“Anak itu mengerjakan pekerjaannya dengan baik,” komentar Massimo, menatap koper berisi kepala dengan wajah Marco di dalamnya. Anjing hitam berkalung perak yang duduk tegak di samping kursi Massimo, memberikan respon ketika koper tersebut dibuka. Hewan dengan jenisnya yang disebut doberman yang rata-rata digunakan sebagai pelacak, memiliki indra penciuman tajam. Ia yang mengendus bau darah dan daging segar yang disukainya, segera mendekat dengan gerakan agresif. Massimo tersenyum senang dan mengelus kepala peliharaan kesayangannya yang mulai menggigiti kepala Marco. “Jika aku mengetahui Duke menyukai daging Marco, aku pasti meminta tubuhnya juga.” “Ngomong-ngomong, D’angelo, dimana Tytan? Kenapa kau yang kembali memimpin dan menyerahkan buruannya?” tanya Massimo seraya mengalihkan atensinya pada sang tangan kanan. “Tuan Muda telah langsung kembali ke Madrid karena ada urusan di kediamannya, Tuan Besar.” Pernyataan D'angelo tidak membuat Massimo puas, ia masih menunggu alasannya. "S
“Anda memanggil saya, Tuan Muda?” tanyanya setelah masuk ke dalam kamar sang majikan. Tytan berbalik menghadap pada Gaspar kemudian mengangguk sekilas. Ia lantas duduk di meja kerjanya, melipat kakinya, dan memiringkan kepalanya dengan satu tangan menyanggah. Sementara tangan yang lain mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, sehingga menimbulkan suara nyaring di tengah kebisuan mereka. "Apa yang terjadi di mansion selama aku tidak ada?" Tak berbasa-basi, Tytan segera menanyakan apa yang ingin ia ketahui. "Tidak ada masalah berarti yang terjadi di kediaman, Tuan Muda. Nyonya Leticia memang sempat sakit dan Diego meminta saya memanggil dokter. Karena itulah saya membawa Richard sendiri. Anda juga mengenal dan mengetahui dengan baik bagaimana Richard. Dia adalah pilihan yang baik,” jelas Gaspar dengan tenang. Ketukan jari pada meja masih terdengar, seiring Tytan menggerakkannya. Pandangannya melekat dalam pada netra Gaspar yang menunduk penuh wibawa. Pria paruh baya itu masih memilik
“Selamat pagi.” Leticia yang menguap lebar segera menutup mulutnya dan berhenti menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Se-selamat pagi, Tytan.” Ia sempat lupa jika pria itu sudah pulang dan bagaimana kebiasaan mereka yang tanpa sadar sudah terbentuk setiap pagi. Tytan seakan sengaja menunggunya. Ia yang telah menyapa dirinya, kembali sibuk dengan peralatan memasaknya. Sementara Leticia melanjutkan langkah dan menarik kursi meja makan, menuangkan air putih dan meneguknya habis setelah duduk. “Apa aku bisa membantumu?” tanya Leticia setelah hanya suara masakan yang berada di atas wajan saja yang terdengar di antara mereka. “Tidak perlu, aku merindukan memasakkan sesuatu untukmu.” Entah hanya perasaannya saja atau bukan, rasanya Tytan berubah lebih hangat? "A-ah begitu," ucap Leticia salah tingkah. Lagi-lagi Leticia hanya bisa memandangi punggung lebar tersebut yang sibuk bergerak mengaduk masakannya. Sepertinya berapa kali pun ia melihat Tytan memasak, ia tidak akan bisa setidaknya
“Kita sudah sampai, Tuan Muda.” Suara dari Gaspar membangunkan Tytan dari tidur singkatnya. Pria muda itu melirik ke luar kaca, bersamaan dengan Gaspar yang keluar untuk membuka pintu mobil bagi sang bos. Tytan sedikit membenarkan jas yang ia kenakan sebelum turun dan menginjakkan kaki di depan perusahaan berlabel Castellano Corp. Tidak lain dan tidak bukan adalah miliknya sendiri, bersama mereka para pemegang saham tentu saja. Ketika masuk ke dalam, tidak ada sapaan ramah atau bahkan seseorang yang mengenalnya. Para pegawai pun tampak sibuk dan acuh tak acuh. Semua berjalan seakan normal seperti hari-hari biasanya. Ini bukan pemandangan yang aneh dan menyinggung baginya yang adalah seorang bos. Justru ini adalah keuntungan karena tidak terlalu banyak mendapat atensi. “Kudengar perusahaan sedang mencari seorang sekretaris. Posisi yang sangat ketat itu, apakah akan ada yang lebih baik daripada Tuan Philip?” “Bukankah Tuan Philip masih bekerja sampai saat ini?” “Itu benar, perusahaa
“Nona Ramona, apakah Nyonya Gabriella tidak pernah mengajari Anda jika menguping pembicaraan adalah sesuatu yang tidak baik?” tanya Tytan dingin. Melihatnya yang tampak sudah ketakutan, Tytan tidak berniat membuang lebih banyak waktu dengan berbicara pada bocah ingusan di depannya. Ia melanjutkan langkahnya tanpa berbicara lagi. Sebelum gadis itu sekali lagi menghentikan langkahnya. “Tunggu, Tuan Castellano!” cegahnya. Tytan berbalik dan kembali berhadapan dengan gadis itu. Ia tidak sedikitpun mengubah ekspresi wajahnya apalagi menunjukkan ketertarikan. Ia menggubrisnya karena memiliki asumsi bahwa dia mungkin bersikap baik pada Leticia. Atau lebih baik lagi gadis ini membantunya dari penyiksaan ibu kandungnya sendiri. “Apa ada yang ingin Anda sampaikan pada saya, Nona?” Sekali lagi Tytan bertanya langsung pada maksud dan tujuannya. “Ah, itu, pertama-tama nama saya Sofia. Saya pikir sebagai keluarga kita perlu saling mengenal satu sama lain. Bagaimanapun Leticia adalah kakakku da
“Tuan Muda menyukai Anda sejak awal.” Sungguh perkataan yang tidak masuk akal dan ketidakmungkinan. Seharusnya Leticia tidak memikirkannya dan membiarkan keserakahan seperti itu menguasai. Namun, karena perkataan tersebut dikatakan oleh orang lain, itu seakan mendorongnya. ‘Tidak, jangan terlalu percaya diri apalagi berharap, Leticia.’ Sudah saatnya ia menghentikan sesuatu yang sia-sia. “Leticia?” Mendengar namanya dipanggil, Leticia segera menoleh. Di sana, di depan pintu masuk, Tytan berdiri dengan sebuah botol dan gelas yang dipegang di tangan. Tampaknya itu adalah alkohol. Baru saja Leticia berpikir untuk menyingkirkan pemikiran seperti tadi, tetapi ketika melihat Tytan, lagi-lagi respon tubuhnya menunjukkan hal sebaliknya. Jantungnya berdegup kencang karena merasakan sebuah kesenangan yang asing. Tytan masuk dan duduk bersebelahan dengan Leticia yang bengong seperti orang bodoh. “Kau mau?” Barulah pada saat itu ia tersadar dan menatap botol yang disodorkan oleh Tytan. Letici
“Aw …” Leticia mengerang begitu kesadarannya telah kembali.Dahinya yang menyerngit menandakan ada rasa sakit tidak nyaman di kepalanya. Ia lantas memegangi kepalanya, berharap rasa sakit itu akan berkurang. Perlahan-lahan, Leticia mencoba untuk bangun dan mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Tidak hanya kepala, tetapi perutnya terasa mual. Sehingga satu tangan yang lain meremas kecil perut rampingnya tersebut.“Ini fase yang tidak aku sukai,” gumamnya pelan dengan suara serak.Ingatannya telah melayang pada peristiwa semalam yang samar-samar diingat. Satu hal yang jelas dan pasti adalah semua kondisi ini disebabkan oleh alkohol. Kenyamanan dan kelegaan itu harus dibayar dengan kondisi kacaunya saat ini. Mungkin karena tidak terbiasa, Leticia merasa dalam kondisi mood yang tidak baik.Setelah mengumpulkan tenaga, gadis itu beranjak dari ranjang. Memakai sandalnya dan berjalan keluar kamar. Seperti rutinitas hari-harinya yang dimulai dengan air putih.“Selamat pagi, Nyonya.” Kali in
“So-sofia …” Suara Leticia tercekat ketika memanggil nama saudara tirinya ini. Diego yang berdiri tepat di belakang Leticia, untungnya segera menyadari keadaan buruk sang majikan. Ia menghampirinya dan melihat wajah Leticia dari dekat dengan raut kekhawatiran. “Nyonya, Anda baik-baik saja?” Nada suara dan pertanyaan yang sama dari Diego lagi-lagi menyadarkan Leticia. Meski begitu, ia sama sekali belum bisa mengumpulkan keberanian yang lebih banyak untuk sekedar membalas tatapan Sofia. Kepalanya terlalu dibanjiri oleh kenangan buruk bersama adik tirinya. Rasa takutnya sama dengan kepada Gabriella. Sofia melangkah semakin mendekati Leticia yang gemetar. Dengan nada mencemooh bertanya, “Leticia, kau baik-baik saja? Apa kau tidak ingin memeluk adikmu ini setelah lama tidak bertemu?” “Berhenti! Jangan mendekati Nyonya!” sentak Diego menghentikan Sofia yang tidak kalah terkejut. “Di-diego, aku baik-baik saja.” Barulah ada respon dari Leticia, ia menengahi pertengkaran yang mungkin bisa
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt