"Nona Ramona!" Suara besar dari dua pria di belakangnya kembali terdengar, menyadarkan Leticia.
Leticia menunduk kembali tanpa berani menoleh ke belakang, mengetahui orang-orang itu sudah menangkapnya. Sekang riwayat dan takdirnya sudah tidak bisa berubah. Ia akan menikah dan menjalani kehidupan menyedihkan tersebut sekali lagi dan mati."Nona?" Di tengah degup jantung Leticia yang putus asa, suara bariton khas milik pria di depannya sekali lagi terdengar.Tangan miliknya masih terulur begitu juga ekspresi wajah dan tatapannya yang tidak berubah. Perlahan, Leticia menerima uluran tersebut dan pria itu membantunya berdiri. Ia bahkan menahan tubuhnya yang tak seimbang karena luka di kakinya."Nona Ramona, Nyonya sudah menunggu Anda dan sebentar lagi pernikahan akan dilangsungkan," ucap salah satu bodyguard Gabriella."A-aku ..." gumam Leticia pelan setengah berbisik."Leticia!" seru Gabriella dari kejauhan di ujung lorong.Suara wanita itu membuat jantung Leticia mencelos, sebelum akhirnya berdetak kencang sekali lagi. Tanpa sadar ia mengeratkan pegangannya pada tangan pria asing itu karena ketakutan. Saat berbalik menghadap dua bodyguard Gabriella, majikan mereka telah menyusul dan menyela keduanya."Leticia, beraninya kau melarikan diri! Apa kau tidak memikirkan ayahmu?!" bentak Gabriella kembali setelah berada di hadapan sang putri tiri."Ayo kembali sekarang! Tuan Castellano sudah menunggu." Gabriella meraih tangan kiri Leticia dan hendak menariknya.Gadis itu meringis lagi-lagi karena kakinya yang terseret. Tangan kanan miliknya yang masih bertaut dengan tangan pria di belakangnya masih tidak terlepas. Bahkan semakin erat bersamaan dengan ringisan Leticia. Ia menoleh padanya dan masih sama sekali tidak melihat ekspresi apapun."Leticia, siapa dia?" tanya Gabriella menyadari sosok pria yang ada bersama mereka."Di-dia ..." jawab Leticia gagap."Lepaskan putriku. Dia akan menikah dengan pria kaya, jadi sebaiknya kau lupakan hubunganmu dengan Leticia!" Ucapan Gabriella memberikan sebuah ide dalam kepala Leticia, di tengah rasa putus asa ini."Ibu, aku tidak bisa menikah dengan Tuan Castellano," ujar Leticia tergesa, mengalihkan atensi Gabriella. Sebelum Gabriella berbicara, Leticia melanjutkan lagi dengan keberanian yang ia miliki, "Pria ini adalah kekasihku dan ayah dari anak yang aku kandung!"Gabriella mengira jika pria asing ini adalah kekasih Leticia. Maka ia berpikir untuk membuat pria ini menjadi 'kekasihnya'. Ditambah sedikit bumbu, Leticia berharap skenario sandiwara dadakannya bisa berhasil. Dan yang terpenting adalah pria yang ia seret ini mau membantu, tidak masalah jika hanya berdasar rasa kasihan semata. Daripada terlalu lama memikirkan apakah berhasil atau tidak, Leticia spontan melakukannya."Apa yang kau katakan, Leticia?!" Kembali Gabriella membentak yang semakin membuat nyali Leticia menciut, tetapi tak mengurungkaan niatnya. "Aku mengatakan yang sesungguhnya."Meski tubuhnya gemetar, suaranya sedikit tercekat, dan peluh keringat membasahi wajahnya, Leticia tidak sedikitpun berhenti. Ia menoleh menatap ke arah pria yang masih diam sampai saat ini. Melalui tatapan memelas tersebut, secara tidak langsung meminta pertolongan padanya.Ini memang memiliki kemungkinan yang sangat kecil bahkan nyaris nol. Orang mana yang akan mengakui suatu hal gila seperti perkataan Leticia. Tidak juga ada keuntungan baginya sama sekali. Ditambah mereka adalah orang asing yang tidak saling kenal. Tidak ada hubungan khusus yang memang bisa dikaitkan untuk menolong satu sama lain. Meskipun mustahil, tetap Leticia bersikeras pada tuhan agar membuat ini menjadi mungkin."Ibu, apakah Tuan Castellano akan menerimaku saat mengetahui jika aku mengandung anak pria lain?" tanya Leticia kembali memberanikan diri.Gabriella melangkah maju semakin mendekati Leticia hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka. Tangan kiri Leticia yang dicengkram olehnya semakin kuat. Tatapannya semakin menajam seakan ingin membunuh gadis di depannya. "Apa kau sudah berani membohongiku dan mengancamku?"Leticia menggelengkan kepalanya semakin gemetar ketakutan. Ia menangis dan mencengkram tangan pria di belakangnya yang masih bungkam. Berharap dia akan menolongnya untuk sekarang agar terlepas dari Gabriella.“Aku adalah kekasih Leticia yang akan menikah dengannya," ucap suara bariton tersebut mengintervensi Gabriella dan Leticia.Pria tersebut menarik Leticia hingga punggungnya menyentuh dada bidang yang tadi sempat ia tabrak. Dia tiba-tiba mengangkat tubuh kecil gadis itu ke dalam gendongannya. Leticia tidak bisa tidak terkejut dengan tindakannya, degup jantungnya adalah bukti. Reflek ia mengalungkan tangannya pada leher pria itu.“Jadi, minggirlah,” perintahnya dengan tatapan tajam menyorot ke arah Gabriella.Gabriella yang ia lirik sebentar, tersentak saat mendengar suara dingin pria ini. Siapapun bahkan dirinya sendiri merasakan sebuah ketakutan karena intimidasi seseorang."Ti-tidak bisa!" bantah Gabriella. Dari suaranya yang tercekat, sangat jelas dia memberanikan diri."Hal yang kukatakan bukanlah sebuah permintaan, melainkan perintah." Setelah mengatakan hal tersebut, dia menoleh ke samping yang entah menatap apa.Kemudian tiba-tiba dalam sekejap orang-orang berjas hitam, bertubuh kekar, dan berwajah sangar, keluar dari balik dinding. Tidak hanya Leticia, tetapi Gabriella dan dua bodyguardnya juga terkejut. Orang-orang tersebut menyingkirkan ketiganya dan memberikan jalan pada bos mereka.Leticia sedikit bernapas lega setelah bebas dari Gabriella. Namun, tidak dipungkiri jika ia juga takut pada pria ini. Bertanya-tanya siapakah pria yang telah menolongnya ini dan dengan tujuan apa.Tanpa sadar, mereka telah kembali ke ruang tunggu pengantin wanita yang tadi ditinggalkan Leticia. Pria itu menurunkannya di sofa lantas berjongkok sambil memandangi kakinya yang terluka. Situasi dengan cepat berubah menjadi sedikit canggung bagi Leticia sekarang.Saat pria itu hendak menyentuh kaki Leticia, ia reflek menghindarinya. “Te-terima kasih atas bantuan tadi, tidak perlu khawatir pada kakiku, aku bisa mengobatinya.”Dia mendongak memperlihatkan netra obsidian miliknya yang segera bertabrakan dengan mata biru saffire Leticia. Dalam wajah tanpa ekspresi itu, menunjukkan sebuah sorot kekhawatiran. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi yang sedikit lembut di sana.Mereka saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama. Leticia memperhatikan dari dekat setiap detail dari ketampanannya. Perpaduan antara rambut coklat gelap yang sedikit keriting dan berantakan, serta garis wajah yang sempurna. Diisi oleh mata yang tampak seperti kaca, rahang yang tegas, hidung yang mancung khas orang-orang penghuni Benua Eropa, dan bibir tebal serta penuh yang pas. Semakin lama memandangnya, Leticia seolah semakin terserap dan tenggelam dalam luasnya lautan.Karena tidak ingin terlalu jauh tersesat di dalam ketampanan tersebut, Leticia memutus kontak mata mereka. Ia mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri dengan sedikit malu-malu, “Le-leticia, namaku Leticia Ramona.”Pandangannya turun ke arah tangan Leticia yang terulur. Dia mengangkat tangannya juga dan membalas uluran Leticia. Menjawab dengan singkat, “Tytan.”“Tytan, terima kasih banyak atas pertolonganmu, aku juga minta maaf telah banyak membuatmu kesulitan. Maaf aku membuatmu sulit lagi, bisakah kau menolongku lagi?” Karena sudah seperti ini, Leticia berniat melanjutkan rencana yang tiba-tiba lagi terlintas di dalam kepalanya.Dirinya memang sudah keluar dari situasi genting, tetapi ia yakin jika Gabriella tidak akan semudah itu melepaskannya. Jika Leticia melarikan diri, maka akan ketahuan kalau semua hanya karangan, dan mereka akan menangkap lalu memaksanya lagi untuk menikah. Sementara sekarang Leticia tidak membawa apapun, tidak memiliki tujuan apalagi rencana. Akan sangat mudah untuk menangkapnya, meski Valencia sangat luas.Di samping itu, ada seorang pria yang sudah menolongnya hingga sejauh ini. Melihat bagaimana tadi Gabriella tidak berkutik di depannya, bisa dipastikan jika Tytan bukanlah seseorang dari keluarga biasa. Mereka berdua mungkin bisa melakukan hubungan saling menguntungkan, meski ini terdengar serakah yang bisa saja membahayakan dirinya.“Apa yang bisa aku bantu?” tanya Tytan.“Pernikahan,” jawab Leticia.“Ti-tidak, maksudku bukan benar-benar menikah dan menjalani kehidupan pernikahan. Hanya pernikahan kontrak dalam jangka waktu tertentu yang saling menguntungkan satu sama lain. Aku membutuhkan status itu dan sebagai bayarannya kamu bisa menginginkan apapun dariku.”Tytan terdiam memandangi Leticia, lagi-lagi tidak diketahui apa yang dipikirkan olehnya dengan wajah tanpa ekspresi itu. Walaupun datar, tetapi Leticia bisa sedikit melihat sisi lembut yang tidak terlalu kejam daripada tadi. Karena itulah ia bisa sedikit memberanikan dirinya menawarkan hal gila ini pada Tytan.“Sekarang aku mungkin tidak memiliki apapun walaupun berasal dari keluarga Ramona, tetapi nanti aku pasti akan membayarmu. Satu tahun.” Leticia mengangkat jari telunjuknya, tidak kehilangan harapan membujuk Tytan.Setelah menjelaskan panjang lebar, Leticia masih tidak yakin. Ia tidak memiliki apapun untuk ditawarkan, pria ini juga kelihatan tidak menginginkan apapun, dan kembali lagi, mereka tidak memiliki hubungan apapun hingga bisa membantu satu sama lain. Memang pantas Leticia bersikap skeptis. Pria mana yang mau menerima tawaran gila Leticia tanpa keuntungan apapun?Namun, jika nantinya Tytan tetap menolak, Leticia akan memohon padanya, di bawah kakinya bila perlu. Ia telah siap mengorbankan apapun yang sekarang dimiliki, termasuk tubuhnya sendiri jika diperlukan. Pengorbanan kecil seperti itu bisa dilakukan asalkan Leticia tidak menikah dengan Castellano dan menjalani kehidupan suram hingga berakhir mati muda.“Baiklah …”“Baiklah, aku mengerti kalau kau–”“Iya? Apa maksudmu baiklah?” Leticia berkedip beberapa kali, menatap Tytan serius ketika pendengarannya baru menyadari apa yang dikatakan oleh pria ini.“Baiklah, aku akan menikah denganmu.”---To be continued"Apa kau ... serius?" tanya Leticia setengah tidak percaya pada apa yang baru dikatakan oleh Tytan. Tytan mengangguk sekali tanpa keraguan yang justru membuat Leticia semakin ragu. Saat sebuah keajaiban itu datang lagi, Leticia bertanya-tanya dan meragukannya. "Tytan, kau ..." ucapnya tanpa meneruskan perkataannya. Leticia berkali-kali menelan apa yang ingin ditanyakannya. Ia mempertimbangkan karena merasa pertanyaan tersebut agak kurang ajar untuk seseorang yang sudah menolongnya. Namun, ia tidak bisa menyingkirkan perasaan waspada ini begitu saja sebab semua terasa terlalu mudah. "Ada apa, Leticia?" tanya kembali Tytan yang masih memperhatikan gadis itu yang tampak ingin mengatakan sesuatu. "Tidak apa, aku, aku hanya terkejut dan tidak percaya. Kau tahu, kalau penawaran ini tidak ada untungnya bagimu," jawabnya dengan gugup karena berusaha menyembunyikan keingintahuannya. "Sekarang mungkin ya, tetapi tidak dengan nanti. Anggap saja jika aku sedang berinvestasi padamu." Leticia
'Sepertinya aku kurang memperingatkannya,' gumam Tytan dalam batin dengan kesal. Pria itu tidak menyembunyikan tatapan tajamnya pada Gabriella. Meski auranya mengintimidasi, ketika melihat keberadaan Tytan, rasanya Leticia telah selamat dari sesuatu yang lebih berbahaya. Ia baru saja hendak berdiri dan menghampiri, tetapi dia lebih dulu bergegas mendekatinya. Berbeda dengan Leticia yang lega, ekspresi Gabriella kembali menegang ketakutan. Dia segera menyingkir tanpa berpikir dua kali, dan tanpa mengatakan apapun pergi keluar begitu saja. Setelah sebelumnya menatap tajam ke arah Leticia. Sudah Leticia duga jika wanita itu sama sekali tidak tulus. "Apa kau masih tidak mengerti cara kerja gelangnya?" tanya Tytan setelah ia mengalihkan semua atensi pada gadis itu. Leticia menatap gelang tersebut sebentar sebelum kembali mendongak pada Tytan. Ia memberikan senyuman sebelum menjawab, "Aku paham, tetapi tidak ada yang membahayakan. Dia tidak melakukan apapun karena kau datang." Tytan ti
"Saya nyatakan kalian sebagai pasangan suami istri yang baru, selamat!" Begitu pernyataan dari sang pendeta diumumkan, Leticia segera membuka matanya dan menjauhkan wajah mereka yang sangat dekat. Suara tepuk tangan yang cukup riuh dari bangku tamu terdengar. Entah sejak kapan mereka—para bodyguard Tytan—mengisi bangku-bangku kosong itu. Pipi Leticia yang telah memanas karena malu, semakin mengeluarkan rona merah alami. Tytan tidak mengindahkan apa yang ia katakan tadi, entah dia tidak mendengarnya. Leticia kini sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya, bahkan bingung harus menatap kemana. "Silahkan tanda tangani buku nikahnya untuk dilaporkan pada pemerintah agar pernikahan kalian sah secara hukum." Suara pendeta membuat atensi Leticia beralih. Dengan tangan gemetar ia membubuhkan tanda tangannya, lalu kemudian Tytan. Setelah semua proses pernikahan selesai, pendeta itupun pergi. Barulah Leticia dan Tytan menoleh dan berbalik ke belakang. Saat itulah Leticia begitu terkejut, men
"Pria gila itu entah sedang membunuh siapa sekarang disaat anjing pemburunya menikah!" gerutu Gabriella, setelah satu kali percobaan telpon orang yang ditujunya tidak mengangkat. Memilih menyerah karena dugaan di dalam pikirannya, wanita itu menghembuskan napas panjang. Membenarkan kembali penampilannya sekilas sebelum melangkah keluar. Saat kaki jenjangnya baru menginjak lantai luar gereja, getaran ponsel di tangannya menghentikan langkah. Ia melihat sekilas nama di layar ponsel pintar miliknya sebelum menggesernya. "Akhirnya kau mengangkatku, Massimo," sapa Gabriella penuh penekanan akan sindiran. Semua umpatan dan kemarahan yang akan dilontarkan wanita itu tertahan karena telinganya menangkap sebuah suara bising di sebrang telpon. Seperti suara jeritan tertahan dan tembakan senjata api. Napas pria di seberang telpon juga terdengar terengah-engah. "Ka-kau sibuk?" tanya Gabriella pelan, menurunkan nada suaranya hingga sangat lembut. "Aku baru selesai dengan pekerjaanku, seperti
“Leticia …” “Leticia!” Ingin sekali Leticia membuka kedua matanya dan melihat siapa gerangan yang memanggil, tetapi tidak bisa. Rasanya terlalu berat dan sulit, seperti tubuhnya yang sudah sangat kaku. Suara asing yang memanggil itu bisa dipastikan milik seorang pria. Dari nada suaranya, ia terdengar sangat mencemaskan dirinya. Tidak ada sosok pria yang dikenalnya dengan baik selain ayahnya. Namun sayang, suara tersebut bukanlah milik sang ayah. "Leticia." "Leticia, kau baik-baik saja?" Sebuah tepukan pelan terasa di pipinya. Leticia sekali lagi berusaha untuk membuka mata perlahan meski rasa kantuk masih terasa. Tubuhnya kali ini tidak kaku ataupun kesakitan seperti sebelumnya. Pandangan buram miliknya perlahan semakin jelas memperlihatkan siluet wajah seorang pria tampan. "Leticia, kau baik-baik saja? Kau sudah bangun?" tanya suara tersebut terdengar kembali. Rasa pening menghantam kepala Leticia. Ia mengingat sebuah kilas balik masa lalu dimana dirinya sekarat tadi. Kini ia
‘Aku baru menyadari jika rumah ini ternyata dikelilingi pohon yang rimbun,” komentar Leticia ketika ia keluar dari kamarnya, menelusuri lorong sambil mencari kamar Tytan. Setelah mandi dan mengganti pakaian, Leticia memutuskan untuk menemui Tytan. Tidak dipungkiri jika ia memang lelah, tetapi setelah tubuhnya terkena air, rasa lelah itu tidak terlalu terasa. Sambil melihat-lihat rumah pria itu yang ternyata lebih indah jika diperhatikan lagi. Meski kesan gelap dan suram sangat kuat karena pemilihan warna cat dan furniturenya. Ditambah lokasi dari rumah ini sendiri menambah auranya. Alasan Leticia cukup berani untuk mencari kamar Tytan adalah karena ukuran rumah ini tidak terlalu besar. Hanya dua lantai, dimana lantai satu tidak ada kamar lagi. Bisa terlihat dari lantai dua jika hanya ada ruang tamu yang luas, dapur dan meja makan, juga satu kamar mandi. Ia bisa menebak jika Tytan ada di salah satu dari dua ruangan tersisa di lantai dua ini. Sebelum sampai di ruangan pertama, Leticia
"Eugh ..." Lenguhan keluar dari mulut Leticia, merasakan sinar matahari yang rasanya begitu menyengat. Tanpa mengubah posisi, tangan Leticia berusaha menghalau sinar tersebut. Namun, tak ayal tetap terasa silaunya yang mau tak mau membuat gadis itu terbangun. Kali ini ia berguling ke samping, menghindari tempat dimana sinar matahari menyorot. Ini adalah pagi pertama di rumah Tytan. Tidak ada suara hiruk pikuk khas kota metropolitan. Yang ada adalah suara kicauan burung dan tetesan-tetesan air embun. Terdengar sangat menyenangkan, tinggal di rumah yang dikelilingi pohon rimbun seperti hutan. Sangat asri. "Jam berapa ini?" gumam Leticia sembari membuka matanya sedikit, melirik ke arah jam digital di atas nakas. Seperti kebiasaannya yang sudah terbentuk, tepat pukul 7.30 pagi gadis itu sudah bangun. Tidak peduli selarut atau secepat apapun ia tertidur, pada pukul itulah dirinya terbangun. Karena tidak bisa lagi kembali tertidur, Leticia mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Mengump
“Leticia,” panggil Tytan yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Leticia menelan lebih dulu makanannya sebelum menyahut, “Ya?” “Aku harus segera pergi lebih dulu. Setelah kenyang, kau boleh beristirahat kembali atau berjalan-jalan di sekitar rumah ini.” Ia berdiri dari duduknya setelah mengatakan hal tersebut. Mendapatkan anggukan dari Leticia, barulah Tytan pergi dari meja makan. Netra obsidian yang menyorot tajam itu memandang ke arah tiga orang yang sibuk mengobrol dekat meja makan. Ia bisa melihat mereka bertiga dari sejak ketika bercakap-cakap dengan Leticia tadi. Melihat mereka membuat Tytan kesal dan merasa perlu menegur ketiga bodyguard-nya ini yang tampak menganggur. “Akhirnya akan ada romansa di kehidupan Tuan Muda.” Tytan menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Diego. Ia berusaha memastikan jika pendengarannya tadi tidak bermasalah. Ia tidak percaya jika pembicaraan seperti ini akan menjadi topik di antara para pria yang sangat bengis ini ketika memegang senja
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt