‘Aku baru menyadari jika rumah ini ternyata dikelilingi pohon yang rimbun,” komentar Leticia ketika ia keluar dari kamarnya, menelusuri lorong sambil mencari kamar Tytan.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, Leticia memutuskan untuk menemui Tytan. Tidak dipungkiri jika ia memang lelah, tetapi setelah tubuhnya terkena air, rasa lelah itu tidak terlalu terasa. Sambil melihat-lihat rumah pria itu yang ternyata lebih indah jika diperhatikan lagi. Meski kesan gelap dan suram sangat kuat karena pemilihan warna cat dan furniturenya. Ditambah lokasi dari rumah ini sendiri menambah auranya.Alasan Leticia cukup berani untuk mencari kamar Tytan adalah karena ukuran rumah ini tidak terlalu besar. Hanya dua lantai, dimana lantai satu tidak ada kamar lagi. Bisa terlihat dari lantai dua jika hanya ada ruang tamu yang luas, dapur dan meja makan, juga satu kamar mandi. Ia bisa menebak jika Tytan ada di salah satu dari dua ruangan tersisa di lantai dua ini.Sebelum sampai di ruangan pertama, Leticia sudah mendengar suara dari dua orang yang berbicara. Ia tidak terlalu mendengarnya dengan jelas karena bercampur suara hujan. Ketika masuk, tampaklah Tytan bersama seorang pria paruh baya yang Leticia lihat tadi di gereja.“Tytan,” panggil gadis itu mengalihkan atensi dua orang tersebut.Ekspresi wajah yang sangat serius itu dalam sekejap berubah menjadi lebih kaku. Leticia segera merasa bersalah karena telah ikut campur di tengah-tengah mereka yang mungkin sedang membicarakan hal penting.“Leticia?” Akhirnya Tytan tidak membiarkan lebih lama keterdiaman di antara mereka."Maaf, apa aku mengganggu kalian?" tanya Leticia tak enak."Tidak, kemarilah." Meski dia mengatakan tidak, tetapi tetap tak bisa mengenyahkan rasa bersalah gadis itu.Leticia tidak memiliki pilihan selain melangkah saat Tytan memberikan kode agar mendekat padanya. Sementara pria paruh baya yang namanya baru diingat bernama Gaspar, menundukkan kepala dengan sopan sebelum berpamitan."Saya permisi dulu, Tuan Muda, Nyonya." Pintu tertutup meninggalkan dirinya dan Tytan yang telah berhadapan."Ada apa, Leticia?" Tytan telah memberikan seluruh atensinya pada Leticia.Alih-alih melakukan hal yang sama dan mengatakan apa yang sudah dipikirkan olehnya sejak tadi, Leticia mendadak tidak bisa fokus. Ia bahkan tidak tahu harus menatap kemana. Pipinya dengan cepat memerah bersamaaan dengan jantungnya yang berdegup kencang.Bagaimana bisa ia fokus sementara suaminya ini hanya berbalut bathrobe yang menampakkan dadanya? Itu bahkan masih basah dari tetesan air di rambutnya. "Em ... itu, Ty-tytan ... se-sebelumnya aku minta maaf jika berkeliaran di rumahmu tanpa seizinmu," ujarnya gagap."Ya, tidak masalah, kau tidak mendengarkan apa yang kukatakan untuk melihat-lihat setelah beristirahat." Jawabannya penuh sindirian, tetapi itu tak mengusir rasa gugup Leticia."Bisakah sebelumnya kau memakai bajumu dulu baru kita bicara?!" Leticia mengatakannya dalam satu tarikan napas sembari menaikkan nada suaranya tanpa sengaja. Ia membuang wajah ke samping. Tidak peduli seberapa kuat usahanya, ketampanan pria ini seolah terus menggodanya.Terdengar helaan napas dari Tytan, tampaknya itu membuatnya kesal. Leticia melirik sebentar pada punggungnya yang sudah melengos pergi. Dia melangkah ke arah pintu lain."Baiklah." Bersamaan dengan itu, suara pintu terdengar ditutup.Barulah Leticia dapat bernapas lega dan kembali mengambil kendali atas dirinya. Ia mengatur degup jantungnya sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, suara pintu yang tiba-tiba terdengar lagi, membuat Leticia tersentak."Leticia, tunggulah aku di ruangan sebelah kamarku. Aku akan menyusul." Blam!Belum sempat Leticia menjawab, pintu kembali tertutup. Bahkan ia sama sekali belum bergerak sampai beberapa detik ke depan seolah menjadi batu. Pergerakan Tytan cukup cepat dan terburu-buru. Entah kenapa dia melakukannya seperti orang yang tidak memiliki waktu. Sekilas Leticia lihat telinganya juga sangat merah. Apakah cuaca dan udara di sini begitu dingin baginya?Mengesampingkan pertanyaan tersebut, ia keluar kamar dan pergi ke ruangan di samping kamar Tytan, sesuai dengan apa yang diinginkan olehnya. Ruangan yang tampak seperti ruang santai. Ada sofa dan karpet beludru dengan api unggun, membuat udara lebih hangat di ruangan ini."Kenapa masih berdiri?" Suara di belakangnya membuat gadis itu lagi-lagi tersentak. Ia diam-diam menghela napas karena Tytan selalu mengejutkannya sekarang. Secepat ini dia menyusulnya, entah langkah kakinya yang memang lambat."Apa kau sibuk, Tytan?" tanya Leticia sebelum menyusul Tytan yang telah duduk di sofa, berhadapan dengan api unggun.Pria itu menggeleng yakin, sementara sikapnya membuat Leticia tidak yakin. Perasaannya dirundung rasa bersalah jika benar ia mengganggu Tytan."Kemarilah, aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Dia menepuk bagian sofa kosong di sampingnya yang membuat Leticia tidak memiliki pilihan."Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Leticia menatap netra obsidian tersebut dengan serius, tidak ingin berlama-lama takut dia memang sibuk."Apa alasan terkuatmu tidak ingin menikah dengan pria pilihan keluargamu?" Pertanyaan Tytan membuat tubuh Leticia mau tak mau menegang. Ia memalingkan wajah ke depan, tidak ingin jika kebohongannya terungkap. Tidak mungkin ia mengatakan dirinya mengetahui masa depan dan akan mati jika menikah dengan Castellano, 'kan?"Aku membencinya," jawab Leticia singkat.Itu tidak bisa dikatakan bohong sepenuhnya karena memang Leticia membenci pria itu. Selain membuat dirinya menderita, dia juga tidak pernah sekalipun mengunjunginya untuk sekedar memperkenalkan diri. Jika dia tidak ingin pernikahan ini, maka Leticia akan dengan senang hati bekerja sama dengannya agar mereka bisa bercerai. Namun, tidak, sampai akhir ia mati muda, dia tidak sedikitpun menunjukkan batang hidungnya. Mengingatnya saja membuat Leticia tidak bisa tidak membenci pria itu.Ketika Tytan tidak kunjung merespon, ia kembali mengalihkan atensi padanya. Menatapnya dengan bingung sebab suaminya ini tampak terkejut. "Tytan? Ada apa?""Kenapa kau membencinya? Bukankah kalian tidak saling mengenal bahkan tidak pernah bertemu?" tanya Tytan bernada penasaran."Karena dia bahkan tidak datang ke pernikahan kami dan hanya akan menandatangani surat pernikahan tanpa mengucapkan ikrar suci. Dari sana aku sudah yakin jika dia pria dingin dan kejam." Entah hanya perasaan atau bukan, wajah Tytan tampak semakin datar."Ty-tytan?" panggil Leticia sekali lagi, merasa sedikit takut Tytan tersinggung, meski ia sendiri tidak tahu karena apa. Seolah yang ia bicarakan adalah pria ini sendiri."Sudahlah, jadi, apa yang ingin kau katakan padaku saat kau seharusnya beristirahat?" Helaan napas yang kesal terdengar darinya."Ah, ini soal pernikahan kita. Bukankah kita seharusnya menandatangani kontrak agar tidak melanggar peraturan di dalamnya?""Kenapa harus?"Leticia menyerngit bingung pada pertanyaan Tytan. "Karena kita menikah untuk saling membantu, 'kan? Aku tidak akan membebanimu hanya karena pernikahan ini. Kau bisa menaruh aturan apapun di dalamnya, termasuk aku yang tidak akan mengganggu urusanmu."Ekspresi Tytan menjadi semakin datar, seolah tingkat kekesalannya bertambah. Leticia sampai kini tidak mengerti apa penyebabnya."Baiklah, aku akan membuat suratnya," kata Tytan dengan nada malas."Oke, hanya itu saja yang ingin kukatakan. Maaf aku sudah mengganggumu," ucap Leticia merasa bersalah."Aku akan menjelaskan tentang hal di gereja tadi," balasnya mengalihkan pembicaraan, mengabaikan permintaan maaf Leticia."Iya, apa?" Leticia mengurungkan niatnya yang hendak berdiri.Tytan belum mengatakan apapun, selain menatap lekat wajahnya. Cukup lama hingga rasanya canggung. Sebelum Leticia menegurnya, dia lebih dulu membuka mulutnya. "Keluargaku sangat berbahaya, bahkan di dalam rumah ini sekalipun. Jadi, kurasa kau juga memang perlu pengawalan kemanapun. Aku melakukan ini demi dirimu."Leticia memang sudah mengerti dengan fakta yang bisa sangat terjadi itu. Ia memang akan terlibat dengan sesuatu yang tidak diinginkannya, sejak dirinya mengenal Tytan. Satu pertanyaan di dalam kepalanya, seberapa berbahayanya itu?"Baiklah, aku akan menerima siapapun yang akan menjagaku." Leticia tidak bisa menolak, meski ingin."Diego, anak itu pasti bisa menjagamu. Apa kau mengingatnya?" Ingatan Leticia segera melayang pada wajah-wajah asing tadi di gereja. Satu yang paling menarik perhatiannya sejak awal. Ia mengangguk. "Iya.""Aku akan memberitahu Diego dan menulis surat kontrak itu." Sekali lagi Leticia mengangguk. Merasa pembicaraan telah selesai, ia akhirnya berdiri. "Kalau begitu aku akan beristirahat, kau juga beristirahatlah. Sekali lagi aku minta–""Leticia, berhenti meminta maaf. Aku tidak keberatan sama sekali mengobrol denganmu. Sibuk atau tidak." Perkataan Leticia belum sempat selesai, tetapi Tytan telah memotongnya. Ucapannya membuat jantung gadis itu lagi-lagi menggila. Tanpa membalasnya, Leticia melengos pergi terburu-buru. Tepat ketika hendak keluar, ia menggumamkan sesuatu. "Selamat malam, Tytan."Tingkah istrinya itu tidak bisa untuk tidak menerbitkan senyum tipis di bibir pria tersebut. Ia menggaruk telinganya masih sambil menatap pintu yang beberapa detik lalu telah tertutup kembali."Kenapa dia selalu berhasil membuatku aneh?" gumam Tytan pada dirinya sendiri setelah berpikir secara rasional.Tytan menggeleng pelan dan mengambil ponselnya. Ia menempelkannya pada telinga setelah menekan nomor seseorang."Tuan Muda, saya di sini." Suara tersebut segera menjawab."Gaspar, aku ingatkan sekali lagi untuk tidak membiarkan Leticia mengetahui jika aku Castellano. Terutama Diego. Suruh anak itu kemari sekarang."---To be continued"Eugh ..." Lenguhan keluar dari mulut Leticia, merasakan sinar matahari yang rasanya begitu menyengat. Tanpa mengubah posisi, tangan Leticia berusaha menghalau sinar tersebut. Namun, tak ayal tetap terasa silaunya yang mau tak mau membuat gadis itu terbangun. Kali ini ia berguling ke samping, menghindari tempat dimana sinar matahari menyorot. Ini adalah pagi pertama di rumah Tytan. Tidak ada suara hiruk pikuk khas kota metropolitan. Yang ada adalah suara kicauan burung dan tetesan-tetesan air embun. Terdengar sangat menyenangkan, tinggal di rumah yang dikelilingi pohon rimbun seperti hutan. Sangat asri. "Jam berapa ini?" gumam Leticia sembari membuka matanya sedikit, melirik ke arah jam digital di atas nakas. Seperti kebiasaannya yang sudah terbentuk, tepat pukul 7.30 pagi gadis itu sudah bangun. Tidak peduli selarut atau secepat apapun ia tertidur, pada pukul itulah dirinya terbangun. Karena tidak bisa lagi kembali tertidur, Leticia mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Mengump
“Leticia,” panggil Tytan yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Leticia menelan lebih dulu makanannya sebelum menyahut, “Ya?” “Aku harus segera pergi lebih dulu. Setelah kenyang, kau boleh beristirahat kembali atau berjalan-jalan di sekitar rumah ini.” Ia berdiri dari duduknya setelah mengatakan hal tersebut. Mendapatkan anggukan dari Leticia, barulah Tytan pergi dari meja makan. Netra obsidian yang menyorot tajam itu memandang ke arah tiga orang yang sibuk mengobrol dekat meja makan. Ia bisa melihat mereka bertiga dari sejak ketika bercakap-cakap dengan Leticia tadi. Melihat mereka membuat Tytan kesal dan merasa perlu menegur ketiga bodyguard-nya ini yang tampak menganggur. “Akhirnya akan ada romansa di kehidupan Tuan Muda.” Tytan menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Diego. Ia berusaha memastikan jika pendengarannya tadi tidak bermasalah. Ia tidak percaya jika pembicaraan seperti ini akan menjadi topik di antara para pria yang sangat bengis ini ketika memegang senja
“Nyonya, apa saya boleh bertanya?” Perkataan Diego menghentikan langkah Leticia, lantas gadis itu menoleh dan bertanya balik, “Apa itu?” “Apa kaki Anda benar-benar terluka?” Kernyitan timbul di dahi Leticia karena kebingungan. Siapapun bisa melihat kaki miliknya yang masih membengkak, meski telah lebih baik sekarang. Karena itulah ia bingung apakah itu murni sebuah pertanyaan atau hanya sindiran. “Ya, memang kenapa? Kakiku mungkin terluka, tetapi bukan berarti aku lumpuh," jawabnya. “Saya rasa begitu, tetapi langkah kaki Anda lebih cepat dari seseorang yang normal.” Dalam beberapa detik yang kosong Leticia terdiam, kemudian tawanya terdengar. Ia tanpa sadar mengutarakan apa yang dipikirkan olehnya. “Apa itu sebuah sindiran atau pujian?” “Hanya pertanyaan yang membuat saya bingung.” Diego turut tertawa mendengarnya. "Kenapa? Apa kau kesulitan menyamai langkahku?" tanya Leticia sembari kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih pelan. Ia sendiri tidak sadar jika telah berjalan le
“Ekhem!” Leticia menarik kursi meja makan, mencoba mengalihkan atensi seseorang yang sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Tujuannya itu akhirnya tercapai ketika Tytan menoleh dan berbalik. “Apa ada yang bisa aku bantu?” Segera Leticia bertanya dengan senyum kecil ramah menghiasi wajahnya. “Tentu ada yang bisa kau bantu untukku,” jawabnya yang semakin melebarkan senyum gadis itu. Leticia mengurungkan niatnya yang hendak duduk, ia berjalan menghampiri sang suami. “Apa yang bisa aku lakukan?” Leticia bertanya lagi, mendapatkan tatapan dari Tytan. “Apa makanan kesukaanmu?” Kali ini ia menyerngit bingung pada mulanya, tetapi tak urung menjawab. “A-apapun bisa aku makan.” “Baiklah, kali ini kita akan makan malam dengan albondigas. Kau boleh duduk lagi, Leticia.” Tytan kembali mengalihkan atensi pada masakan di wajan yang tengah ia masak. “Te-tetapi aku ingin membantumu,” bujuk Leticia sedikit merengek. “Itu saja bantu
“Tuan Muda, mereka sudah menunggu Anda.” Tytan baru saja keluar dari ruang ganti ketika Gaspar mengatakan laporannya. Pria itu mengenakan sarung tangan hitamnya sambil berjalan ke arah rak buku yang ada di kamar ini. Ketika salah satu buku diambil, rak tersebut bergeser pelan ke samping. Mulai memperlihatkan satu persatu berbagai macam senjata yang tertata rapi di sana. Tytan berdiri memandangi semua miliknya dengan pandangan mempertimbangkan. “Mulai besok, kaulah yang akan memimpin,” ucap Tytan memulai pembicaraan sambil meraih salah satu senapan tersebut. Tanpa perlu menjelaskan lebih jauh, ia yakin jika Gaspar sudah mengetahui apa alasannya. Ia berbalik setelah menjatuhkan pilihannya dan berjalan menuju ke meja kerjanya. Mulai mengisi senapannya dengan peluru yang sesuai dan cocok jenisnya. “Baik, saya akan melakukan tugas saya dengan baik. Tolong berhati-hatilah. Kapan tepatnya Anda berangkat?” tanya Gaspar kemudian. Tytan menole
"Nyonya, saya tidak akan mendengarkan Anda lagi, saya akan memberitahu Paman Gaspar untuk memanggil dokter kemari." Diego kalang kabut melihat nasib Leticia yang tampak semakin lemah saat ia masuk ke dalam kamar untuk mengecek kondisinya. Jika mengetahui akan seperti ini kondisinya beberapa hari ke depan, ia tidak akan mendengar Leticia untuk hanya mengompres dan memberikan sedikit obat. Ia terlambat menyadari jika demam ini mungkin bukan demam biasa. Pasti ada kaitannya dengan kebiasaan makan itu. Selama beberapa hari kemarin, Leticia telah berusaha memaksakan diri melawan kebiasaannya. Berharap itu akan menyembuhkan penyakit pencernaan yang mungkin 'hanya' disebabkan oleh kebiasaan. Namun, alih-alih sembuh, hasilnya gadis itu malah jatuh sakit, dan sudah tiga hari belum kunjung membaik. Diego menjadi semakin merasa bersalah, apalagi tidak memberitahu Gaspar. Dia mungkin akan segera memberitahu Tytan dan kemungkinan semua yang disembunyikan Leticia akan ketahuan. Tetapi bukan itu
‘Kenapa orang ini tidak bereaksi apapun pada perubahan rencanaku?’ Tytan mencoba mencari tahu apa yang dipikirkan oleh kepala orang di depannya. Namun, seberapa kuat pun ia berusaha, Massimo seakan tidak membiarkan siapapun membacanya. Dan tidak peduli seberapa banyak permainan psikolog yang dimainkan padanya, tidak satupun akan berhasil. Massimo adalah orang yang Tytan kenal paling pintar dalam hal manipulasi sejauh ini. Berkat pengasuhan dan pelajaran yang dia berikan padanya lah dirinya sekarang bisa berdiri tenang di situasi ini. Selain karena pengalaman hidup selama 27 tahun juga turut membantunya. “Maaf, maafkan aku, Tytan. Aku belakangan ini terlalu sibuk dengan ‘pekerjaan’ku.” Senyum dan tawanya masih tersisa, meski masih ada darah dan mayat-mayat ini yang menonton mereka. Seolah tidak ada perasaan apapun setelah membunuh mereka. Ini sungguh situasi yang tidak normal bagi orang-orang. “Ada banyak cerita yang harus Ayah dengar, bisa kit
Alaska, United States "Tuan Muda, seluruh hutan bagian Selatan telah kami sisir. Tidak ada kabin, gua, atau tempat yang bisa kemungkinan dipakai untuk bersembunyi." Mendengar laporan yang sama dari bawahannya, Tytan hanya bisa menghela napas pelan. Sudah lima hari Tytan mendarat di negara bagian ini, tidak sedikitpun ada tanda-tanda pria yang dicarinya ditemukan. Ia telah mengerahkan tenaga orang-orang yang dibawanya, tetapi tetap tak kunjung ditemukan. Marco hanya satu manusia, sementara orang yang dibawa Tytan kemari lebih dari cukup untuk membalik Alaska dalam waktu singkat. Tidak mungkin dia menghilang seperti sebuah sihir, kecuali kemungkinan ada orang yang membantunya. Semua hanya tentang masalah waktu sebelum pria itu keluar. Namun, Tytan tidak ingin menyia-nyiakan waktu, bahkan ia tak segan mempekerjakan mereka berkali-kali lipat. ‘Apa dia sudah pergi dari sini?’ Tytan menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan pemikiran yang baru saja terlintas. Menurut informan Massimo,
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt