Sean menatap Lila dengan tatapan putus asa. "Tolong, Lila. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Beri aku satu kesempatan lagi." Lila menggeleng perlahan, suaranya penuh luka yang terpendam lama. "Dua tahun pernikahan kita adalah kesempatan bagi kamu untuk belajar mencintaiku. Tapi selama dua tahun itu, yang kamu lakukan hanyalah hidup dalam bayang-bayang Miranda. Kamu begitu dingin, seolah aku tidak ada di matamu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana kamu terus mengabaikanku." Sean terdiam, kata-kata Lila terdengar seperti sedang menguliti semua kesalahannya. "Maaf.” Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Sean, seolah semua kata yang ada di otaknya raib dari memorinya. "Sebenarnya ada banyak kesempatan yang kau miliki, tetapi ternyata kau selalu menyia-nyiakannya." Suara Lila terdengar tegas. "Saat kau memutuskan rujuk, harusnya kau sadar, itu adalah kesempatan terakhir yang kau miliki. Saat itu aku berharap kamu sud
Lila memegang erat piagam yang baru saja dia ambil. Namanya jelas tertera, Sean Anugrah Mahendra. Sebuah nama yang asing bagi dirinya, sangat berbeda dengan nama lengkap suaminya yang selama ini dia ketahui. Kening Lila berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah ini Sean yang sama? Atau dua orang yang berbeda. Seolah lupa dengan tujuan awal mendatangi Gudang, Lila justru mencari petunjuk lain untuk mengetahui nama lengkap suami yang sebenarnya. Lila membuka beberapa kardus yang tertutup rapi, setelah menemukan beberapa piagam penghargaan untuk olimpiade sains nasional dan beberapa turnamen basket antar sekolah, akhirnya Lila menemukan beberapa foto lama. Dengan hati-hati, dia mengambilnya dan mengamati lebih dekat foto lama yang telah usang. Dalam foto itu, terlihat seorang wanita yang langsung dia kenali sebagai ibu Sean, memeluk seorang anak laki-laki kecil yang juga jelas adalah Sean di masa kecilnya. Namun, pria dewasa yang berdiri di samping mereka membuat Lila tertegun.
Dengan langkah anggun, Sekar masuk ke ruang kerja Sean tanpa menunggu undangan. Wajahnya dihiasi senyum ramah yang kontras dengan atmosfer tegang di ruangan itu. "Mama kangen, sudah lama sekali kamu tidak mampir ke rumah," ucap Sekar sambil duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Rangga. "Sesibuk apa kalian sampai tidak pernah mengunjungi mama?" Sean hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai upaya menahan diri daripada rasa hangat. "Seperti yang Mama lihat," jawab Sean singkat. Sekar mengabaikan nada datar itu dan melanjutkan, "Mama kangen, Sean. Kangen Lila juga. Sejak kalian rujuk, kalian belum pernah datang ke rumah? Apa kehamilannya berjalan lancar?" Sean menatap ibunya, matanya penuh kehati-hatian. "Lila baik-baik saja," katanya, mencoba mengakhiri pembicaraan. Namun, Sekar tampaknya tidak mudah menyerah. "Ajak dia ke rumah, Sean. Mama ingin menghabiskan waktu dengan menantu mama," lanjut Sekar, kali ini dengan nada memohon. Sean hanya membalas dengan senyum ya
Sean menghembuskan napas kasar, suaranya terdengar seperti desah lelah yang menahan beban tak kasat mata. Dengan gerakan cepat, dia melonggarkan dasinya. Wajahnya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan, tatapan matanya redup, nyaris kosong.Sean merasakan Tuhan benar-benar sedang mengujinya dengan memberikan masalah secara bersamaan bahkan tanpa memberinya jeda, seolah tidak mau antri, datang satu per satu.Sean membimbing Lila untuk duduk bersamanya. Diraihnya tangan sang istri lalu digenggan dengan erat. “Penjelasan seperti apa yang kau inginkan?” tanyanya lirih, ada getar lembut yang sulit ditutupi.Lila menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. “Aku ingin tahu tentang Sean Anugrah Mahendra. Dan pria dewasa dalam foto keluarga itu. Siapa mereka sebenarnya?”Pertanyaan itu menghantam Sean seperti pukulan keras. Napasnya tertahan sesaat. Wajahnya berubah kaku, tapi ia tahu ini adalah batas akhirnya. Rahasia yang selama ini ia lindungi seperti benteng kokoh kini mulai
“Aku tidak bisa menerima alasanmu Sean.” Suara Lila terdengar tenang namun penuh penegasan.Sean menggelengkan kepala, mencoba mengatur napas yang terasa berat. “Aku tahu aku salah, tapi aku mohon kau bisa memahami posisiku.”“Posisi yang mana?” Lila memandangnya dengan tatapan yang menusuk, membuat Sean semakin merasa bersalah. “Karena Ryan adalah adikmu, kau ingin mengorbankan Rina demi menutupi semua kesalahannya?”“Maafkan aku.” Sean menjawab lirih. “Aku sudah melepaskan Rina dari segala tuntutan. Lalu di mana salahnya?”“Kau belum membersihkan nama baiknya, Sean,” balas Lila dengan nada tajam. “Tuduhan yang kau berikan kepada Rina adalah kejahatan yang serius. Itu akan menghantui langkahnya di masa depan.”“Aku akan meminta maaf kepadanya, dan memberi kompensasi yang besar, kalau perlu aku akan membuat pernyataan public untuknya.”Lila menggeleng pelan, senyuman getir menghiasi wajahnya. “Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, Sean. Termasuk hubungan kita.”Sean terte
Sean mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mengembuskan napas panjang yang berat. Di depan pintu kamar itu, dia berdiri terpaku, seperti anak kecil yang ditinggalkan sendirian di tengah malam. Handle pintu terasa dingin di tangannya, tapi dia tahu pintu itu tak akan terbuka untuknya malam ini. “Aku pusing, La!” ucapnya lirih, hampir seperti gumaman yang hanya dia sendiri yang mendengarnya. Sebenarnya Sean bisa membukan pintu itu dengan kunci cadangan yang dia simpan agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan malam ini, tetapi akal sehatnya berbisik agar dia mengalah, memberi ruang kepada Lila untuk menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Sean menghembuskan napas secara kasar, menjauhkan tangannya dari handle pintu. Selama ini dia selalu menertawakan cerita-cerita tentang suami yang dihukum oleh istrinya tidur di luar kamar. Itu terdengar konyol, lelucon ringan di sela obrolan lelaki. Tetapi kini, saat dia harus mengalaminya sendiri, Sean merasa malam itu begitu mencekam. Se
Sean duduk di kursinya, mendengarkan Bella membacakan jadwal pertemuan dengan beberapa klien penting esok hari. Bella, seperti biasa, berbicara dengan tenang dan rinci, memastikan tidak ada detail yang terlewat.Namun, Sean terlihat gelisah. Berulang kali pandangannya melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Waktu terasa bergerak lambat, seolah menguji kesabarannya. Bella, yang menyadari Sean tidak fokus, berhenti sejenak, menatap bosnya dengan pandangan penuh tanya.“Maaf Pak, apakah ada yang salah? Haruskah saya menunda pertemuan ini?” tanya Bella hati-hati.Sean menggeleng pelan, menghela napas panjang. “Tidak, teruskan saja.”Bella mengangguk, melanjutkan pembahasannya dengan nada lebih singkat, memahami Sean tampaknya ingin segera menyelesaikan diskusi.Ketika jarum jam menunjukkan pukul lima sore, Sean berdiri tanpa menunggu Bella selesai. “Cukup untuk hari ini. Saya harus pergi,” ucap Sean sambil meraih jasnya.Bella menunduk sopan. “Baik, Pak Sean. Selamat sore.”Sean keluar
Sean menatap Lila dengan frustrasi yang memuncak, namun dia menahan diri agar tidak kehilangan kontrol. Sean tidak habis pikir, mengapa perempuan bisa begitu enteng mengucap kata cerai, dan begitu lantang menantang talak. Dia menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya sebelum berbicara lagi. "Lila, aku tidak tahu kenapa kamu terus menantangku seperti ini. Aku hanya sedang berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu dan anak kita." Lila mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, seolah tidak mempedulikan ucapan Sean. Tatap mata tajam Sean tidak absen dari wajah Lila. "Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuanku, jangan salahkan aku kalau aku akan mengurungmu sampai waktu yang tidak ditentukan. Bahkan untuk pemeriksaan kehamilan atau persalinan nanti, aku bisa mendatangkan dokter ke rumah. Aku serius, Lila. Jangan uji kesabaranku." Lila terdiam, wajahnya yang tadi dipenuhi emosi perlahan berubah menjadi ketegangan. Dia tahu Sean tidak main-main dengan a
Sean berdiri di ambang pintu rumah mewah yang ditempati Sekar. Wajahnya penuh kegelisahan, tetapi tubuhnya tetap tegap seperti biasa. Tekadnya bulat untuk mencari tahu apa pun yang bisa membantunya menemukan Lila. Kala pelayan membuka pintu, Sean langsung masuk, melewati ruang tamu menuju ruang kerja di mana Sekar duduk dengan anggun, membaca dokumen-dokumen penting. “Mama,” panggil Sean, suaranya tegas tetapi mengandung nada cemas. Sekar mengangkat wajahnya, menatap anaknya dengan sorot mata dingin tetapi penuh perhatian. “Sean? Apa yang terjadi? Kau terlihat sangat kacau, Lila sudah melahirkan?” Sean menarik napas panjang, menahan letupan emosinya. “Lila hilang, Ma. Aku perlu tahu, apakah dia ada di sini? Apakah Mama tahu sesuatu tentang keberadaannya?” Sekar tertegun, jemarinya berhenti membolak-balik halaman dokumen. “Lila hilang?” Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tidak biasa. “Bagaimana bisa?” Sean menjelaskan secara singkat, termasuk kesaksian Bi Siti yang menyebut
Pagi buta, Sean sudah berada di rumah sakit. Wajahnya lelah, tetapi tatap matanya masih menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. Di depan ruang perawatan Bi Siti, Selo Ardi bersama beberapa orang kepercayaannya berdiri dengan setia, menunggu perkembangan. Mereka menyambut Sean dengan anggukan singkat, paham bahwa situasinya semakin mendesak. Sean langsung masuk ke ruang perawatan Bi Siti. Rangga pun tampak di sana, meskipun kesehatannya belum pulih sepenuhnya, tetapi dari pakaian yang dia kenakan, tampaknya dia sudah siap untuk bekerja hari ini. Sementara itu Bi Siti, yang terbaring lemah di tempat tidur, menoleh perlahan. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyiratkan rasa bersalah. Sean duduk di kursi di sebelahnya, mencoba menahan emosi. "Bi, aku butuh kau jujur sekarang. Tolong, katakan apa yang sebenarnya terjadi." “Waktu saya nunggu Mbak Lila di toilet, tiba-tiba ada yang menyekap saya dari belakang. Saya tidak bisa melawan, tenaganya kuat banget,” ucap Bi Siti yang masih terlih
“Ryan!” Risda, yang berdiri di belakang Ryan, berteriak kencang, "Hentikan!" Dia segera berdiri di depan putranya, berusaha melindunginya.Sean menunjuk Ryan dengan tangan gemetar. "Katakan … di mana kau menyembunyikan istriku.”Risda menggelengkan kepala, berharap Sean tidak lagi memukul Ryan. Air mata Risda jatuh bercucuran saat melihat darah segar yang keluar dari mulut putra semata wayangnyaRyan sadar dirinya telah banyak melakukan kesalahan kepada Sean. Tetapi dia sama sekali tidak menduga jika kemarahan Sean karena Lila."Aku benar-benar tidak tahu, Sean," ucap Ryan lirih sambil menahan sakit akibat pukulan Sean"Jangan bohong lagi, Ryan!" seru Sean, suaranya bergetar penuh amarah. Ia mendekati Ryan, matanya menyala dengan kemarahan yang tak bisa dibendung. "Aku tahu kau ada hubungannya dengan hilangnya Lila. Berhenti berpura-pura!"Ryan menelan ludah, berusaha mengendalikan napasnya yang mulai memburu. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa-apa soal Lila!" ucap Ryan tegas, meski n
Sean tiba di gerbang rumah Andika dengan amarah yang membara. Dia turun dari mobil tanpa menunggu Cyrus atau Selo, langsung mendekati petugas keamanan yang berjaga.“Saya ingin bertemu Ryan, sekarang juga!” sergah Sean dengan nada kasar, matanya tajam seperti pisau.Petugas keamanan tampak ragu. Ia mencoba bersikap profesional, tetapi gemetar melihat sorot mata Sean yang begitu mengintimidasi. “Maaf, Pak, saya harus melapor dulu ke dalam sebelum ….”Sean tidak memberinya kesempatan. Dengan satu dorongan kuat, gerbang terbuka, membuat petugas kehilangan keseimbangan. Tanpa memedulikan teriakan protes di belakangnya, Sean melangkah masuk dengan langkah lebar, diikuti beberapa orang yang datang bersamanya.Tekanan itu membuat petugas memilih diam, lebih baik menghindar dan mencari aman daripada menghadapi kemarahan yang jelas bukan untuknya.“Pak, ini tidak bisa sembarangan!” seru petugas dengan nada setengah hati.Tetapi Sean tak menggubris. Hanya ada satu hal di pikirannya, menemukan R
Meski sudah meminta Selo Ardi untuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Lila, tetapi Sean tetap melaporkan hilangnya Lila ke pihak kepolisian.Kini Sean sudah berada di kantor polisi, duduk di ruang pelaporan kepolisian dengan wajah tegang. Di sebelahnya, Cyrus, pengacara barunya, sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang mereka bawa. Mereka telah melampirkan semua yang diminta, foto terbaru Lila, identitas lengkap, hingga laporan kronologis kejadian.Namun, tanggapan dari pihak kepolisian terasa hambar dan normatif. Sangat tidak memuaskan bagi Sean yang sedang dilanda kepanikan yang sangat.“Kami akan mencatat laporan ini dan memulai penyelidikan,” ucap sang petugas dengan nada datar. “Tolong tunggu kabar berikutanya dari kami.”Sean mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak. “Istri saya hilang, dia sedang hamil, Pak. Dan Anda hanya meminta saya menunggu?W aktu adalah segalanya di sini. Setiap detik yang terbuang bisa memperbesar risiko!”Petugas itu menatap Sean deng
Sean mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya fokus menatap jalan yang seakan memanjang tanpa ada ujungnya. Hati Sean penuh kecemasan, bayangan Lila memenuhi pikirannya.Jemari Sean menggenggam setir dengan erat, mencoba menekan rasa panik yang terus menghantui.Lampu jalan yang melesat di kedua sisinya tak ia hiraukan. Setiap detik terasa begitu berharga, seakan jarak menuju mall tempat Lila berbelanja menjadi lebih panjang dari seharusnya.“Di mana kamu, Lil?” tanya Sean pelan sambil melirik ponsel yang berada di sampingnya, berharap sang istri segera menghubungi dan memberi kabar.Setibanya di mall, Sean langsung turun dari mobil tanpa memedulikan valet yang berlari mendekat. Di kantor keamanan gedung, dia melihat sopir pribadinya berdiri dengan wajah tegang.Sean menghampirinya dengan langkah cepat, kemarahannya tak lagi bisa ia tahan. Hingga akhirnya kepalan tangan Sean mendarat di tubuh pria tegap itu.“Bagaimana mungkin kau tidak tahu dia menghilang?” Suara Sean m
Bella terlihat sudah siap untuk pulang kantor. Namun sebelum meninggalkan gedung, dia menghampiri ruang kerja Sean terlebih dahulu, seolah ingin memastikan sesuatu. Dengan langkah ragu, dia mengetuk pintu dan masuk setelah mendengar izin.“Pak Sean, apakah benar Bapak akan lembur malam ini?” tanya Bella sambil berdiri di dekat pintu. “Jika ada yang bisa saya bantu, mungkin menyiapkan beberapa berkas atau pesan makan malam, tolong beri tahu saya.”Sean mengangkat wajahnya dari layar komputer, menatap Bella sekilas sebelum menjawab, “Tidak perlu. Semua sudah bisa saya tangani sendiri.”Bella tersenyum tipis, lalu berkata dengan hati-hati, “Mungkin Pak Sean bisa pertimbangkan makan malam dulu, agar tetap fit. Saya bisa pesan makanan favorit Pak Sean.”Sean menghela napas pendek, mengingat makan siang pesanan Bella sebelumnya yang membuatnya harus tetap waspada. Apalagi setelah ini dia akan sendirian di kantor, jika sampai Bella melanjutkan rencananya, tidak mudah bagi Sean untuk melepask
Lila melangkah di sepanjang lorong pusat perbelanjaan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Sejak kehamilannya, momen seperti ini jarang terjadi. Langkahnya ringan, seolah seluruh beban yang selama ini menghimpit telah terangkat. Di sampingnya, Bi Siti membawa beberapa kantong belanjaan sambil tertawa kecil, dipenuhi kegembiraan. Hanya sekedar menemani belanja saja Bi Siti mendapat banyak hadiah yang tidak terduga dari Lila. Wajah wanita paruh baya itu cerah, seperti tak percaya nasib baik hari ini. “Bi, pilih apa saja yang Bi Siti suka,” ucap Lila sambil menunjuk deretan toko di sekeliling mereka. Suaranya hangat, penuh ketulusan. “Ah, Mbak Lila, ini saja sudah terlalu banyak,” jawab Bi Siti. Namun, matanya berbinar-binar menatap tas dan baju baru yang telah dibelikan untuknya. Dalam hati, ia bersyukur karena majikannya begitu baik hati. Mereka terus berjalan, menikmati suasana pusat perbelanjaan yang ramai hingga lelah mulai melanda. Lila melirik jam tangannya. “Kita makan siang du
"Halo, Sayang," sapa Sean dengan nada lembut yang jarang Bella dengar. Bella langsung tahu bahwa panggilan itu untuk Lila, istrinya. Bella mencoba terlihat sibuk dengan catatannya, tetapi telinganya menangkap setiap kata. "Aku baru baca pesanmu," lanjut Sean. "Kamu mau keluar rumah untuk belanja? Apa saja yang belum terbeli?" Bella menahan napas. Bukan hanya jarang menunjukkan sisi lembut yang seperti itu di kantor, tetapi Sean juga tidak pernah menunjukkan perhatian kepada Lila sebelumnya. "Dengan siapa kamu pergi?" tanya Sean lagi, nadanya berubah sedikit tegang. Jawaban Lila tentu tidak terdengar oleh Bella, tetapi Sean menganggukkan kepala. "Bi Siti?" gumam Sean pelan. "Baiklah, tapi hati-hati, ya. Aku sebenarnya ingin menemani, tapi ..." Sean melirik jam tangannya, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi. "Kamu tahu jadwal kerjaku masih padat sampai hari cuti," lanjutnya dengan nada berat. "Sering-sering kasih kabar, ya? Kalau bisa, jangan terlalu lama di luar." Bella meliha