang masih dibayang-bayangi oleh masa lalunya?Tidak ada, hanya nestapa yang tergambar membentang. Itu yang dirasakan oleh Risda setelah perpisahan Andika dan Sekar.Meskipun menjadi istri satu-satunya, tetapi status Risda masih tetap menggantung tidak pernah disahkan. Bahkan kejadian buruk yang menimpanya di tahanan hingga harus kehilangan calon anak dan juga rahimnya tidak membuat Andika merasa simpati dan lebih mencintainya.“Dulu mama pikir cinta itu cukup untuk segalanya. Mama pikir jika mama bertahan, papa kamu akan berubah, akan mencintai mama sepenuh hati. Papamu akan menyayangimu dengan tulus. Tapi lihat apa yang terjadi?”Ryan terdiam, ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung dengan meninggalkan sang papa dan juga Mahendra Securitas. Selama ini dia menggantung hidup dari perusahaan sang papa, selain itu Risda juga masih membutuhkan pengobatan rutin yang tentunya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.Semakin ke sini Ryan s
Ryan membeku. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan telak yang tak terduga. Pandangannya kosong sejenak, lalu tatapannya terarah pada wajah ayahnya yang tegas namun penuh luka. Ryan mencoba membaca ekspresi itu, mencari tanda bahwa ini hanyalah kebohongan untuk membuatnya menyerah. Tapi tidak ada keraguan di sana. “Papa bercanda, kan?” suaranya bergetar. Ryan mencoba tetap tenang, tapi denyut nadi di pelipisnya mengkhianati dirinya. Andika menggeleng perlahan. “Aku tidak akan bercanda tentang ini, Ryan. Rangga terluka parah. Dia hampir kehilangan nyawanya.” “Tidak mungkin …” Ryan bergumam, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Tangannya mengepal, mencoba menahan getar di tubuhnya. “Aku sudah memastikan semuanya. Mobil Sean yang aku targetkan. Foto-fotonya jelas.” “Foto itu tidak bohong, Ryan,” sahut Andika tegas. “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Rangga yang membawa mobil itu seharian. Sean selamat, dan dia tahu apa yang kau lakukan.” Ryan menatap ayahnya, ta
Risda memandang Andika dengan tenang, tetapi ada kekhawatiran di matanya. Ia merasakan ketegangan yang menggantung di udara, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Sean menghembuskan napas secara kasar, ada penyesalan saat melihat kekhawatiran di wajah istrinya. Tentu Andika tidak ingin Risda kembali histeris dan menambah beban, pada saat banyak masalah yang harus dia selesaikan. “Papa tunggu di ruang kerja,” ujar Andika dingin, nyaris tanpa menoleh pada Risda. Ia bergegas pergi, meninggalkan jejak ketegangan yang semakin merayap dalam suasana. “Ryan,” Risda memanggil pelan nama putranya, suaranya lirih seperti doa yang tak sampai. Firasaynya mengatakan akan ada pertengkaran lagi antara suami dan anaknya. “Mama tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Ryan berusaha menenangkan hati sang mama. Sebelum pergi Ryan menyempatkan melabuhkan kecupan singkat di pucuk kepala wanita yang telah melahirkannya. Ryan melangkah dengan mantap menuju ke ruang kerja. Andika sudah menungg
Rasa bersalah menuntun Andika mendatangi rumah sakit. Mungkin dia tidak akan pernah meminta maaf secara langsung, tetapi setidaknya dia harus memastikan jika Rangga dalam keadaan baik-baik saja. Namun, ketika ia semakin dekat, matanya menangkap beberapa pria bertubuh tegap berdiri di depan pintu ruangan Rangga. Wajah-wajah mereka tampak dingin dan tak bersahabat. Mereka bukan sekadar penjaga biasa, Andika tahu mereka adalah orang-orang yang profesional, yang sudah pasti mendapat mendapat instruksi dan petunjuk siapa saja yang boleh melihat keadaan Rangga. Langkah Andika terhenti. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan atau berbalik pergi. Hatinya ingin masuk, tapi pikirannya berkata sebaliknya. Andika berdiri diam, menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Ia menggenggam tangannya erat, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Rasa tenang itu tidak kunjung di dapat oleh Andika. Ketika ia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, indra pengelihatannya menangkap b
“Saya bisa jelaskan semuanya, ini tidak seperti yang ….”“Siapa dia, Rangga?” tanya Sekar memotong kalimat Rangga, suaranya tegas namun terkontrol. Sekar masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh otoritas.Nadya merasakan tubuhnya membeku dia tidak mengenali perempuan yang baru memasuki ruang perawatan Rangga. Nadya merasa seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah sedang melakukan tindakan nakal. Wanita itu menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam yang membuat Nadya semakin terpojok.Sementara Rangga mencoba duduk lebih tegak meski rasa sakit kembali menjalari tubuhnya.“Bu ...” Rangga berusaha menjelaskan, tetapi Sekar mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.“Kalau saja kamu tidak dalam keadaan seperti ini, Rangga, sudah pasti aku akan menghukummu. Beraninya kamu mempermainkan anak gadis orang seperti ini!” Nada Sekar penuh ketegasan, matanya kini beralih ke Nadya. “Dan kamu, siapa namamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”Nadya menggigit bibir, mencoba mencari kata
Nadya membeku di tempat, hatinya seperti dihantam ombak besar saat melihat mata Rangga terbuka. Bibirnya bergerak pelan, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar bukan ilusi.“Kamu ... kamu benar-benar sadar?” Nadya bertanya dengan suara hampir berbisik. Air mata yang semula mengalir kini membanjir tanpa henti. Ada kelegaan, ada haru yang tak bisa ia sembunyikan.Rangga mengangguk lemah, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya meskipun rasa sakit masih terasa di sekujur tubuhnya. "Aku sudah bangun, Mbak," jawabnya, suaranya serak dan pelan.Nadya segera meraih tombol panggil perawat yang tergantung di sisi tempat tidur. "Aku harus memanggil dokter. Mereka harus segera memeriksa keadaanmu,” ucap Nadya terburu-buru, tangannya gemetar di atas tombol itu.Namun, Rangga menggerakkan jarinya yang lemah, menggenggam tangan Nadya dengan usaha yang luar biasa.“Tidak perlu, Mbak. Perawat pasti datang saat waktunya mengganti infus atau memberi obat,” ucapnya pelan tapi penuh keyakinan.Nad
Kabar pernikahan Miranda sangat mengejutkan bagi Sean. Rasa cemburu dan kehilangan coba Sean singkirkan jauh-jauh, toh dia sudah lebih dahulu meninggalkan kekasihnya itu, dan memutuskan untuk menjaga komitmen dalam pernikahannya dengan Lila.Sean terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya, karena bagaimana pun juga tidak mudah bagi Sean untuk melupakan Miranda begitu saja. Sean menyunggingkan senyum, mencoba menutupi kemulut di hatinya.“Bukankah seharusnya kabar pernikahan Miranda adalah kabar yang baik untuk kita?” tanya Sean dengan nada datar, “Bukankah itu artinya hubunganku dengan Miranda bener-benar sudah berakhir?”Lila tidak menjawab, dia hanya menatap wajah suaminya dengan saksama, mencoba mencari gurat kesedihatan dan sakitnya patah hati di sana.“Aku tahu kau sedang terluka,” ucap Lila dengan sorot mata tajam tertuju ke Sean.Sean menggelengkan kepala, menyanggah ucapan istrinya. “Itu tidak penting ….” Sean terdiam sejenak, balas menatap mata Lila.“La, Aku serius dengan per