"Saya nyatakan kalian sebagai pasangan suami istri yang baru, selamat!"
Begitu pernyataan dari sang pendeta diumumkan, Leticia segera membuka matanya dan menjauhkan wajah mereka yang sangat dekat. Suara tepuk tangan yang cukup riuh dari bangku tamu terdengar. Entah sejak kapan mereka—para bodyguard Tytan—mengisi bangku-bangku kosong itu.Pipi Leticia yang telah memanas karena malu, semakin mengeluarkan rona merah alami. Tytan tidak mengindahkan apa yang ia katakan tadi, entah dia tidak mendengarnya. Leticia kini sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya, bahkan bingung harus menatap kemana."Silahkan tanda tangani buku nikahnya untuk dilaporkan pada pemerintah agar pernikahan kalian sah secara hukum." Suara pendeta membuat atensi Leticia beralih.Dengan tangan gemetar ia membubuhkan tanda tangannya, lalu kemudian Tytan. Setelah semua proses pernikahan selesai, pendeta itupun pergi. Barulah Leticia dan Tytan menoleh dan berbalik ke belakang. Saat itulah Leticia begitu terkejut, mendapati orang-orang Tytan yang berbondong-bondong ke arah mereka."Selamat, Tuan muda!""Tuan muda, Anda terlihat gagah tadi.""Anda juga terlihat cantik dan serasi dengan Tuan kami, Nyonya.""Nyonya, saya ucapkan selamat dengan tulus."Berbagai ucapan selamat, datang membanjiri Tytan dan Leticia dari para pria berwajah sangar ini. Ucapan mereka juga terdengar tulus, penuh sarat akan turut kebahagiaan.Jujur saja, saat pertama kali Leticia bertemu Tytan dan melihat bawahannya, ia sangat takut. Bahkan sempat curiga juga kepadanya. Namun, orang-orang bertato dengan bekas luka yang menghiasi wajah mereka, nyatanya bisa membuat ekspresi bahagia dan mengucapkan selamat dengan tulus.Leticia yang sempat terkejut dan malu, akhirnya turut tersenyum. "Iya, terima kasih semuanya.""Nyonya, Anda bisa mengandalkan saya untuk mengawal Anda kemanapun!""Tidak, dia tidak gesit, biar saya yang menjadi penjaga Anda.""Tuan, pilih saya!""Kalian semua, cukup!" seru Tytan datar namun penuh penekanan.Orang-orang yang tiba-tiba sibuk dan heboh berebut posisi sebagai penjaga Leticia, semuanya diam. Leticia tidak mengerti kenapa mereka begitu berlebihan dalam memperlakukannya. Bahkan sampai ingin menjadi penjaganya. Ia mengerti jika Tytan berasal dari keluarga terpandang yang pasti memiliki saingan, tetapi Leticia pikir ia bisa menjaga dirinya sendiri."Tuan–""Diego, kau tidak mendengarku? Leticia ketakutan!" potong Tytan kesal pada salah satu bawahannya yang mulai berbicara lagi. Pria tersebut menunduk menyesal setelah sebelumnya melirik ke arah Leticia."Tidak apa-apa, Tytan. Aku hanya sedikit terkejut," ucap Leticia angkat suara, mencoba menenangkan Tytan dan situasi yang menjadi tidak bagus.Kemudian gadis itu berbicara lagi, menolak secara halus pada mereka, "Terima kasih atas niat baik kalian, tetapi kurasa aku masih bisa menjaga diriku sendiri."Ekspresi mereka semua berubah saat Leticia mengutarakan penolakannya. Seolah merasa aneh pada pilihannya karena seorang penjaga adalah suatu keharusan. Ia bukan anggota kerajaan penting yang mana harus selalu dikawal 'kan?"Tetapi, Nyonya–""Diego, berhenti." Lagi-lagi pria bernama Diego itu terkena teguran, kali ini dari seorang pria lainnya yang lebih tua."Mari kita bicarakan hal ini lain kali," sambung Tytan."Gaspar, bawa barang-barang milik Leticia. Kita akan pergi ke rumahku di Madrid sekarang juga," lanjutnya memerintah kepada pria setengah baya yang tadi menegur Diego."Baik, Tuan muda." Dia menunduk patuh lantas berlalu keluar."Dan kalian semua bersiaplah untuk kembali bekerja." Diikuti oleh orang-orang sisanya yang pergi dengan patuh, begitu perintah Tytan turun.Setelah orang-orang tersebut pergi, tinggallah tersisa Leticia dan Tytan. Ingatan Leticia tiba-tiba kembali pada ciuman sakral pernikahan mereka. Ia menjadi salah tingkah dan dilanda kecanggungan untuk memulai pembicaraan lagi."Leticia, mengenai tadi, aku akan menjelaskannya lebih banyak saat kita tiba di rumah," ujar Tytan yang memulai pembicaraan.Leticia memberanikan diri menatap pada pria yang telah resmi menjadi suaminya ini. Wajah Tytan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hal tersebut setidaknya membuat Leticia tenang dan tidak malu lagi."Baiklah, aku pasti akan berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dan lingkunganmu." Tytan mengangguk sekali dengan mengerti."Kalau begitu aku akan pergi dulu untuk berbicara pada mereka lagi. Apa kau ingin berganti pakaian dulu sebelum pergi?" tanya Tytan kemudian, melihat bagaimana penampilan gadis itu. Takut jika ia merasa tidak nyaman selama 3 jam lebih di dalam mobil."Hm? Kurasa tidak usah," jawabnya menolak sembari menggeleng.Sebelum Leticia hendak berbicara kembali, suara langkah sepatu hak seseorang mengalihkan pandangan mereka. Untuk sementara Leticia lagi-lagi melupakan kehadirannya. Ia pikir wanita itu pergi di tengah upacara. Entah sejak kapan dia telah memperhatikan interaksi mereka tadi. Atau dia memang tidak beranjak dari tempatnya sejak awal.Leticia berusaha mengingat pembicaraan di antara Tytan dan dirinya tadi. Memastikan jika mereka tidak berbicara sesuatu yang membuat Gabriella bisa curiga. Seingatnya memang tidak ada, tetapi interaksi mereka berdua tadi bukankah terlalu canggung sebagai pasangan yang akan memiliki anak? Leticia merasa cukup cemas sekarang."Leticia, selamat untuk pernikahan kalian." Suaranya mendayu dengan lembut, tetapi selalu berhasil membuat Leticia ketakutan. Dalam sekejap suasana kembali berubah ekstrim."I-ibu, ternyata Ibu masih di sini. Terima kasih sudah hadir sampai akhir dan memberikanku selamat," ucap Leticia berusaha untuk tidak membuat konfrontasi dengannya."Tentu saja, kau harus mendapatkan selamat setidaknya dari salah satu keluargamu. Apalagi kau sedang mengandung." Perkataannya semakin membuat Leticia tegang dan berkeringat dingin."Kupikir ini keputusan yang baik karena Tuan Castellano pasti–""Nyonya Ramona," sela Tytan lebih dulu memotong ucapan dari ibu mertua tirinya itu.Gabriella sejak tadi memang tampak menghindari tatapan Tytan. Ketika sang menantu angkat suara, wanita itu jelas tersentak dan mengubah ekspresi wajahnya. Di hadapan Leticia, sekali lagi Gabriella tampak seperti seekor mangsa yang berhadapan dengan pemburu. Gemetar ketakutan dan berkeringat dingin, seperti bagaimana Leticia selama ini di hadapannya. Mungkinkah ini adalah karma untuknya?"Apa Anda sudah selesai mengucapkan selamat pada istriku?" tanyanya dengan nada menyindir.Wanita itu menaikkan sedikit kepalanya, mendongak dan bertemu tatap dengan netra Tytan. Ia terlihat jelas berusaha menahan ketakutannya. Mencoba tersenyum, lebih tepatnya memaksakan. "Boleh saya berbicara sebentar pada putri saya untuk mengucapkan salam perpisahan?"Ekspresi datar dan mata elang obsidian gelap tersebut yang menunduk ke bawah pada Gabriella, menatapnya penuh keangkuhan. Netra yang sama itu menoleh ke arah Leticia di sampingnya dengan tatapan berbeda. Keduanya saling pandang sebelum akhirnya Tytan kembali pada Gabriella."Kupikir tanpa bertanya pada istriku dulu itu tidak perlu," jawab Tytan."Tetetapi, Tuan Cas–" Tatapan Tytan menajam pada Gabriella membuat perkataan wanita itu tidak selesai. Ia meneguk ludah dan melanjutkan dengan gugup, "Ti-tidak, maksud saya silahkan pergi. Le-leticia, jaga dirimu."Tytan mendelik tajam sebelum akhirnya membawa sang istri keluar dari ruang utama gereja. Tangan yang ia genggam tadi masih terasa gemetar. Ia yakin jika Leticia masih ketakutan pada Gabriella, meski mereka telah berpisah."Leticia, kau baik-baik saja?" Tytan berhenti melangkah saat mereka telah di luar.Gadis itu tersentak, mendengar suara suaminya yang tiba-tiba masuk ke dalam indra pendengarannya. Saking ketakutannya ia sampai tidak mendengar apapun apalagi melihat bagaimana Gabriella tadi. Hanya menyadari jika mereka kini telah ada di luar ruangan."Ha-hah? I-iya, aku tidak apa. Ayo kita pergi," ajak Leticia kemudian berjalan mendahului dengan kaki yang masih pincang."Kyaa! Tytan!" Leticia tersentak saat dalam sekejap tubuhnya melayang dan telah berada dalam gendongan pria itu. Secara alami kedua tangannya melingkari leher Tytan, tak peduli pipinya yang kembali merona malu. "Aku bisa jalan sendiri," bisiknya."Iya, tetapi kamu terluka." Tytan melihat sekilas pada Leticia sebelum akhirnya berjalan kembali setelah istrinya sudah diam.***Sementara itu, Gabriella yang masih diam mematung di tempat ia berdiri, tubuhnya bergetar. Matanya melotot tajam ke depan dengan wajah yang penuh keringat dingin. Kedua tangannya mengepal erat bersamaan dengan giginya yang bergemelutuk hingga rahangnya mengeras.Harga diri Gabriella yang sangat tinggi telah terhina dan jatuh begitu saja berkat menantunya. Emosinya membumbung tinggi pada tingkat maksimal. Kekecewaan dan kekesalan menguasai karena tidak bisa melawan satu patah katapun dari seorang Tytan Castellano."Brengsek!" teriak Gabriella yang menggema di dalam ruangan sepi nan hening ini."Keparat, sialan, pria bajingan!" Gabriella memuntahkan seluruh umpatannya sembari memukul-mukul tas jinjingnya ke dinding.Napasnya terengah-engah setelah berhenti dan puas meluapkan sebagian amarahnya. Ia menyugar rambutnya kasar, lalu berjalan mondar-mandir. Giginya menggigit bibir berlapis lipstik merah merona tersebut."Tytan Castellano, anjing sialan. Kau bukan apa-apa di hadapan Massimo, tetapi bertingkah layaknya bos di belakang!" geramnya masih dipenuhi emosi."Anak jalang itu, bagaimana bisa dia mengenal Tytan Castellano?!" tanyanya pada diri sendiri setelah merenung sebentar."Massimo, brengsek bajingan itu!" Gabriella dengan cepat merogoh tasnya dan mengambil ponselnya.Setelah menekan nomor seseorang di kontaknya, ia menempelkan ponsel tersebut ke telinga. Menunggu dan menunggu sampai seorang operator yang menjawab."Massimo!" teriak Gabriella penuh kemarahan, sekali lagi suaranya menggema di ruangan besar tersebut.---To be continued"Pria gila itu entah sedang membunuh siapa sekarang disaat anjing pemburunya menikah!" gerutu Gabriella, setelah satu kali percobaan telpon orang yang ditujunya tidak mengangkat. Memilih menyerah karena dugaan di dalam pikirannya, wanita itu menghembuskan napas panjang. Membenarkan kembali penampilannya sekilas sebelum melangkah keluar. Saat kaki jenjangnya baru menginjak lantai luar gereja, getaran ponsel di tangannya menghentikan langkah. Ia melihat sekilas nama di layar ponsel pintar miliknya sebelum menggesernya. "Akhirnya kau mengangkatku, Massimo," sapa Gabriella penuh penekanan akan sindiran. Semua umpatan dan kemarahan yang akan dilontarkan wanita itu tertahan karena telinganya menangkap sebuah suara bising di sebrang telpon. Seperti suara jeritan tertahan dan tembakan senjata api. Napas pria di seberang telpon juga terdengar terengah-engah. "Ka-kau sibuk?" tanya Gabriella pelan, menurunkan nada suaranya hingga sangat lembut. "Aku baru selesai dengan pekerjaanku, seperti
“Leticia …” “Leticia!” Ingin sekali Leticia membuka kedua matanya dan melihat siapa gerangan yang memanggil, tetapi tidak bisa. Rasanya terlalu berat dan sulit, seperti tubuhnya yang sudah sangat kaku. Suara asing yang memanggil itu bisa dipastikan milik seorang pria. Dari nada suaranya, ia terdengar sangat mencemaskan dirinya. Tidak ada sosok pria yang dikenalnya dengan baik selain ayahnya. Namun sayang, suara tersebut bukanlah milik sang ayah. "Leticia." "Leticia, kau baik-baik saja?" Sebuah tepukan pelan terasa di pipinya. Leticia sekali lagi berusaha untuk membuka mata perlahan meski rasa kantuk masih terasa. Tubuhnya kali ini tidak kaku ataupun kesakitan seperti sebelumnya. Pandangan buram miliknya perlahan semakin jelas memperlihatkan siluet wajah seorang pria tampan. "Leticia, kau baik-baik saja? Kau sudah bangun?" tanya suara tersebut terdengar kembali. Rasa pening menghantam kepala Leticia. Ia mengingat sebuah kilas balik masa lalu dimana dirinya sekarat tadi. Kini ia
‘Aku baru menyadari jika rumah ini ternyata dikelilingi pohon yang rimbun,” komentar Leticia ketika ia keluar dari kamarnya, menelusuri lorong sambil mencari kamar Tytan. Setelah mandi dan mengganti pakaian, Leticia memutuskan untuk menemui Tytan. Tidak dipungkiri jika ia memang lelah, tetapi setelah tubuhnya terkena air, rasa lelah itu tidak terlalu terasa. Sambil melihat-lihat rumah pria itu yang ternyata lebih indah jika diperhatikan lagi. Meski kesan gelap dan suram sangat kuat karena pemilihan warna cat dan furniturenya. Ditambah lokasi dari rumah ini sendiri menambah auranya. Alasan Leticia cukup berani untuk mencari kamar Tytan adalah karena ukuran rumah ini tidak terlalu besar. Hanya dua lantai, dimana lantai satu tidak ada kamar lagi. Bisa terlihat dari lantai dua jika hanya ada ruang tamu yang luas, dapur dan meja makan, juga satu kamar mandi. Ia bisa menebak jika Tytan ada di salah satu dari dua ruangan tersisa di lantai dua ini. Sebelum sampai di ruangan pertama, Leticia
"Eugh ..." Lenguhan keluar dari mulut Leticia, merasakan sinar matahari yang rasanya begitu menyengat. Tanpa mengubah posisi, tangan Leticia berusaha menghalau sinar tersebut. Namun, tak ayal tetap terasa silaunya yang mau tak mau membuat gadis itu terbangun. Kali ini ia berguling ke samping, menghindari tempat dimana sinar matahari menyorot. Ini adalah pagi pertama di rumah Tytan. Tidak ada suara hiruk pikuk khas kota metropolitan. Yang ada adalah suara kicauan burung dan tetesan-tetesan air embun. Terdengar sangat menyenangkan, tinggal di rumah yang dikelilingi pohon rimbun seperti hutan. Sangat asri. "Jam berapa ini?" gumam Leticia sembari membuka matanya sedikit, melirik ke arah jam digital di atas nakas. Seperti kebiasaannya yang sudah terbentuk, tepat pukul 7.30 pagi gadis itu sudah bangun. Tidak peduli selarut atau secepat apapun ia tertidur, pada pukul itulah dirinya terbangun. Karena tidak bisa lagi kembali tertidur, Leticia mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Mengump
“Leticia,” panggil Tytan yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Leticia menelan lebih dulu makanannya sebelum menyahut, “Ya?” “Aku harus segera pergi lebih dulu. Setelah kenyang, kau boleh beristirahat kembali atau berjalan-jalan di sekitar rumah ini.” Ia berdiri dari duduknya setelah mengatakan hal tersebut. Mendapatkan anggukan dari Leticia, barulah Tytan pergi dari meja makan. Netra obsidian yang menyorot tajam itu memandang ke arah tiga orang yang sibuk mengobrol dekat meja makan. Ia bisa melihat mereka bertiga dari sejak ketika bercakap-cakap dengan Leticia tadi. Melihat mereka membuat Tytan kesal dan merasa perlu menegur ketiga bodyguard-nya ini yang tampak menganggur. “Akhirnya akan ada romansa di kehidupan Tuan Muda.” Tytan menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Diego. Ia berusaha memastikan jika pendengarannya tadi tidak bermasalah. Ia tidak percaya jika pembicaraan seperti ini akan menjadi topik di antara para pria yang sangat bengis ini ketika memegang senja
“Nyonya, apa saya boleh bertanya?” Perkataan Diego menghentikan langkah Leticia, lantas gadis itu menoleh dan bertanya balik, “Apa itu?” “Apa kaki Anda benar-benar terluka?” Kernyitan timbul di dahi Leticia karena kebingungan. Siapapun bisa melihat kaki miliknya yang masih membengkak, meski telah lebih baik sekarang. Karena itulah ia bingung apakah itu murni sebuah pertanyaan atau hanya sindiran. “Ya, memang kenapa? Kakiku mungkin terluka, tetapi bukan berarti aku lumpuh," jawabnya. “Saya rasa begitu, tetapi langkah kaki Anda lebih cepat dari seseorang yang normal.” Dalam beberapa detik yang kosong Leticia terdiam, kemudian tawanya terdengar. Ia tanpa sadar mengutarakan apa yang dipikirkan olehnya. “Apa itu sebuah sindiran atau pujian?” “Hanya pertanyaan yang membuat saya bingung.” Diego turut tertawa mendengarnya. "Kenapa? Apa kau kesulitan menyamai langkahku?" tanya Leticia sembari kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih pelan. Ia sendiri tidak sadar jika telah berjalan le
“Ekhem!” Leticia menarik kursi meja makan, mencoba mengalihkan atensi seseorang yang sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Tujuannya itu akhirnya tercapai ketika Tytan menoleh dan berbalik. “Apa ada yang bisa aku bantu?” Segera Leticia bertanya dengan senyum kecil ramah menghiasi wajahnya. “Tentu ada yang bisa kau bantu untukku,” jawabnya yang semakin melebarkan senyum gadis itu. Leticia mengurungkan niatnya yang hendak duduk, ia berjalan menghampiri sang suami. “Apa yang bisa aku lakukan?” Leticia bertanya lagi, mendapatkan tatapan dari Tytan. “Apa makanan kesukaanmu?” Kali ini ia menyerngit bingung pada mulanya, tetapi tak urung menjawab. “A-apapun bisa aku makan.” “Baiklah, kali ini kita akan makan malam dengan albondigas. Kau boleh duduk lagi, Leticia.” Tytan kembali mengalihkan atensi pada masakan di wajan yang tengah ia masak. “Te-tetapi aku ingin membantumu,” bujuk Leticia sedikit merengek. “Itu saja bantu
“Tuan Muda, mereka sudah menunggu Anda.” Tytan baru saja keluar dari ruang ganti ketika Gaspar mengatakan laporannya. Pria itu mengenakan sarung tangan hitamnya sambil berjalan ke arah rak buku yang ada di kamar ini. Ketika salah satu buku diambil, rak tersebut bergeser pelan ke samping. Mulai memperlihatkan satu persatu berbagai macam senjata yang tertata rapi di sana. Tytan berdiri memandangi semua miliknya dengan pandangan mempertimbangkan. “Mulai besok, kaulah yang akan memimpin,” ucap Tytan memulai pembicaraan sambil meraih salah satu senapan tersebut. Tanpa perlu menjelaskan lebih jauh, ia yakin jika Gaspar sudah mengetahui apa alasannya. Ia berbalik setelah menjatuhkan pilihannya dan berjalan menuju ke meja kerjanya. Mulai mengisi senapannya dengan peluru yang sesuai dan cocok jenisnya. “Baik, saya akan melakukan tugas saya dengan baik. Tolong berhati-hatilah. Kapan tepatnya Anda berangkat?” tanya Gaspar kemudian. Tytan menole
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt