“Kita sudah sampai, Tuan Muda.” Suara dari Gaspar membangunkan Tytan dari tidur singkatnya. Pria muda itu melirik ke luar kaca, bersamaan dengan Gaspar yang keluar untuk membuka pintu mobil bagi sang bos. Tytan sedikit membenarkan jas yang ia kenakan sebelum turun dan menginjakkan kaki di depan perusahaan berlabel Castellano Corp. Tidak lain dan tidak bukan adalah miliknya sendiri, bersama mereka para pemegang saham tentu saja. Ketika masuk ke dalam, tidak ada sapaan ramah atau bahkan seseorang yang mengenalnya. Para pegawai pun tampak sibuk dan acuh tak acuh. Semua berjalan seakan normal seperti hari-hari biasanya. Ini bukan pemandangan yang aneh dan menyinggung baginya yang adalah seorang bos. Justru ini adalah keuntungan karena tidak terlalu banyak mendapat atensi. “Kudengar perusahaan sedang mencari seorang sekretaris. Posisi yang sangat ketat itu, apakah akan ada yang lebih baik daripada Tuan Philip?” “Bukankah Tuan Philip masih bekerja sampai saat ini?” “Itu benar, perusahaa
“Nona Ramona, apakah Nyonya Gabriella tidak pernah mengajari Anda jika menguping pembicaraan adalah sesuatu yang tidak baik?” tanya Tytan dingin. Melihatnya yang tampak sudah ketakutan, Tytan tidak berniat membuang lebih banyak waktu dengan berbicara pada bocah ingusan di depannya. Ia melanjutkan langkahnya tanpa berbicara lagi. Sebelum gadis itu sekali lagi menghentikan langkahnya. “Tunggu, Tuan Castellano!” cegahnya. Tytan berbalik dan kembali berhadapan dengan gadis itu. Ia tidak sedikitpun mengubah ekspresi wajahnya apalagi menunjukkan ketertarikan. Ia menggubrisnya karena memiliki asumsi bahwa dia mungkin bersikap baik pada Leticia. Atau lebih baik lagi gadis ini membantunya dari penyiksaan ibu kandungnya sendiri. “Apa ada yang ingin Anda sampaikan pada saya, Nona?” Sekali lagi Tytan bertanya langsung pada maksud dan tujuannya. “Ah, itu, pertama-tama nama saya Sofia. Saya pikir sebagai keluarga kita perlu saling mengenal satu sama lain. Bagaimanapun Leticia adalah kakakku da
“Tuan Muda menyukai Anda sejak awal.” Sungguh perkataan yang tidak masuk akal dan ketidakmungkinan. Seharusnya Leticia tidak memikirkannya dan membiarkan keserakahan seperti itu menguasai. Namun, karena perkataan tersebut dikatakan oleh orang lain, itu seakan mendorongnya. ‘Tidak, jangan terlalu percaya diri apalagi berharap, Leticia.’ Sudah saatnya ia menghentikan sesuatu yang sia-sia. “Leticia?” Mendengar namanya dipanggil, Leticia segera menoleh. Di sana, di depan pintu masuk, Tytan berdiri dengan sebuah botol dan gelas yang dipegang di tangan. Tampaknya itu adalah alkohol. Baru saja Leticia berpikir untuk menyingkirkan pemikiran seperti tadi, tetapi ketika melihat Tytan, lagi-lagi respon tubuhnya menunjukkan hal sebaliknya. Jantungnya berdegup kencang karena merasakan sebuah kesenangan yang asing. Tytan masuk dan duduk bersebelahan dengan Leticia yang bengong seperti orang bodoh. “Kau mau?” Barulah pada saat itu ia tersadar dan menatap botol yang disodorkan oleh Tytan. Letici
“Aw …” Leticia mengerang begitu kesadarannya telah kembali.Dahinya yang menyerngit menandakan ada rasa sakit tidak nyaman di kepalanya. Ia lantas memegangi kepalanya, berharap rasa sakit itu akan berkurang. Perlahan-lahan, Leticia mencoba untuk bangun dan mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Tidak hanya kepala, tetapi perutnya terasa mual. Sehingga satu tangan yang lain meremas kecil perut rampingnya tersebut.“Ini fase yang tidak aku sukai,” gumamnya pelan dengan suara serak.Ingatannya telah melayang pada peristiwa semalam yang samar-samar diingat. Satu hal yang jelas dan pasti adalah semua kondisi ini disebabkan oleh alkohol. Kenyamanan dan kelegaan itu harus dibayar dengan kondisi kacaunya saat ini. Mungkin karena tidak terbiasa, Leticia merasa dalam kondisi mood yang tidak baik.Setelah mengumpulkan tenaga, gadis itu beranjak dari ranjang. Memakai sandalnya dan berjalan keluar kamar. Seperti rutinitas hari-harinya yang dimulai dengan air putih.“Selamat pagi, Nyonya.” Kali in
“So-sofia …” Suara Leticia tercekat ketika memanggil nama saudara tirinya ini. Diego yang berdiri tepat di belakang Leticia, untungnya segera menyadari keadaan buruk sang majikan. Ia menghampirinya dan melihat wajah Leticia dari dekat dengan raut kekhawatiran. “Nyonya, Anda baik-baik saja?” Nada suara dan pertanyaan yang sama dari Diego lagi-lagi menyadarkan Leticia. Meski begitu, ia sama sekali belum bisa mengumpulkan keberanian yang lebih banyak untuk sekedar membalas tatapan Sofia. Kepalanya terlalu dibanjiri oleh kenangan buruk bersama adik tirinya. Rasa takutnya sama dengan kepada Gabriella. Sofia melangkah semakin mendekati Leticia yang gemetar. Dengan nada mencemooh bertanya, “Leticia, kau baik-baik saja? Apa kau tidak ingin memeluk adikmu ini setelah lama tidak bertemu?” “Berhenti! Jangan mendekati Nyonya!” sentak Diego menghentikan Sofia yang tidak kalah terkejut. “Di-diego, aku baik-baik saja.” Barulah ada respon dari Leticia, ia menengahi pertengkaran yang mungkin bisa
“Ella, Sayang …” Suara yang sama terdengar kembali di telinga Leticia yang masih berdiri di depan pintu kamar. Ia yang masih memegang knop pintu, semakin mencengkram erat pegangannya. ‘Ayah, apa cinta Ayah sudah selesai untuk Ibu?’ geram Leticia dalam batin. Seseorang tampak berjalan tergesa dari sudut belokan menuju kemari. Leticia bisa menebak dari pakaian yang dikenakan. Dia adalah salah satu pelayan yang ada di rumah ini, meski ia tidak terlalu ingat siapa namanya. “Hei, dimana butler?” tanya Leticia begitu wanita berpakaian pelayan itu tiba di depan pintu kamar sang ayah. Wanita itu terlihat baru menyadari keberadaan Leticia yang tak jauh darinya. Ekspresinya jelas menunjukkan keterkejutan, seolah tidak mengetahui keberadaannya di rumah ini. Jelas saja karena baik Gabriella, Sofia, bahkan sampai para pelayan tidak pernah menganggapnya. Jadi, tak aneh jika kedatangannya kemari tidak ada yang mengetahui sama sekali. Melihat raut wajahnya yang mulai kembali normal ketika meliha
“Ugh …” Diego terbatuk dan bernapas terengah-engah setelah erangan kesakitannya terdengar. Kepalanya jelas sangat pening karena menghantam stir mobil sekali, sebelum airbag mengembang. Belum lagi kaca di sampingnya yang keras turut mencederai kepala. Tangan kanannya menyentuh pelipis kanan yang telah basah dan bisa dipastikan adalah darah. Bunyi sealt bet yang dibuka terdengar, kemudian ia menoleh ke belakang. Ekspresi kesakitan yang terpasang di wajahnya berubah seketika, kala melihat kondisi Leticia yang terbaring di kursi belakang. Darah turut mengalir telah membasahi jok mobil. “Nyonya!” seru Diego panik sekaligus khawatir. Pria itu segera menuju ke kursi belakang untuk mengecek kondisi sang majikan. “Nyonya Leticia, apa Anda sadar?” Setelah mengecek jika nyawanya masih ada, Diego membenarkan posisi tubuhnya. Ia hendak memanggil bantuan, sebelum kesadaran Leticia tiba-tiba kembali di tengah itu. “Di-diego, kau baik-baik saja?” “Tidak perlu mengkhawatirkan saya, tolong khawatir
“Tu-tuan Muda?” Diego yang memegangi bahunya yang terus mengeluarkan darah, menatap terkejut mobil yang baru tiba itu. Tidak hanya dirinya, tetapi dari pihak musuh juga demikian. Tidak salah lagi, mobil yang tiba-tiba datang dan menabrak beberapa orang yang berada di dekat mobil Leticia adalah mobil Tytan. Diego merasa bisa sedikit tenang, meski yang datang hanyalah bosnya seorang. Namun, di sisi lain, ia menjadi khawatir karena identitas Tytan tidak boleh terungkap. Sementara incaran mereka adalah Tytan. “Kau!” Seseorang yang berdiri di samping bosnya, pria yang tadi baru saja datang dan menyerahkan sebuah informasi, berteriak kencang. Ia tanpa pikir panjang berlari mendekat pada Tytan yang baru saja keluar dari mobil. Semua orang secara alami bergeming di tempat mereka masing-masing, menyaksikan bagaimana pria tersebut mendapat pukulan telak dari Tytan di rahangnya. Hal itu menyebabkan dia jatuh tersungkur dalam sekali hajar, tetapi tetap tidak menjatuhkan semangatnya yang berkoba